BERBICARA tentang harapan akan masa depan sebuah bangsa–suka atau
tidak–adalah berbicara tentang kepemimpinan.
Entah Anda
memercayai kepemimpinan sebagai tindakan sederhana tanpa perlu analisis ataukah
sebagai kombinasi kompleks dari berbagai kemampuan yang dapat dipelajari
sepanjang umur, kemampuan untuk memberikan harapan pada masyarakat pengikutnya
merupakan prasyarat penting bagi seorang pemimpin.
Tak seharum cendana
Ini dinyatakan oleh
Napoleon Bonaparte, pemimpin besar dalam sejarah yang melekatkan ”harapan” pada
kualitas seorang pemimpin. Ia menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk memimpin
adalah dengan menunjukkan masa depan pada masyarakat yang dipimpinnya. Sebab,
pemimpin adalah pembawa harapan. A leader is a dealer in hope.
Apa yang diajarkan
Napoleon Bonaparte kiranya relevan dengan problem yang dihadapi masyarakat di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terus mengharapkan uluran tangan Tuhan
karena para pemimpinnya tak punya kehendak kuat untuk membawa mereka keluar
dari nasib yang tak menentu. Sebagai provinsi, NTT dikenal dengan sebutan ”Nusa
Cendana” karena keharuman cendana yang menjadi ikonnya. Sayangnya, nasib rakyat
dan kinerja pemerintahannya tak seharum cendananya.
Dengan menjual
harapan, para penguasa NTT memang berhasil memenangi suara rakyat dalam
demokrasi prosedural. Namun, mereka tak berhasil mengubah harapan itu menjadi
kenyataan. Mereka memang memenangi suara rakyat, tetapi mereka tak berhasil
membuat rakyat menang melawan kebodohan, kemiskinan, penyakit, dan segala
bentuk keterbelakangan yang diderita rakyat. Bahkan, yang terjadi, dari masa ke
masa bukanlah perubahan yang dialami rakyat di Nusa Cendana ini, melainkan
ironi. Pembangunan gencar dijalankan, dana bantuan terus ditingkatkan, tetapi
rakyat tetap tertinggal dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Ironi ini berakar
salah satunya pada kepemimpinan yang tidak mampu menunjukkan masa depan bagi
masyarakat pengikutnya. Masalah inilah yang menjadi bahasan buku Pengembangan
Wilayah Nusa Tenggara Timur dari Perspektif Sosial: Permasalahan dan Kebijakan,
yang ditulis lima penulis dengan Ganewati Wuryandari sebagai editor.
Pada bagian
pengantar didaraskan litani tentang potret buram NTT sebagai daerah tertinggal.
Sebagian besar wilayahnya kering dan tandus serta sulit dijangkau akibat
buruknya kondisi jalan, transportasi, dan jaringan komunikasi. Sementara
mayoritas (70,02 persen) warganya berpendidikan SD ke bawah. Angka kematian ibu
bersalin (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) tinggi, yakni 554 per 100.000 kelahiran
bayi hidup dan angka kematian bayi 62 per 1.000 kelahiran hidup. Angka
prevalensi kasus gizi buruk pada anak balita kian meningkat. Meskipun angka
kemiskinan dari tahun ke tahun menurun, NTT masih berada pada urutan kelima
provinsi termiskin di Indonesia.
Meski miskin dan
tertinggal, ironisnya NTT tercatat sebagai provinsi terkorup ke-6 di Indonesia.
Dana bantuan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesehatan masyarakat
sebesar Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun setiap tahunnya tidak mengubah kondisi
kemiskinan. Sebagian besar dana (hingga 90 persen) diselewengkan.
Kondisi
keterbelakangan
Buku yang terdiri
atas sembilan bab ini membantu pembaca dalam memahami mengapa NTT tetap
terbelakang di saat daerah lain yang memiliki kondisi serupa bisa keluar dari ketertinggalan.
Masalah dan solusi yang ditawarkan dikaji dari berbagai perspektif.
Dari perspektif
politik, NTT menghadapi tantangan serius terkait efektivitas dan efisiensi
birokrasi akibat penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki aparatur negara. Praktik
korupsi kian fenomenal meskipun jumlah lembaga pengawasan di NTT meningkat.
Dari perspektif
kependudukan, NTT belum menempatkan problem kependudukan sebagai perkara
penting. Ironis bahwa tingginya angka fertilitas dan mortalitas, peningkatan
migrasi tenaga kerja ke luar negeri, rendahnya tingkat partisipasi sekolah
untuk pendidikan dasar sembilan tahun, yang sangat serius berdampak pada
kualitas sumber daya manusia belum menjadi isu dalam pengembangan wilayah NTT.
Dari sisi ekonomi
tampak adanya ketidakkonsistenan antara kebijakan penganggaran dan perencanaan
pembangunan. Belanja daerah tumbuh 9,97 persen setiap tahun, tetapi struktur
belanja daerah sangat berorientasi pada kepentingan birokrasi. Meskipun besaran
belanja daerah terus meningkat, proporsi belanja untuk sektor pendidikan,
kesehatan, dan pertanian yang menjadi prioritas justru menurun. Sebaliknya,
belanja daerah untuk sektor yang tidak menjadi prioritas justru mengalami
peningkatan.
Dalam dimensi
sosial budaya, masyarakat adat beserta pranata sosialnya dimarjinalkan. Kondisi
ini diperburuk oleh pembangunan yang dijalankan tanpa perspektif kebudayaan.
Etos kerja dan kerja kreatif masyarakat yang cukup tinggi tak didukung
kepemimpinan politik yang solider dan mampu menggerakkan rakyat untuk bergotong
royong membangun NTT. Yang terjadi, pemerintah dari tingkat kabupaten sampai
provinsi lebih mengandalkan uang untuk menarik partisipasi masyarakat. Budaya
gotong royong tergerus oleh mental ”proyek”.
Pendek kata, buku
ini cukup komprehensif dalam membedah persoalan dan menawarkan solusi bagi
pengembangan wilayah NTT. Meski demikian, setidaknya ada dua hal penting yang
luput dari kajian para penulis. Pertama, peran donor, lembaga internasional dan
NGO, yang turut menggelontorkan dana pembangunan dan memengaruhi kebijakan
pembangunan di NTT. Sebagai salah satu provinsi termiskin, NTT menjadi area
kerja dan target penyaluran dana hampir semua lembaga donor dan lembaga
internasional yang ada di Indonesia. Peran dan pendekatan mereka patut dikaji
mengingat banyaknya lembaga dan banyaknya dana yang digelontorkan selama
puluhan tahun tak banyak mengubah keadaan. Kedua, kuasa modal yang kian besar
dan membawa persoalan terkait eksploitasi, marginalisasi, ketakberdayaan,
kolonialisme kultural, dan kekerasan dalam berbagai bentuknya, kian menjauhkan
pembangunan dari kebutuhan rakyat.
Oleh Sri Palupi
Direktur
Ecosoc Right
Permasalahan dan Kebijakan
Penyunting : Ganewati Wuryandari
Penerbit : LIPI Press
Cetakan : I, 2014
Tebal : xix + 391 halaman
ISBN : 978-979-799-783-0
Sumber: Kompas, 24 Mei 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!