Oleh Gun Gun Heryanto
Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute
PERGANTIAN musim kerap kali diikuti musim pancaroba. Transisi dari
musim hujan ke musim kemarau biasanya ditandai perubahan cuaca cukup ekstrem
dan meningkatnya frekuensi orang sakit, terutama mereka yang tak memiliki daya
tahan atas perubahan yang berlangsung.
Hal seperti ini bisa juga terjadi dalam lingkup
perubahan politik. Setiap perubahan konstelasi politik berdampak pada
eksistensi dan pola relasi aktor politisi ataupun partai politik di tengah
fragmentasi kekuatan yang ada saat ini.
Partai Demokrat 10 tahun menjadi partai penguasa dan
menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai orang nomor satu di republik
ini selama dua periode.
Kini, SBY tak lagi menjabat presiden, dan partainya
pun melorot ke urutan keempat di antara partai pemenang Pemilu Legislatif 2014.
Akankah Demokrat mampu melewati fase transisi dari partai penguasa ke partai
penyeimbang di luar kekuasaan? Salah satu ujian awalnya tentu saat Demokrat
menggelar kongres ketiga di Surabaya, 11-13 Mei.
Formula SBY?
Hal menarik dianalisis lebih awal jelang kongres
Partai Demokrat adalah formula SBY dalam meracik strategi yang akan dipakainya
guna mengembalikan kepercayaan publik kepada Demokrat.
Selain itu, SBY juga dihadapkan pada tantangan nyata
untuk memilih mekanisme demokratisasi internal seperti apa yang akan dipakai di
kongres nanti. Di hadapan SBY kini tersaji beragam opsi, seluruhnya memosisikan
SBY sebagai aktor utama permainan.
Pertama, opsi pragmatis pemain tunggal (single
player), yakni menempatkan SBY semakin kokoh di puncak hierarki otoritas partai
tanpa mengharapkan lawan di gelanggang permainan. Artinya, seluruh instrumen
kongres akan diarahkan pada upaya penahbisan ulang SBY sebagai nakhoda Demokrat.
Jika opsi ini yang diambil, tentu akan ada upaya mengondisikan seluruh pengurus
di basis struktur partai yang memiliki hak suara untuk aklamasi memilih SBY.
Logika yang
disuguhkan kemungkinan tak akan jauh-jauh dari kepentingan strategis partai
yang memerlukan figur kuat dan pemersatu serta menghindari perpecahan internal
dan argumen lain yang sejenis. Intinya, opsi ini memosisikan SBY sebagai
"obat mujarab" sepanjang hayat untuk mencari titik keseimbangan
politik Demokrat. Kongres akan diskenariokan menjadi proses sirkulasi elite
yang seolah-olah tanpa gejolak akibat rivalitas dan perburuan kursi orang nomor
satu di partai berlambang Mercy ini.
Merujuk Vilpredo Pareto, The Circulation of the
Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elite biasanya
digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence
(ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respons institusional
yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses
pengelolaan keteraturan. Dalam rangka pengelolaan titik keseimbangan ala SBY
dan para pengikutnya, sirkulasi elite melalui kongres tak akan menghadirkan
kejutan apa pun, persis seperti yang dilakukan PDI Perjuangan, Hanura, dan
Gerindra.
Kedua, opsi dramaturgi politik dengan cara membuka
peluang adanya sosok penantang di luar SBY, tetapi di belakang layar
sesungguhnya semua aktor petarung dikendalikan SBY sendiri. Kandidat yang
muncul bisa lebih dari satu dan mendeklariskan diri sebagai calon dengan
argumen yang tampak idealis, yakni memperkuat pelembagaan politik dengan
menghadirkan demokrasi internal partai melalui persaingan sehat di kongres.
Kandidat di luar SBY dijadikan petarung bayangan yang bergerak dalam plot yang
diskenariokan.
Dalam cara pandang teori lawas dramaturgi, Erving
Goffman di bukunya,Presentation of Self in Everyday Life(1959), dramaturgi
semacam ini berorientasi pada manajemen kesan. Selayaknya pertunjukan drama,
seorang aktor dituntut mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini,
antara lain, memperhitungkansetting, kostum, serta penggunaan kata (dialog) dan
tindakan nonverbal lain dengan tujuan meninggalkan kesan baik di penonton dan
memuluskan jalan pencapaian tujuan. Dalam dramaturgi, tujuan hakiki presentasi
diri adalah penerimaan penonton saat dimanipulasi.
Ketiga, opsi permainan semi terbuka dengan
membiarkan adanya figur lain di luar arus utama untuk bergerak tampil ke muka,
tetapi di saat bersamaan ada pengendalian terencana lewat aturan main ataupun
rentang kendali organisasi guna membonsai dan membatasi ruang gerak kekuatan
potensial di luar faksi SBY. Pengendalian biasanya dilakukan melalui teknik
icing device yang menitikberatkan pada sentuhan-sentuhan emosional dan teknik
fear erousener yang menekankan pada ancaman, sanksi, ataupun tekanan mental.
Dalam konteks Demokrat, misalnya, kini ada Marzuki Alie, I Wayan Gede Pasek
Suardika, ataupun sosok lain yang belum tentu bisa dikendalikan sepenuhnya oleh
faksi SBY. Dalam konstelasi ini pun, sesungguhnya SBY masih menjadi figur dominan.
Keempat, model demokratik-partisipan. Caranya dengan
membuka keran demokratisasi internal partai secara fairdan terbuka. SBY bisa
menjadi pelopor penguatan modernisasi partai politik di tengah memburuknya
kualitas partai akibat kuatnya gejala groupthink, feodalisasi, dan
personalisasi politik di partai-partai lain. Sekalipun terbuka dan demokratis,
peluang SBY menang sesungguhnya tetap lebih besar dari kandidat-kandidat lain
mengingat sosoknya masih sangat berpengaruh. Jika opsi ini yang dipilih, tentu SBY
akan dianggap mewariskan legacy, baik bagi Demokrat maupun sejarah pengelolaan
partai politik di Indonesia.
Kekuatan
dominan
Kita tak bisa menutup mata bahwa buruknya kualitas
partai politik bermula saat kongres dan pembentukan kepengurusan. Faktor hegemoni
kekuatan dominan menjadikan sistem sebagai subordinat dari figur. Kondisi ini
melahirkan batas afiliatif yang luar biasa. Dampaknya, oligarki di tubuh parpol
seolah-olah menjadi realitas apa adanya.
Pengurus dan
warga partai di luar figur utama dan kroninya menjadi kelompok bungkam yang tak
berani mengeluarkan wacana ataupun tindakan di luar arus utama yang
dikehendaki. Wajar, jika banyak politisi pintar, idealis, dan mumpuni saat
masuk dan berinteraksi di dalam sistem partai hanya menambah deretan kader
instrumental yang secara sadar larut dalam fantasi kekuasaan figur utamanya.
Logika berdemokrasi melalui pendekatan
instrumentalisik menjadikan partai hanya semata-mata instrumen pencapaian
kepentingan segelintir elite saja dan abai pada prinsip bonum commune atau
mengedepankan kepentingan umum.
SBY memiliki momentum untuk memperbaiki kualitas dan
kapasitas kelembagaan Partai Demokrat. Akankah SBY bersedia menjadi pelopor
perbaikan ataukah turut serta dalam arus besar hegemoni kekuatan figur?
Ada dua peran signifikan yang bisa dilakukan SBY.
Pertama, memastikan Demokrat bukan fans club dan bukan pula dinasti politik.
Kedua, mendorong terjadinya penstrukturan adaptif. Dalam terminologi Anthony
Giddens, penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti partai
diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan
aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku anggotanya. Sistem harus lebih
kuat dibandingkan dengan satu atau dua orang figur sehingga organisasi memiliki
daya tahan kuat meski pada musim pancaroba.
Sumber: Kompas, 13 Mei 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!