SELASA 23 Juni 2015 dini hari, Indonesia
khususnya NTT, kehilangan sesepuh dan tokoh yang cerdas, mantan Gubernur NTT,
dr Ben Mboi. Mereka yang dekat dan pernah merasakan kecerdasan penerima
penghargaan Magsaysay ini, tentu punya kisah dan pengalaman menarik.
Di masa hidupnya, Ben Mboi telah membhaktikan
dirinya demi bangsa dan negara sebagai dokter tentara kemudian ‘ditugaskan’
menjadi Gubernur NTT periode 1978-1988. Banyak kisah sukses yang ia tinggalkan,
pun ada kegagalan.
Tapi Ben Mboi selalu merendah, tidak mau
menonjolkan diri. Juga, tidak mau merendahkan para penggantinya. Prinsipnya,
bagi Ben Mboi, pemerintah itu berbuat untuk rakyat, bukan berteori atau
berfilsafat.
Kini sosok cerdas dan visioner ini telah
tiada. Putra Mangagrai, Flores itu, telah tiba di batas takdir di usia 80
tahun. Begitu mendengar kabar duka ini, penulis membuka kembali file wawancara
eksklusif dengan Ben Mboi di kediamannya, Oetona, Kota Kupang, 6 Januari 2012.
File itu kemudian dirajut sebagai
penghormatan kepada mendiang Ben Mboi, sekaligus menginspirasi masyarakat
dengan pemikiran-pemikiran yang brilian. Berikut kutipan wawancara lengkap dari
suami Ny Nafsiah Mboi itu.
Bisa anda ceriterakan bagaimana susahnya
menjadi pemimpin di era kepemimpinan sebagai Gubernur NTT?
Pada saat saya memimpin NTT, saya berusaha
mendidik masyarakat untuk percaya diri sendiri. Pemimpin sekarang tidak
mendidik masyarakat untuk pecaya pada diri sendiri. Tidak mengajak masyarakat
percaya diri dalam kebersamaan. Itu memang susah, sebab manusia tidak bisa
hidup sendiri-sendiri. Kuncinya bagaimana pemerintah mendidik masyarakatnya
untuk hidup mandiri dalam kebersamaan.
Sebagai sesepuh NTT, bagaimana anda melihat
pemimpin NTTT saat ini?
Banyak pemimpin yang kacang lupa kulit, lupa
asal usul, lupa bahwa dulu dia pernah miskin, lupa kalau dulu dia pernah hidup
susah di kampung, pernah makan tidak teratur. Waktu sudah berkuasa dia merasa
bergelimangan karena semua serba ada dan sudah tidak diingat lagi masa lalunya
yang susah. Saya tidak. Saya punya riwayat hidup susah. Kadang ada makan pagi,
makan siang tidak tahu, ada makan siang, makan malam tidak tahu. Ada makan
malam, untuk makan besoknya tidak tahu mau cari di mana. Dulu kita biasa makan
ubi dengan pisang rebus atau kerak nasi dengan garam, tapi bukan garam halus
melainkan garam yang dibuat langsung dari air laut yang bentuknya seperti biji
yang besar-besar berwarna hitam. Saat itu, 90 persen orang hanya makan satu
kali sehari sehingga sulit menabung. Bagaimana mau menabung sementara perut ada
kosong.
Apakah itu menjadi pedoman anda dalam
memimpin dan konsep apa yang anda lakukan?
Ketika saya menjadi gubernur, itu saja
pedoman saya, karena saya tidak punya pengetahuan dalam ilmu pemerintahan. Saya
seorang dokter, dokter tentara lagi. Tentara pikirannya hanya perang,
berkelahi, luka lalu saya jahit. Setelah jadi gubernur, ilmunya saya dapat dari
mana. Saat itu, sederhana saja saya berpikir; paling tidak masyarakat NTT saat
bangun pagi ada air mandi, air cuci muka, ada makan pagi, ada kerjaan, anak
bisa pergi sekolah, ada makan siang. Tidak ada ilmunya, tapi bagaimana
kebutuhan masyarakat NTT sejak bangun pagi sampai dia pergi tidur kembali,
bagaimana anak-anak bisa pergi sekolah dan makan dua kali sehari. Itu saja
ilmunya. Tapi, kita harus punya cita-cita, harus bangga bahwa kita turut ambil
bagian dalam memperjuangkan masa depan bangsa, harus bangga dengan talenta yang
diberikan Tuhan. Dan, talenta itu harus diabdikan untuk diri sendiri, keluarga
dan orang lain. Janganlah menggunakan talenta tersebut hanya untuk kepentingan
diri sendiri karena pada saatnya dipertanggungjawabkan dengan Tuhan Allah.
Selama sepuluh tahun memimpin NTT, program
anda dianggap sukses. Apa kiatnya?
Dulu ada program Operasi Nusa Makmur (ONM),
itu program departemen pertanian yang disebut panca usaha tani yaitu: bibit
unggul, olah tanah yang baik, pakai pupuk, pakai pestisida, dan pakai air. Ada
lima usaha tani, saya sudah lupa, lalu saya tambah dua menjadi Sapta usaha tani
yaitu gotong royong dan berdoa. Gotong royong karena hidup orang NTT selalu
komunal bukan individual. Hidupnya selalu kolektif. Menurut saya, di NTT sangat
sulit untuk menjadi pahlawan perorangan, harus menjadi pahlawan secara bersama.
Untuk mengurus ribuan masyarakat NTT, mustahil kalau hanya berjuang sendiri.
Keberhasilan saya menjadi gubernur mustahil kalau tanpa 12 bupati, 270 camat,
1.700 kepala desa.
Apa anda punya pengalaman menarik soal berdoa
dan gotong royong ini?
Ya, terkait berdoa saya bisa buktikan kalau
Desa yang tidak berdoa dihukum seperti hujan tidak turun, gagal panen (tanam
gagal). Sebaliknya desa yang rajin berdoa panen raya, saya buktikan itu di
lapangan. Pernah ada dua desa yang bersebelahan, yang sebelahnya panen raya,
yang satunya mati semua, karena hujan hanya turun di desa sebelah. Memang aneh,
ternyata desa tersebut banyak yang istri dua, judi, pelacuran. Bahkan ada desa
yang hujannya persis di batas desa lalu saya berhenti dan melihat, hujan turun
persis di batas desa dan ternyata desa yang diguyur hujan itu adalah desa yang
rajin berdoa, yang satunya tidak rajin berdoa. Itu di desa katolik. Jadi,
berdoa itu penting. Saya kalau kunjung ke daerah bedoa pada Tuhan Allah begini,
kalau Tuhan Allah mau orang yang saya kunjungi itu maju, berarti saya tiba di
sana. Kalau Tuhan tidak mau, terserah Tuhan Allah. Jadi meskipun pesawat
ombang-ambing karena angin, saya tetap terbang dan tiba di tempat tujuan.
Pesawat atau kapal kayak layang-layang karena puting beliung tidak apa-apa yang
penting saya bilang pada Tuhan Allah bahwa saya mau ketemu rakyat saya. Doa itu
penting. Semua itu saya tulis dalam buku Memoar saya tentang doa, dosa,
kemajuan, dan pembangunan.
Saya heran waktu natal orang SMS saya dengan
kotba yang panjang, padahal saya sudah dengar kotba di gereja, kalau kami orang
Manggarai tidak boleh menasihati orang tua, cukup dengan meminta nasihatnya,
kasihan dengan pulsanya. Itulah orang NTT.
Bagaimana anda menilai kenyataan pembangunan
NTT saat ini?
Setiap pemimpin punya masanya sendiri dan
setiap masa memilki pemimpinnya sendiri. Dan setiap masyarakat NTT berhak untuk
mendapatkan pemimpin yang cocok untuknya. Model pemimpin yang harus dibawa dari
masa ke masa adalah model kepemimpinan Tuhan Yesus Kristus. Kita tidak bisa
menerapkan kepemimpinan Lennin, Napoleon, Hitller dll. Sebab ada adigium
politik mengatakan, setiap masa mempunyai pemimpinnya sendiri dan setiap pemimpin
memiliki masanya sendiri. Artinya, masyarakat yang menilai mana pemimpin yang
cocok untuknya. Suatu bangsa berhak menentukan pemimpin yang pantas untuk
mereka. Tapi itu teoritis sekali. Apakah Napoleon cocok untuk NTT, atau
Soeharto, atau Soekarno. Itu hanya dapat dijawab oleh masyarakat.
Apa penilaian anda terhadap proses
demokratisasi yang terjadi dewasa ini?
Menurut saya, orang NTT dan Indonesia secara
umum belum mampu berdemokrasi yang baik. Demokrasi yang baik itu yakni
bagaimana orang secara terbuka menyatakan pendapatnya. Demokrasi itu ibarat
anda memilih teh karena anda sadar bahwa teh cocok untuk anda, begitupun anda
memilih kopi, tuak, dll. Orang NTT belum mampu berdemokrasi secara benar karena
Pilkada harus pake uang untuk beli suara. Hal ini menyebabkan orang NTT tidak
memiliki kebebasan untuk memilih orang yang cocok untuk memimpinnya. Orang NTT
tidak bisa menentukan siapa orang yang dia pilih karena dia belum mengenal
secara baik siapa orang itu. Dia hanya mengenalnya melalui baliho atau bill
board yang dipampang di jalan-jalan bahkan sampai menutupi kantor-kantor
pemerintah. Kalau dulu orang menjadi gubernur tergantung siapa yang Pak Harto
tahu. Demokrasi di DPR(D) saat ini pun hanya sandiwara.
Berarti anda termasuk orang beruntung di saat
semua gubernur se-Indonesia tergantung siapa yang direstui Pak Harto?
Suatu kebetulan ada Gubernur NTT (seperti
saya) yang pintar dan jujur. Karena waktu itu ada gubernur yang bodoh, jadi
kebetulan saja. Kita sesungguhnya masih jauh dari demokrasi yang sesungguhnya.
Soal Indonesia sebagai Negara Demokrasi nomor 3 dunia itu hanya gombal, karena
mungkin hanya diukur dengan antrian orang-orang di tempat pencoblosan.
Demokrasi, bagaimana memberikan kebebasan untuk berpendapat serta mendengarkan
pendapat tersebut, memiliki kepentingan bersama dalam perbedaan-perbedaan serta
menghargai perbedaan-perbedaan itu. Bukan hanya perbedaan pendapat, tetapi
perbedaan agama, suku termasuk perbedaan status sosial ekonomi. Saya tidak
tahu, sepertinya semua upaya yang dilakukan untuk bangsa ini tidak bertujuan
untuk membentuk manusia Indonesia. Di sekolah hanya mendidik manusia untuk
menjadi pintar, tidak mendidik manusia untuk menjadi baik dan beradab dan
sejahtera dalam suatu tatanan masyarakat yang harmonis dalam negara yang kuat
dengan kecukupan materi dalam suatu kesejahteraan bersama. Misalnya, orang kaya
tidak mendemonstrasikan kekayaan, tidak menyombongkan diri dan orang miskin
berusaha untuk keluar dari kemiskinan, tidak untuk menyusahkan orang yang kaya.
Sekarang ketika didorong untuk itu malah terjadi pertentangan antara orang kaya
dengan orang miskin.
Selama memimpin NTT, bisa digambarkan
seberapa jauh intensitas pertemuan dan komunikasi anda dengan rakyat?
Sekarang komuniksi antara pemimpin dan
masyarakat hampir terputus. Kalau saya dulu dalam waktu satu bulan, 20 hari
saya berada di tengah rakyat, bukan ke Jakarta untuk ketemu Presiden. Ketemu
presiden itu minimum sekali dalam setahun.
Apa saja yang anda tinggalkan sebagai bukti
hasil karya saat memimpin NTT sepuluh tahun?
Kalau dulu saya (gubernur) ke Atambua, saya
harus tidur di jalan. Dari Ende ke Ruteng on the road 26 jam, Labuan
Bajo-Ruteng 18 jam. Berhenti dari gubernur hanya 3 jam. Ruteng-Ende tinggal 7
jam. Itu yang saya tinggalkan. Yang lainnya, pelebaran jalan El Tari. Ketika
saya jadi gubernur, hanya ada satu dermaga yakni di Tenau, yang dibangun
Amerika pada tahun 1964, lalu saya bangun 15 dermaga di seluruh NTT yakni
Atapupu, Kalabahi, Lewoleba, Waiwerang, Larantuka, Maumere, Ende, Mborong, dan
lain-lain. Depo Pertamina hanya ada di Kupang, lalu saya bangun Depo Pertamina
menyebar di semua daerah di NTT.
Menurut anda, apakah pemimpin saat ini masih
memiliki kerelaan untukmendengar aspirasi masyarakatnya?
Pada zaman saya, orang santun mendengar orang
yang lebih tua. Indonesia pada zaman ini, orang Indonesia sangat akademis
seolah-olah doktor, profesor itu sangat luar biasa. Calon Pilkada saja harus
menaru titel, padahal titel tidak ada hubungannya dengan mengurus rakyat. Tokoh
publik itu tidak butuh titel. Saya seorang sarjana kedokteran berarti saya
memiliki rangkuman pengetahuan tentang kedokteran sehingga layak disebut
sarjana kedokteran. Begitu juga sarjana hukum. Dalam politik itu semuanya
benar. Jika anda berani omong sesuatu itu merah, lalu yang lain bilang itu
warna putih, maka benar tidak ada yang bisa memaksa kalau yang merah dipaksa
harus putih. Dalam politik itu benar. Dulu, kalau saya omong, orang Manggarai
semuanya bilang benar meskipun ada yang salah. Tapi karena saya orang tua dan
(mungkin sampai diluar dia tidak kerja itu urusan lain), dia hanya bilang iyo.
Itu dulu. Mana ada sekarang kalau mau buat sesuatu tanya dulu di orang tua.
Tidak ada. Mereka malah bilang, tanya bikin apa, sudah lewat dia.
Anda melihat ada jarak sosial yang
mencemaskan antar generasi?
Iya, putus komunikasi antar generasi.
Pemerintahan itu sebenarnya bukan seperti yang terjadi hari ini. Yang disebut
pemerintahan itu secara vertikal; pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan
desa. Secara horisontal ada DPRD, dinas-dinas dan kelembagaaan. Secara
longitudinal adalah pemerintahan hari kemarin, hari ini dan hari esok.
Mengungkap secara longitudinal tidak bisa mengatakan ini gubernur yang kemarin
dan ini gubernur yang hari ini. Ketika anda diganti, anda harus menerima
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang dibuatnya, bukan mengatakan
ini kesalahan anda. Ini tidak benar. Etika pemerintahan itu sekarang menjadi
anda punya kewajiban, makanya dalam ilmu pemerintahan itu ada dalil; yang tidak
menghormati hari kemarin, tidak mempunyai hak untuk hari esok karena besok dia
akan menjadi hari kemarin.
Bisa diceritakan pengalaman anda saat pertama
kali menerima tugas memimpin NTT?
Waktu saya menjadi gubernur, saya terima dari
pendahulu saya beberapa masalah. Misalnya ada lima masalah. Masalah 1 dan 2
sudah saya selesaikan, masalah 3 belum sempat saya selesaikan dengan
alasan-alasannya, masalah 4 dan 5 sudah saya laksanakan, namun tidak sempat
diselesaikan dengan alasan kenapa tidak selesaikan. Lalu pada zaman saya,
muncul masalah baru yaitu 6 dan tujuh, lalu pengganti saya akan menyelesaikan
masalah yang belum sempat terselesaikan. Jadi ada keberlanjutan dan
berkesinambungan. Ini ko mengatakan yang lalu tidak meninggalkan apa-apa, hanya
meninggalkan masalah. Makanya tiap bupati atau gubernur baru harus mengerti
itu.
Apakah anda punya tips atau teori
pemerintahan yang bisa disharing kepada generasi saat ini?
Saya kira Indonesia tidak mempunyai teori
pemerintahan. Kita harus membangun teori pemerintahan, bukan ilmu pemerintahan.
Teori tersebut adalah suatu rentetan norma yang harus ditaati dalam
penyelenggaraan suatu pemerintahan. Anda tidak boleh duduk di situ kalau anda
tidak tepat untuk duduk di situ.
Anda pernah belajar pemerintahan ke Perancis.
Apa yang anda petik dari sistem pemerintahan di Eropa?
Di Prancis, orang menjadi presiden atau
gubernur-gubernur harus tamat ilmu pemerintahan. Di Belanda dan Belgia, kalau
seseorang mau berpolitik atau menjadi politisi partai harus memagangkan dulu
orang tersebut pada lembaga pemerintahan. Untuk yang di tingkat kabupaten,
magang di pemerintah kabupaten, begitupun di provinsi dan pusat, sehingga dia
mengerti bagaimana membuat perencanaan, anggaran, peraturan-peraturan daerah.
Karena seorang wartawan atau pedagang tidak mungkin langsung memahami ilmu
pemerintahan ketika dia terlibat dalam politik. Kalau di negara-negara yang
pernah saya masuk, pemerintahan itu benar-benar murni pemerintahan. Jadi,
partai bukan hanya menjadi tiket yang kalau ada uang tinggal dibeli, terserah
kau mau duduk di mana dan mau tinggal di mana. Itulah politik di Indonesia,
bagimana mau maju!
Berarti sistem rekruitmen di lingkungan
partai politik pun harus direvisi?
Di Eropa anda belum bisa berpolitik di
Provinsi kalau belum pernah berpolitik di kabupaten dan anda tidak bisa
berpolitik di parlemen kalau belum pernah berpolitik di provinsi. Jadi tidak
ada yang loncat, tentu ada satu dua yang berasal dari keluarga dinasti politik
di Eropa seperti Kennedy, George Bush, tapi seperti Barak Obama bukan dari
keluarga dinasti politik yang sekarang sukses karier politiknya. Dia mulai dari
bawah, kita punya sekarang kayak kutu loncat, tidak tahu dari mana. Sudah tidak
dari anggota parlemen, sudah jadi anggota DPD RI, ini amatir semua. Kita hanya
lihat pidato dan ngomongnya saja ko gitu, negarawan dalam tanda kutip ko
ngmongnya gitu. Dalam rapat baku maki, tidak ada saling menghormati, jadi gaya
preman yang dipakai. Kalau SD sebagai sekolah dasar untuk ilmu, berarti DPRD
kabupaten itu SD-nya untuk lembaga legislatif. Mana ada mahasiswa di Undana
atau perguruan tinggi lain yang tidak pernah SD, SMP, dan SMA. Sementara kita
punya jadi anggota parlemen (DPR) tidak pernah jadi DPRD Kabupaten dan
Provinsi. Politik kita ini menganggap semua orang itu bisa berpolitik.
Sebenarnya biar anda profesor ataupun doktor tidak bisa anda menjadi anggota
parlemen kalau belum menjadi anggota DPRD provinsi dan kabupaten. Jadi kalau
anda ke Eropa sekarang ini dan pergi di suatu negara paling kurang setengah
dari anggota parlemen pernah menjadi anggota DPRD provinsi dan setengah anggota
DPRD provinsi pernah menjadi anggota DPRD kabupaten/kota. Rekruitmen memang
perlu diperhatikan.
Bagaimana cara pandang anda terhadap NTT hari
ini dibandingkan dengan ketika anda menjadi gubernur?
Cara pandang saya sebagai orang NTT pada saat
saya jadi gubernur berbeda dengan sekarang saat tahun 2012. Cita-cita saya dulu
waktu menjadi Gubernur adalah orang NTT harus makan tiga kali sehari. Itu saja
cukup, kemudian berkembang nanti harus selesaikan SD, tidak boleh putus
sekolah. Waktu wajib belajar syukur kalau anak NTT bisa tamat SMP. Orang NTT
bebas cacat, bebas penyakit, jadi ada beberapa cita-cita yang sifatnya
kuantitatif. Kalau hanya ngomong sejahtera aja gombal, kita harus bisa
konversikan ke dalam sesuatu yang dapat dijangkau, dengan cita-cita untuk
provinsi NTT yang lebih kuantitatif dan bisa dijangkau. Jangan dengan provinsi
Jagung, provinsi Ternak, provinsi Koperasi, Provinsi Cendana, apa itu; provinsi
ikan, provinsi kelautan, apa itu? Masih terlalu abstrak. Mestinya suatu
cita-cita untuk suatu generasi harus bisa tergapai dalam kurun waktu generasi
itu. Saya dulu cita-citanya tiga kali makan, selesai itu. Memang dalam
perjalanan suatu bangsa itu tidak linear, dia selalu spiral, kadang-kadang
maju, kadang-kadang mundur kembali. Tetapi NTT mestinya seiring dengan
berjalannya waktu ada suatu trend semakin lama semakin baik, apakah itu ada
atau tidak sekarang?
Bagaimana pengalaman anda setelah dilantik
menjadi gubernur? Apa yang pertama kali anda lakukan?
Saya dulu tanggal 1 Juni 1978 dilantik jadi
Gubernur, tanggal 2 Juni hari minggu misa di Gereja Naikoten, tanggal 3 Juni
Senin, apel dengan 12 bupati dan seluruh kepala dinas provinsi. Tanggal 4 Juni
saya mulai sekolah sambil makan pagi, 2 kepala dinas kasih sekolah
masing-masing setengah jam tentang dia punya dinas. Saya makan mereka kasih
kuliah. Jam 8 saya pergi kantor. Selama tiga bulan saya disekolah oleh kepala
dinas tentang undang-undang dan aturan yang berlaku pada dinasnya, masalah-masalah
dan hal-hal teknisnya, rencana-rencana mereka memecahkan masalah tersebut.
Semua dari Muspida, Danrem, Kapolwil, Kejari, terkait bidang mereka
masing-masing. Tiga bulan saya belajar. Jadi saya tahu kalau ada padi yang
terserang penyakit, saya marah dan tanya kepala dinasnya; itu hari anda bilang
kalau padi terserang penyakit caranya begini, lalu sekarang kau bikin apa?
Kalau ada masalah koperasi saya tanya kadis koperasi, lho itu hari anda bilang
pembukuan koperasi ada beberapa draft lalu mana buktinya sekarang draft dari
pembukuan koperasi tersebut. Dinas kesehatan saya masuk puskesmas, kapan kepala
dinas datang periksa puskesmas. Lewat di hutan ada lihat kelapa yang daunnya
aneh, kelapanya penyakitan, saya panggil kepala dinas perkebunan dan tanya anda
tahu dan lihat nggak kelapa yang penyakitan ini? Jadi saya sekolah pa.
Ada kecemasan publik kalau ada sikap apatis
dari pemimpin terhadap keadaan yang terjadi saat ini?
Itulah celakanya jika seorang pemimpin itu,
tidak tahu bahwa dia tidak tahu dan dia tidak mau tahu. Kalau dia tahu bahwa
dia tidak tahu dan dia mau tahu berarti ada kemajuan. Banyak pemimpin yang anak
buahnya baru omong satu kata, dia sudah jawab sepuluh kata. Saya dulu punya
kekuatan pada pengetahuan detail. Saya kalau masuk pada angka-angka saya bisa
lihat mana yang berubah dan tidak tepat. Staf dulu paling takut sama saya. Saya
tidak hanya data-data saja, di lapangan juga saya bisa lihat dari jauh. Kalau
saya lihat orang kibarkan merah putih terbalik, he siapa itu stop, masuk dan
hentikan. Sifat saya tidak bisa membiarkan begitu saja. Kalau saya melihat hal
yang tidak benar, saya akan berhenti lalu saya sampaikan. Sebab kalau saya
tidak tegur saya akan berpikir kenapa saya tidak hentikan hal yang tidak benar
itu.
Apakah pola kepemimpinan anda itu karena anda
seorang dokter tentara?
Saya pikir itu satu gaya kepemimpinan.
Mungkin peranan dan latar belakang saya sebagai dokter. Itu syarat dalam
kepemimpinan saya. Sebab satu-satunya ilmu yang memperhatikan yang salah adalah
ilmu kedokteran, kalau cabang ilmu lain tidak ada. Kalau pasien datang,
pertanyaan pertama adalah kau sakit apa? Jadi dimulai dari yang tidak benar.
Saya selalu mencari dari hal yang tidak benar dan naluri ini dibawa waktu saya
ke pamong praja. Lalu mencari tahu latar belakangnya, pola hidupnya,
sistematika berpikirnya tetap sistematika yang selalu berusaha untuk menemukan
masalah. Naluri seorang dokter itu mencari penyebab penderitaan. Jadi inti
untuk mencari masyarakat yang susah ada dalam bakat-bakat pendidikan seorang dokter.
Ilmu ekonomi itu ilmu tentang kelaparan, jadi soal siapa yang lapar bukan
urusan dia. Kedokteran kalau orang sakit kaki dicari tahu kenapa sakit; ada
infeksikah, ada lukakah?
Yang kedua latar belakang saya sebagai
tentara. Tentara mempunyai naluri ancaman, ada ancaman kelaparan atau tidak,
ada ancaman bencana alam atau tidak. Kalau dulu saya punya pemetaan bencana
alam NTT. Tiga tahun pertama dari tahun 1975-1982, setiap 3 bulan ada bencana
di Flores, Sumba, dan Timor. Sehingga orang bersimpati dengan NTT. NTT menjadi
tiba-tiba terkenal karena bencana alam tahun 1978 dan 1982. Akhirnya kita
membangun suatu teori pemerintahan berbasis hakekat ancaman. Sumba Timur
hakekat ancamannya ini, Flores Timur ini, Alor ini, Timor ini dan pada bulan
ini. Sehingga musim hujan kita sudah tahu daerah mana yang muda terkena bencana
alam. Musim kering kebakaran atau bencana alam belalang di Sumba.
Saya takut teman-teman (pemimpin) saat ini
tidak memiliki sitematika berpikir. Dia masuk duduk dan ketika ada surat masuk
dijawab. Kalau saya saat itu bagaimana mengisi waktu, bukan saja waktu dari jam
7 pagi sampai jam 5 sore, tetapi saya ini berpikir saya dilantik pada tanggal 1
Juli tahun 1978 dan akan berakhir pada 1 Juli 1983. Saya tidak pernah berpikir
bahwa saya akan terpilih lagi sebagai gubernur. Saya hanya berpikir bahwa saya
akan berhenti pada 1 Juli 1983. Ini sekarang tidak! Dia baru tahun kedua
terpilih sebagai gubernur dan bupati, dia sudah berpikir bagaimana cara untuk
bisa maju dan terpilih lagi pada periode berikutnya. Dia bukan bekerja tetapi
berupaya bagaimana bisa terpilih lagi. Sehingga dia menghabiskan waktu untuk
memikirkan itu, bukan untuk memikirkan rakyat. Setengah dari hidupnya
memikirkan itu, pikir perutnya, pikir tim suksesnya, pikir partainya. Nah
itulah keuntungan dari sitruktur politik dulu, dengan struktur politik yang
monolitik.
Bagaimana kritik anda terhadap kasus-kasus
korupsi yang sedang marak di NTT?
Begini, korupsi bagian dari satu peradaban.
Nasihat saya sebagai orang tua, abad 21 energi peradabannya itu uang. Saya
tidak bayangkan kalau peradaban abad 21 berjalan tanpa uang. Inilah letak
kerawanan peradaban itu. Sekarang itu darah yang mengalir dalam badan saya,
kekuatan uang yang membuat saya dapat bernapas. Itu perbandingannya. Pada saat
uang menjadi satu-satunya energi penggerak suatu kehidupan, maka saat itu pula
hukum-hukum moralitas hilang, hanya sebatas omong. Oleh karena itu, saya kira,
apaka kita bisa mengurangi kekuatan uang sehinggga mengurangi kerawanan
moralitas. Di mana-mana terjadi bursa, rumah sakit tempat pelelangan kesehatan,
sekolah tempat pelelangan ijaza, kantor lurah tempat pelelangan KTP, kejaksaan
tempat pelelangan keadilan. Pelelangan dalam bahasa modern bursa efek atau
bursa komoditi, masuk gereja pelelangan sakramen, berani kuat pikul omongan
saya, pastor misa cari stipendium. Uang jadi penguatan abad 21. Apakah anda
berani menjadi wartawan tanpa dibayar atau saya jadi dokter tanpa dibayar? Itu
omong kosong.
Pada saat anda menjadi gubernur, alokasi
anggaran sangat terbatas jika dibandingkan dengan saat ini yang dananya begitu
besar, sehingga membuka peluang dikorupsi. Apa yang anda lakukan?
Saya membangun lintas utara Flores tanpa
APBD, tanpa APBN. Malah saya menggunakan sisa tender. Saya kasih gaji sopir
buldoser untuk beli solar, untuk uang makan lalu, saya sadarkan masyarakat
bahwa mereka perlu jalan, lalu mereka tebas dan alat berat saya lewat. Saya
pake sisa tender. Saya kasih tahu BPKP jangan periksa ini. Saya pake dari
Nggorang Labuanbajo sampai belakang gunung di Larantuka yang di lapangan
terbang itu, Gewayan Tanah. Di pantai Selatan Timor dari Kolbano sampai
Oel-oeh, saya kerja tanpa uang yang tidak dirawat sampai sekarang, dari Sulamu
sampai Oekuse, sampai Atapupu, di sana kita motivasi masyarakat bahwa mereka
perlu jalan ke Puskesmas, perlu jalan bagi anak-anak untuk ke sekolah, perlu
jalan untuk hantar mereka punya hasil komoditi yang mau dijual. Ini contoh
bagaimana membangun tanpa uang, anda harus percaya rakyat. Saya sekarang ini
melihat itu proyek, pemilu saja anda datang kasih saya uang Rp 25.000, ya sudah
saya pilih anda, setelah itu datang lagi yang lain bawa lima puluh ribu ruba
lagi, nanti datang serangan fajar, untuk demokrasi saja harus duit. Apa itu
yang dikatakan demokrasi. Itu moralitas hancur. Saya tidak mengerti itu.
Sekarang ini terus terang kembali ke zaman
60-an, dimana bupati bawa dengan kain Sabu, kain Sumba, bawa madu satu botol
dari Timor. Jadi jangan you bilang itu korupsi karena oleh-oleh dan buah tangan
itu menjadi bagian dari adanya suka dan duka, berapa sih harganya satu botol
madu, apakah tidak ada arti itu, sebagai tanda hubungan kemanusiaan. Yang ini
ni bukan korupsi karena menjadi bagian dari santun sosial. Tapi tidak tahu
apakah pantas saya ceritakan riwayat saya dulu yang jelas berbeda.
Saya dulu didik para bupati, hari pertama
anda masuk kantor panggil Sekwilda jangan munafik untuk bertanya hak-hak saya
apa saja. Misalnya gaji, apalagi hak saya, uang ini, uang operasional, habis
bulan tuntut hak saya mana, baru kau lakukan kau punya kewajiban. Jadi yang
bukan kau punya hak jangan ambil, ditawarin sekalipun jangan terima.
Selama menjadi gubernur, anda paling sering
masus ke kantor BPS dan lebih sering ada bersama rakyat?
Iya, saya dulu gubernur yang paling sering
masuk kantor Biro Pusat Statistik (BPS) dan sampai sekarang terkenal sebagai
gubernur yang paling suka pakai statistik. Kalau saya lewat di suatu kampung
jam 11 atau 12 siang, saya tidak melihat asap di rumah berarti mereka tidak ada
makan siang. Saya berhenti dan panggil kepala kampung, saya tanya, kok tidak
ada makan siang ya? Ternyata desa itu panennya gagal. Lalu kita minta solusi di
dinas pertanian dan perkebunan. Kalau saya lewat pada hari Sabtu tidak ada jemuran
berarti mereka ke gereja pada hari minggu tidak ganti pakaian atau kalau lewat
pada hari kamis di kampung muslim saya tanya mata pencariannya apa, masa rumah
itu atapnya daun kelapa. sudah rusak, kenapa tidak gotong royong, rumah ko
dibiarkan atapnya bocor. Satu kali saya berhenti mendengar bunyi anjing kecil,
tapi anjingnya tidak ada. Tidak kelihatan saking kecilnya. Itu anjing lebih
kecil dari tikus. Mereka bilang, untuk makanan manusia saja susah, apalagi mau
kasih anjing. Itu kenyataan bagaimana menata ekonomi dan pemerintahan. Sekarang
tidak, mobil kaca reben/reben kaca, mana bisa lihat keluar atau berhenti.
Anda punya pengalaman soal ini?
Kalau saya dulu jadi gubernur, musim hujan
dengan ombak tinggi saya tetap jalan ketemu masyarakat. Kalau ada daerah yang
bencana, besoknya saya sudah tiba di daerah tersebut. Tahun 1989/1990, saya
sudah berhenti gubernur, saya sedang magang di Eropa. Saya pulang jam 09 malam,
gelap gulita. Di Takari saya ketemu orang Takari yang pulang tangkap belut di
kali Noelmina. Saya berhenti dan tanya, jual ko belutnya? Berapa? Yang besar
Rp5000, yang kecil Rp3000. Siapa yang tangkap? Ada satu bapa tua tinggi buta
dia yang tangkap. Dia bisa cium kalau di lobang yang ada belut. Ini om. Lalu
bapak tua itu mendekat; ini pak Ben Mboy ko? Iya. Ben Mboy mantan Gubernur ko?
Oh. Eh…. kalau bapak kepingin makan ambil saja, nanti katong pi tangkap lagi.
Sepuluh tahun bapak omong di RRI Kupang saya selalu dengar dan sekarang sudah 2
tahun saya kehilangan suara bapak. Itu baru namanya rakyat bagaimana relasinya
dengan seorang pemimpin. Orang buta pak! Dua tahun saya tidak pernah dengar
bapak punya suara, bahwa dia belum pernah ketemu saya, hanya dengar di RRI.
Anda sukses membangun NTT dan pantas
dijadikan panutan, tapi anda enggan dipublikasi. Mengapa?
Saya tidak suka banyak diinterview sebab
selalu menonjolkan diri sendiri. Saya tidak mau sebab begitu saya
menceriterakan secara tidak langsung saya merendahkan pengganti-pengganti saya.
Karena mereka tidak tinggalkan apa-apa. Saya ditinggalkan El Tari semangat
tanam, dia juga tidak tinggalkan program, saya yang mengkonversikan ke dalam
perbuatan-perbuatan dengan keberhasilan dan kegagalannya. Semua jalan baik itu
saya yang buat, boleh tanya sama Musakabe dan Fernandez, mereka tinggalkan apa?
Suruh dia sebut apa yang dia lihat, yang dia tinggalkan, tanya Pit Tallo, tanya
Lebu Raya, apa yang boleh sejarah NTT menulis sebagai peninggalan mereka.
Pemerintah itu berbuat untuk rakyat, bukan berteori atau berfilsafat.
Selesai menjabat Gubernur NTT, anda langsung
bertemu Presiden Soeharto. Apakata Soeharto ketika itu?
Waktu saya berhenti dari gubernur, saya
menghadap Soeharto pada 15 Juli 1988. Pak Harto tanya Ben Mboi, kau mau jabatan
apa? Saya jawab, kalau bisa saya pergi sekolah. Sekolah apa? Sekolah
pemerintahan. Kau gubernur terbaik di Republik ini tapi ko mau sekolah
pemerintahan, itu kan sama dengan juara badminton pergi sekolah bulutangkis.
Demi Allah kalau saya tipu, karena kalau bapak kasih saya pekerjaan hari ini
saya tanggalkan semua 10 tahun gubernur itu dan pusatkan perhatian saya pada
jabatan yang baru itu. Sementara saya punya segudang pengalaman semasa saya
jadi gubernur. Saya kepingin mengendapkannya di salah satu perguruan tinggi di
luar negeri, dan insya Allah, suatu saat saya akan menulis dan semoga menjadi
sesuatu yang berguna untuk gubernur-gubernur dan bupati-bupati yang akan
datang.
Menurut anda, apakah memegang kekuasaan itu
gampang?
Ya, memegang kekuasaan itu tidak gampang,
kekuasaan itu panas karena omong tentang nasib sekian juta orang. Kalau kau
tidak punya batin yang kuat dengan godaan uang dan wanita, jangan kira
main-main itu. Saya sudah lewat semua godaan-godaan itu. Apalagi para pengusaha
gampang sekali menyogok orang dengan menawarkan wanita dan uang, jadi you harus
kuat untuk menyatakan tidak. Saya tidak katakan bahw saya sukses, tetapi sudah
melewati godaan itu. Akhirnya ya ditanya kau mau kemana, saya mau ke Eropa, ke
Belanda. Saya mau lihat gimana sih pemerintahan yang baik yang berorientasi
pada rakyat itu, ko rapi sekali di Eropa itu. Bisa tidak Indonesia ini,
pemerintahan sampai di itngkat masyarakat itu rapi.
Kita punya kantor dengan gedung yang tinggi
dan dinding yang tebal. Kalau di Eropa itu kaca semua, sehingga begitu kita
lihat dari luar dia ada bikin apa,baca koran itu tidak ada itu. Begitu anda
masuk, langsung ditanya, saya bisa bantu apa pa? Begitu pertanyaanya. Kita
punya di sini, mau apa? Lho mau berkelahi apa? Belum apa-apa mau apa, gila. Di
sana itu rakyat pa, rakyat yang ada masalah itu pak yang dekat dengan rakyat
yang bermasalah itu pemerintah. Di sini dia ke LSM, ke gereja, ke mesjid, di
sana tidak. Tempat bagi rakyat yang bermasalah adalah pemerintah.
Anda juga satu-satunya gubernur yang pernah
menolak kunjungan Presiden. Bisa diceritakan?
Iya, gubernur yang pernah menolak kedatangan
presiden hanya Ben Mboi. Dan, yang membentak ajudan presiden atau menteri,
dirjen, atau jaksa agung, hanya Ben Mboi. Saya punya jimat yakni kejujuran, dan
pengabdian. Tidak ada satupun orang yang menyangsikan kejujuran saya dalam
membelah bangsa ini. Pada saat perang membela bangsa ini, saya juga ikut
perang.
Tidak ada orang yang bisa bilang Ben Mboi itu
tidak nasionalis dan tidak patriotik. Jika anda tidak punya trek rekor seperti
saya, jangan kau coba-coba tiru saya. Saya berkelahi dengan Komandan Kopasus,
saya gebrak meja pada saat saya pangkat kapten. Orang mau menghukum saya tapi
tidak ada alasan untuk menghukum. Jadi kalau kau tidak punya trek rekor seperti
saya, jangan, orang bisa bunuh kau. Ini yang kadang-kadang terjadi pada orang
yang tidak tahu diri.
Kabarnya anda juga pernah dilaporkan ke
Presiden Soeharto?
Saya pernah dilapor ke Presiden. Ada yang
kirim surat ke Presiden, bahwa Ben Mboi anti Jawa. Presiden Soeharto bilang;
robek dan bakar surat itu. Orang yang kirim surat itu orang yang tidak kenal
Ben Mboi. Kita kenal Ben Mboi dari Letnan satu, tidak ada Ben Mboi seperti itu.
Bakar dan jangan dimasukkan dalam daftar surat keluar masuk di Istana
Kepresidenan. Jadi you harus tunjukkan integritas diri.
Apa nasehat anda kepada pemimpin hari ini dan
generasi muda, juga masyarakat NTT secara keseluruhan?
Saya hanya menjelaskan, sebab tidak boleh
memberi nasihat kepada penerus karena etikanya tidak boleh. Dalam falsafa hidup
kami orang Manggarai, anda tutup mata, lalu seseorang tidak boleh cerita yang
jelek. Berarti orang yang sudah lewat tidak boleh menceritakan kejelekkan
orang. Cerita kebaikannya boleh. Itu etikanya, tetapi anda bisa karang cerita
seperti dalam buku saya. Buku (memoar) saya itu akan menimbulkan heboh karena
ada beberapa nama yang saya angkat di sana, yang menurut saya ada dalam sejarah
NTT, tetapi karena saya terlanjur menulis memoar terpaksa saya hapus. Sebab
sesuatu kebenaran itu harus diceriterakan, tetapi tidak semua kebenaran harus
diceritakan. Ini menjadi pelajaran untuk pers, pers harus cerita kebenaran
tetapi tidak semua fakta harus diceritakan. You harus pertimbangkan dampaknya.
Ini saya kira nasihat terakhir, saya
berbahagia tumbuh bertahap, sampai SR umur 10 tahun saya tumbuh sebagai orang
Manggarai, sampai umur 14 saya tumbuh sebagai orang Flores, sebagai orang
khatolik. Antara umur 14-17 tahun, saya tumbuh sebagai orang Flobamora; sebagai
orang Timor, orang NTT. Antara usia 17-20 tahun, saya tumbu sebagai orang
Indonesia; SMA di Jawa, yang dilanjutkan dengan tumbuh sebagai orang Indonesia
di Universitas Indonesia (UI). Jadi saya mempunyai keuntungan berbeda dengan
banyak pemimpin di sini yang tumbuh sejak TKK sampai S1, S2, dan S3 hanya di
Kupang sehingga seolah-olah Kupang itu adalah Indonesia, sehinga kerdil dan
tidak punya bahan perbandingan. Menariknya, di dalam pertumbuhan itu saya
mempunyai keuntungan historis yaitu saya berjuang terus karena saya jadi pintar
dengan cara miskin, susah hidup saya, dari umur 5 tahun saya berusaha terus
sampai jadi dokter. Pahit. Mengapa saya tidak suka kalau orang minta kemudahan,
saya berjuang dan saya keras terhadap diri sendiri terhadap keluarga, terhadap
kedinasan apa saja. (josh diaz)
Sumber: mediantt.com,
27 Juni 2015
Ket foto: dr Ben Mboi (tengah) bersama sang istrei Ny Nafsiah Mboi
bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat Nafsiah didapuk jadi Menteri
Kesehatan RI Kabinet Presiden Yudhoyono.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!