Oleh Johanes Eka Priyatma
Rektor Universitas Sanata Dharma
PERSOALAN
maraknya ijazah palsu saat ini sebenarnya mudah kita atasi. Pengguna lulusan
dapat meminta keterangan kepada institusi penerbit ijazah tersebut. Demikian
pula institusi pendidikan dapat secara proaktif memublikasikan daftar ijazah
yang diterbitkan lewat laman mereka. Dalam laman ini masyarakat pengguna
lulusan dapat memverifikasi apakah suatu ijazah itu asli atau tidak dengan
mencocokkan data penting, seperti nama, tempat dan tanggal lahir, nomor ijazah,
penanda tangan ijazah, serta foto.
Rusak mentalitas
bangsa
Akan tetapi,
persoalan yang lebih rumit dan merusak mentalitas bangsa adalah praktik
penerbitan ijazah tanpa melalui proses pendidikan yang wajar dan memadai.
Ijazah model ini tidaklah palsu secara fisik, tetapi palsu secara esensial.
Sebab, ijazah adalah tanda kualifikasi pemegangnya dalam menguasai disiplin
ilmu tertentu. Ijazah ini kita sebut saja aspal alias asli tetapi esensinya
palsu.
Zaini (Kompas,
30/5) menjelaskan, di dalam masyarakat kredensial yang menjunjung tinggi
pragmatisme dan formalisme, ijazah aspal punya nilai ekonomis dan simbolis
tinggi. Banyak pekerjaan yang gajinya berdasarkan ijazah dan tidak berdasarkan
kinerja. Sementara itu, masyarakat sangat menghargai orang yang punya ijazah
dengan gelar akademik tinggi meskipun orang tersebut tidak punya sumbangan
gagasan ataupun karya ilmiah sama sekali. Dalam kehidupan sosial seperti ini,
kehadiran institusi penjual gelar atau ijazah aspal sungguh menjawab kebutuhan
riil masyarakat dan tidak melanggar hukum sama sekali.
Realitas ini
mendorong masyarakat memburu ijazah dengan segala cara. Yang penting adalah
ijazah, sementara proses yang harus dilewati sebisa mungkin diakali supaya
lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Apakah nanti ketika ia memegang
ijazah akan memiliki pengetahuan dan keterampilan sesuai ijazahnya, ia tak
perlu ambil pusing. Toh, masyarakat juga tak menghiraukannya. Itulah mengapa
jasa pembuatan skripsi, tesis, bahkan disertasi menjamur. Dalam derajat
tertentu, kehadiran bimbingan tes masuk perguruan tinggi (PT) juga menandai
fenomena jalan pintas dalam pendidikan ini.
Tentu kehadiran
institusi pemberi ijazah aspal merusak semangat dan mentalitas belajar masyarakat. Ijazah aspal akan memperparah
kehidupan bangsa yang telah diwarnai berbagai praktik tak terpuji, seperti
pungutan liar, kongkalikong, suap, dan korupsi. Praktik itu menguatkan prinsip
jahat bahwa semua dapat dibeli. Jika masuk PT sampai memperoleh gelar dapat
dibeli, dapat dibayangkan betapa rusaknya mentalitas kita. Bisa jadi akhirnya
juga kita anggap biasa apabila suara rakyat, kebenaran hukum, bahkan relasi
antaranak bangsa juga dapat dibeli.
Setidaknya ada dua
cara mengikis ijazah aspal. Pertama, masyarakat dan pemerintah harus terus
mengupayakan supaya pemberian upah lebih terkait kinerja dan bukan pertama-tama
berdasarkan ijazah. Kedua, pemerintah
harus terus menciptakan mekanisme kendali mutu institusi pendidikan yang baik.
Mekanisme ini dilakukan untuk melindungi kepentingan masyarakat pengguna
lulusan dan masyarakat pengguna jasa pendidikan.
Selama ini,
pemerintah telah meningkatkan kualitas pendidikan lewat dua peran utamanya:
fasilitator dan evaluator. Usaha pemerintah menjamin kualitas pendidikan
tersebut telah berlangsung dengan gencar selama 20 tahun terakhir. Sebagai
evaluator, pemerintah mewajibkan setiap institusi pendidikan mengikuti
akreditasi. Namun, masih rendahnya kualitas pendidikan kita dan justru maraknya
ijazah aspal sinyal kuat bahwa penjaminan mutu pendidikan lewat proses
akreditasi belum berhasil dengan baik.
Kegagalan ini tentu
memilukan hati mengingat selain bersifat masif, sistemik, dan terstruktur,
proses akreditasi juga menguras dana dan tenaga. Pemerintah sendiri akhirnya
kewalahan, setidaknya untuk mengakreditasi program studi, sehingga prosesnya
sudah mulai disederhanakan dengan cara tidak perlu melakukan visitasi untuk
semua program studi. Hanya program studi yang disinyalir peringkat
akreditasinya akan naik atau turun yang dikunjungi. Pemerintah juga mendorong
lahirnya Lembaga Akreditasi Mandiri. Kesadaran ini datang sangat terlambat
mengingat ratusan doktor dan profesor telah justru disibukkan jadi asesor
akreditasi yang harus mengunjungi banyak program studi yang tersebar di
seantero Indonesia. Proses akreditasi ini seperti menutup mata terhadap
realitas bahwa jumlah karya ilmiah PT kita sangat rendah. Ratusan doktor dan
profesor yang susah payah kita hasilkan malah kita sibukkan dengan kegiatan
administratif.
Akreditasi
disempurnakan
Untuk itu, proses
akreditasi harus disempurnakan lewat dua pendekatan. Pertama, terkait paradigma
yang digunakan. Kedua, lewat penyederhanaan instrumen dan mekanismenya.
Meski bersifat
integratif dengan cara mengevaluasi hampir semua aspek pendidikan, mulai dari
masukan, proses, hingga keluaran, proses akreditasi lebih menempatkan kegiatan
pendidikan sebagai proses produksi. Padahal, seharusnya institusi pendidikan
lebih tepat dimengerti sebagai entitas
pengasuhan dan untuk itulah semua institusi pendidikan pada esensinya
adalah almamater atau ibu asuh bagi alumninya.
Oleh karena itu,
mengandaikan bahwa kualitas output/outcome pendidikan sepenuhnya bergantung
pada ketersediaan bahan, perangkat, dan proses produksi yang baik tidaklah
tepat. Hal ini karena kegiatan pendidikan pertama-tama menyangkut proses
interaksi antarmanusia.
Sebagai insan yang
mempunyai kehendak bebas, pertumbuhan dan kinerja seorang manusia tidak dapat
sepenuhnya terprediksi lewat proses baku tertentu. Perkembangannya lebih
terkait dengan perkara kualitas komunikasi
dan bukan perkara aturan dan proses baku. Lebih-lebih harus kita sadari
bahwa aturan dan proses baku dapat dengan mudah kita buat atau sediakan hanya
semata untuk kepentingan akreditasi.
Menempatkan
institusi pendidikan sebagai almamater ataupun sebagai taman membawa
konsekuensi bahwa kualitas bukan perkara pemenuhan standar input dan proses
formal, tetapi lebih perkara tumbuhnya semangat dan antusiasme belajar serta
berkarya. Sayangnya, tidak ada proses baku bagi terwujudnya semangat dan
antusiasme ini selain terjadinya komunikasi hangat dan jujur, penghargaan atas
keunikan individu, serta adanya kebebasan untuk berkreasi dan berekspresi. Ini
menjadi pekerjaan rumah kita semua untuk menemukan instrumen penilaian
akreditasi yang lebih sesuai dengan esensi kegiatan pendidikan, yakni
pengasuhan.
Sementara itu,
penyederhanaan proses akreditasi paling baik dilakukan dengan meminimalkan
jumlah dan jenis instrumen. Sebaiknya instrumen penilaian hanya menyangkut
output atau outcome pokok kegiatan pendidikan dan tidak perlu mencakup hal yang
bersifat administratif. Ini kita lakukan supaya sumber daya akademik bisa fokus
pada kegiatan ilmiah serta pembelajaran yang produktif dan kreatif. Dengan
demikian, kegiatan pendidikan dapat kembali ke bentuk aslinya sebagai scholae,
yakni aktivitas yang menggairahkan di waktu senggang. Dalam iklim pendidikan
seperti ini, semoga ijazah aspal akan kehilangan relevansinya.
Sumber: Kompas,
13 Juni 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!