MARSEL Welan, Arifin Maran, Nani Ruing dan Vinsen Wadu pada
sidang di Pengadilan Negeri Lewoleba tahun 2014 lalu mengungkapkan bahwa
mereka menghabisi nyawa korban Lorens Wadu di pondok korban di hutan Keam,
dekat pelabuhan Lewoleba pada Sabtu, 8 Juni 2013 lalu.
Pengakuan para
terdakwa yang sudah dijatuhi hukuman seumur hidup (Vinsen Wadu) dan 18 tahun
(Marsel Welan, Arifin Maran dan Naning Ruing) terus menjadi pertanyaan publik,
apakah benar almarhum dieksekusi di pondok atau ditempat lain. Rakyat Lembata
selalu bertanya, “Di manakah Lorens Wadu dibunuh?”
Tanda tanya publik
soal tempat eksekusi almarhum Lorens Wadu terus menjadi pembicaraan masyarakat
Lembata berdasarkan sejumlah kejanggalan yang terjadi. Masyarakat dikejutkan
lagi dengan kesaksian Romo Yeremias Rongan Rianghepat yang melihat mobil merah
diparkir di jalan di samping gudang dekenat Lembata yang mengarah ke kebun
almrahum Lorens Wadu, pada Sabtu, 8 Juni malam tahun 2013 lalu.
Romo Yermin saat
diperiksa di penyidik Polres Lembata mengatakan, dirinya tidak tahu siapa
pemilik mobil merah itu. Mobil merah itu biasanya diparkir di rumah jabatan
bupati Lembata.
Masyarakat semakin
tercengang lagi ketika Surfa Uran atau lebih dikenal Uga Uran saat diperiksa
oleh penyidik beberapa hari lalu terkait kasus pembunuhan berencana terhadap
Lorens Wadu memberikan keterangan bahwa
dirinya sempat menonton rekaman di HP Cross berwarna putih milik Irwan Paokuma,
di mana dua orang tersangka pembunuhan Lorens Wadu bersama dua orang yang tidak
dikenalnya karena membelakangi kamera sedang mengangkat orang yang dibungkus dengan kain.
Uga mengatakan,
berdasarkan pengakuan Irwan Paokuma bahwa dia pernah bekerja di rumah jabatan
bupati Lembata untuk memberikan makanan rusa peliharaan Bupati Lembata Eliaser
Yentji Sunur. Irwan saat konfrontasi dengan Uga Uran membantah keterangan Uga
Uran. Irwan tidak tahu soal rekaman tersebut.
Bernadus Sesa Manuk
mengatakan, keraguan masyarakat soal tempat eksekusi almarhum Lorens Wadu
semakin kuat ketika Uga Uran diperiksa oleh penyidik Polres Lembata.
“Dengan adanya
kejanggalan-kejanggalan di TKP (kebun korban) itu, saya sejak awal meragukan
soal tempat eksekusi almarhum. Apakah benar almarhum dieksekusi di pondoknya,
atau almarhum dieksekusi di tempat lain? Penyidik harus selidiki betul di rumah
jabatan bupati berdasarkan keterangan dari Uga Uran,” katanya.
Irwan Paokuma boleh
menyangkal bahwa dia tidak pernah menunjukkan rekaman tersebut, namun penyidik
mempunyai cara lain untuk melihat apakah keterangan Paokuma itu benar atau
bohong. Publik termasuk polisi sendiri tahu dan dengar bahwa kasus pembunuhan
Lorens Wadu selalu dikaitkan dengan rumah jabatan, misalnya, soal mobil merah,
soal video rekaman dua tersangka mengangkat orang yang dibungkus dengan kain di
rumah jabatan, seorang anggota intel Polres Lembata membawa video rekaman
kesaksian para tersangka di rumah jabatan untuk dinonton di rumah jabatan.
“Mengapa video
rekaman keterangan tersangka dibawa ke rumah jabatan untuk dinonton. Saya
sekali lagi meminta penyidik Polda serius untuk menyelidiki rumah jabatan, ada
apa dengan rumah jabatan bupati?” katanya.
Mantan penjabat
bupati Lembata Petrus Boliona Keraf yang ditemui Flores Pos di kediamannya,
Sabtu (6/6) mengatakan, dengan adanya keterangan dari saksi-saksi soal mobil
merah, kesaksian Uga Uran yang menonton rekaman dua tersangka sedang mengangkat
orang yang dibungkus dengan kain di rumah jabatan bupati, anggota polisi yang
membawa rekaman keterangan Marsel Welan dan kawan-kawan saat diperiksa oleh
penyidik Polres Lembata untuk dinonton di rumah jabatan bupati, maka tidak ada
alasan bagi polisi untuk meminta keterangan Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur
sebagai “pemilik” rumah jabatan atau yang menghuni rujab tersebut.
Piter Keraf yang
adalah penjabat bupati Lembata di awal Lembata menjadi sebuah kabupaten yang
otonom dan hampir dua tahun tinggal di rumah jabatan bupati mengatakan, rumah
jabatan adalah rumah untuk pejabat protokoler yang dihormati oleh masyarakat.
Rumah jabatan bupati Lembata adalah rumah adat yang sakral bagi masyarakat
Lembata.
Di dalam rumah
jabatan bupati atau rumah adat bagi seluruh suku-suku yang ada di Lembata
bertakhta roh-roh leluhur Lewotana Lembata.
“Kami menghormati
rumah jabatan ini karena kami menghormati arwah leluhur kami di Lembata. Jika
benar bahwa pembunuhan Lorens Wadu terjadi di rumah jabatan, maka otak
pembunuhan, pelaku pembunuhan termasuk orang-orang yang menyembunyikan kasus
Lorens Wadu ini terkutuklah mereka,” ujarnya.
Jika benar
pembunuhan di rumah jabatan, maka mereka
telah mengingkari keberadaan leluhur Lewotana Lembata. Sebagai tokoh masyarakat
dan mantan pejabat bupati yang pernah menghuni rumah jabatan bupati Lembata
ini, Piter meminta seluruh masyarakat Lembata yang melihat dan mengetahui kasus
pembunuhan Lorens Wadu harus berani berbicara dan memberikan kesaksian.
“Saya meminta,
kalau ada orang yang melihat dan mengetahui kasus Lorens Wadu, bukalah
mulutmu dan katakan yang sebenarnya,”
katanya.
Ketika ditanya soal
perasaannya sebagai mantan penjabat bupati yang pernah tinggal di rumah jabatan
bupati, Piter Keraf mengatakan, jika benar bahwa pembunuhan terjadi di rumah
jabatan, maka begitu teganya orang tidak menghargai rumah jabatan bupati
sebagai simbol rumah adat seluruh suku yang ada di Lembata.
“Katakan benar
seperti itu, saya mengatasnamai seluruh arwah leluhur nenek moyang Lembata,
arwah para pejuang otonomi Lembata dan masyarakat Lembata mengutuk perbuatan
itu dan meminta leluhur Lewotana Lembata
untuk menyikapi kasus ini dengan cara mereka sendiri,” tegasnya.
Keraf mengatakan,
makna otonomi untuk menyejahetarakan rakyat. “Inikah makna dari perjuangan
otonomi Lembata untuk menghalalkan perbuatan keji? Terkutuklah kami semua hai
para pelaku, dan otak pembunuhan Lorens Wadu,” ungkapnya.
Sumber: Flores Pos, 8
Juni 2015
Ket foto: Bupati Eliaser Yenjti Sunur dan mantan Penjabata Bupati Piter Boliona Keraf
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!