Oleh Yohanes Kristo Tara, OFM
Biarawan
Fransiskan;
tinggal di Laktutus, Atambua
tinggal di Laktutus, Atambua
HIRUK-pikuk menjelang pilkada
serentak tahun ini telah dimulai. Parpol membuka ruang dan para paket ramai
mendaftar. Calon independen pun tidak ketinggalan mengumpul KTP massa
pendukungnya. Saling sikut antarpaket calon tak terhindarkan. Black campaign
berhembus kencang mulai dari akar rumput hingga ruang-ruang birokrasi. Dalam
hiruk pikuk seperti itu, kita bertanya, ke mana arah Pilkada kita? Dapatkah
Pilkada kali ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang siap melayani rakyat,
imaginatif kreatif dan kaya prestasi, punya integritas dan moralitas otentik?
Ataukah sebaliknya?
Rezim Pilkada langsung merupakan anak
kandung reformasi yang secara legal-formal diakomodir dalam UU Otonomi Daerah
No: 32/2004. Terlepas dari sejumlah kelemahan, roh di balik UU ini sebagaimana
tertera dalam konsiderans huruf (a) adalah mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem NKRI.
Agar tujuan tersebut tercapai, maka
konsiderans huruf (b) dan pasal 2 UU Otda mengatur adanya pergeseran pola
pemerintahan dari sentralisasi menunju desentralisasi yakni penyerahan sebagian
kewenangan pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya
sendiri sesuai potensi dan keanekaragaman serta berdasarkan prakarsa dan
aspirasi daerah. Maka esensi desentralisasi sesungguhnya adalah agar dengan
kewenangan yang dimiliki, pemerintah daerah dapat secara maksimal mengurusi
urusan rumah tangganya berdasarkan prakarsa dan aspirasi rakyat demi
tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Mengingat roh di baliknya, maka UU Otda
memberi mandat yang luas dan kuat kepada Kepala Daerah melalui sejumlah tugas
dan wewenang (pasal 25 dan 26) dan dipilih secara langsung oleh rakyat (pasal
24 ayat 2) yang dilengkapi dengan sejumlah kewajiban (pasal 27) dan larangan
(pasal 28). UU Otda memang mensyaratkan seorang kepala daerah yang mampu
menuntaskan tujuan fundamental otonomi daerah melalui ruang pilkada yang
berkualitas.
Mecermati arah UU Otda dan persoalan
kedaerahan, rakyat berharap pilkada dapat menghasilkan pemimpin daerah
berkualitas. Meminjam diksi alkitabiah, Pilkada merupakan rahim bagi lahirnya
para pemimpin yang memiliki pathos rakyat demi terinkarnasinya gagasan-gagasan
ideal-eksistensial negara ini. Pemimpin yang dimaksud adalah mereka yang
memiliki rasa kesedihan terhadap nasib rakyat, mampu merasakan penderitaan dan
kerinduan rakyat. Pathos akan melahirkan rasa cinta dan tanggung jawab,
kepedulian dan belas kasih, kerinduan untuk mendekati dan mendengar rakyat.
Pemimpin yang memiliki pathos rakyat
niscaya mampu menerjemahkan gagasan desentralisasi secara tepat, matang, dan
konkrit agar roh Otda bisa terealisasi demi mengubah nasib rakyat. Pemimpin
berkarakter pathos rakyat adalah dia yang mampu mengemban amanat rakyat
sebagaimana diamanatkan konstitusi, yakni keadilan sosial dan kesejahteraan
bersama.
Masalah krusialnya selama ini Pilkada
sering kali dilepas dari tujuan dan roh fundamental Otda serta jauh dari amanat
konstitusi. Acap kali pilkada diterjemahkan melulu sebagai ruang merebut
kekuasaan. Aroma politik transaksional dengan politik uang tumbuh subur dan
membunuh benih demokrasi yang mulai mekar di hati rakyat. Pilkada bukan lagi
ruang bagi calon pemimpin untuk memberikan pendidikan politik, mengadu gagasan
dan grand design pembangunan yang bermanfaat bagi peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan rakyat. Orientasi kekuasaan menjadi amat kental.
Dengan kualitas pilkada seperti itu,
kepala daerah yang dihasilkan pun amat opurtunis, tanpa pathos rakyat. Mereka
menjadi petualang politik yang penuh syahwat kekuasaan, tanpa karakter
kepemimpinan sebagaimana disyaratkan Undang-Undang, munafik dan tidak setia
pada kebenaran. Mereka bahkan sering kali berlaku sinis pada kebenaran dan
gemar menebar kebohongan.
Banyak kepala daerah berlaku tidak adil
dan diskriminatif. Sikap tak terpuji dan inskonstitusional itu mereka tumbuhkan
mulai dari ruang birokrasi terkait pergantian dan penempatan pejabat struktural
hingga implementasi program pembangunan di tingkat akar rumput yang sarat KKN.
Gagasan The rigth man on the right place sesuai dengan kemampuan, kecakapan,
dan keahlian seseorang sebagai bagian dari reformasi birokrasi dan indikator
good governance diabaikan. Pemerataan pembangunan sebagaimana diamanatkan UU
Otda ternyata masih jauh panggang dari api. Ada wilayah dan kelompok masyarakat
yang setiap tahun mendapat kue pembangunan, tetapi ada juga yang amat jauh dari
sentuhan pembangunan. Politik transaksional pilkada telah mereproduksi
ketidakadilan dan diskriminasi, mengubur tujuan fundamental Otda.
Banyak juga kepala daerah yang anti
kritik dan arogan. Mereka tidak mau disalahkan, dikoreksi dan diberi masukan.
Kalau ada kelompok masyarakat yang mengkritisi kebijakkan pemerintah, mereka
lantas diberi label lawan politik, provokator dan penghambat pembangunan yang
harus diberangus dan ditutup mulutnya. Kepala daerah jenis itu sesungguhnya
anti demokrasi alias otoritarian. Padahal mereka lahir dari rahim demokrasi dan
roh UU Otda amat memberi ruang pada demokrasi melalui keluasan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan.
Salah satu bentuk partisipasi masyarakat
adalah mengkritisi setiap kebijakkan pemerintah yang salah arah atau belum
maksimal. Untuk itu, diskursus dan dialog antara kepala daerah dan rakyatnya
adalah niscaya dalam rezim Otda. Sebab pelimpahan wewenang pusat ke daerah
dimaksudkan agar pemda dapat mengatur dan mengurus daerahnya, menggali dan
memanfaatkan sumber daya alam sesuai dengan prioritas dan kebutuhan rakyat
setempat. Dalam konteks itulah partisipasi masyarakat mesti ditempatkan dengan
tujuan seorang kepala daerah memiliki kekayaan aspirasi dan menyerap kebutuhan
rakyat.
Banyak pula pemimpin daerah yang tidak
kreatif, lemah konsep dan tanpa grand design pembangunan daerahnya. Mereka
sangat institusionalistik-formalistik dan terpenjara dalam skat rutinitas
birokrasi yang kering dan miskin prestasi. Imaginasi segar dan menantang dalam
visi misi masa kampanye lenyap dalam lingkarang setan alibi ketergantungan pada
pemerintah pusat. Kepala daerah gagal menerjemahkan desentralisasi dan
dekonsentrasi sebagai esensi demokrasi rezim otda.
Padahal latar belakang Otda adalah agar
kreativitas daerah dan parakarsa dari bawah yang terpasung selama puluhan tahun
oleh rezim sentralistik dapat terakomodir dan tumbuh serta menjadi roh
penggerak pembangunan daerah. Otonomi daerah, yang secara filosofis dapat
diterjemahkan sebagai otonomi masyarakat daerah justru hendak memberi ruang
luas pada kemandirian, kreativitas dan prakarsa daerah. Oleh karena itu, kepala
daerah mestinya dapat berjuang dan bekerja bersama masyarakat daerah agar
kemandirian, kreativitas dan prakarsa tersebut dapat teraplikasi dalam berbagai
gerak pembangunan.
Akhirnya banyak juga kepala daerah yang
tidak memiliki moralitas otentik dan integritas pribadi yang kuat. Kepala
daerah acap kali terperangkap dalam kemunafikan politik. Padahal moralitas
itulah yang melindungi kepribadian dan membingkai jabatan seorang kepala daerah
agar setia pada sumpah jabatannya. Ketika pilkada melahirkan kepala daerah
tanpa integritas dan moralitas otentik, maka masuk akal Kemendagri merilis
sejak 2005 hingga akhir tahun 2014 ada sekitar 327 kepala daerah yang
tersangkut masalah hukum dan 80 persen berkaitan dengan kasus korupsi.
Ketika kepala daerah tidak paham roh
Otda, maka penyelenggaraan daerah jadi amburadul, KKN tumbuh subur sejajar
kemiskinan dan ketidakadilan. Karena itu, kembalikan pilkada pada roh otda dan
stop manfaatkan ruang pilkada untuk tipu-tipu rakyat. Pilkada adalah ruang memilih
pemimpin bukan penipu. Pilihlah pemimpin yang memiliki pathos rakyat, karena
niscaya dia akan mendengar dan memperhatikan, melindungi dan merawat, serta
melayani rakyat.
Sumber: Pos Kupang, 15 Juni 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!