Headlines News :
Home » » Memilih Pemimpin Bukan Penipu

Memilih Pemimpin Bukan Penipu

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, June 17, 2015 | 4:53 PM

Oleh Yohanes Kristo Tara, OFM
Biarawan Fransiskan;
tinggal di Laktutus, Atambua 

HIRUK-pikuk menjelang pilkada serentak tahun ini telah dimulai. Parpol membuka ruang dan para paket ramai mendaftar. Calon independen pun tidak ketinggalan mengumpul KTP massa pendukungnya. Saling sikut antarpaket calon tak terhindarkan. Black campaign berhembus kencang mulai dari akar rumput hingga ruang-ruang birokrasi. Dalam hiruk pikuk seperti itu, kita bertanya, ke mana arah Pilkada kita? Dapatkah Pilkada kali ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang siap melayani rakyat, imaginatif kreatif dan kaya prestasi, punya integritas dan moralitas otentik? Ataukah sebaliknya?

Rezim Pilkada langsung merupakan anak kandung reformasi yang secara legal-formal diakomodir dalam UU Otonomi Daerah No: 32/2004. Terlepas dari sejumlah kelemahan, roh di balik UU ini sebagaimana tertera dalam konsiderans huruf (a) adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.

Agar tujuan tersebut tercapai, maka konsiderans huruf (b) dan pasal 2 UU Otda mengatur adanya pergeseran pola pemerintahan dari sentralisasi menunju desentralisasi yakni penyerahan sebagian kewenangan pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri sesuai potensi dan keanekaragaman serta berdasarkan prakarsa dan aspirasi daerah. Maka esensi desentralisasi sesungguhnya adalah agar dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintah daerah dapat secara maksimal mengurusi urusan rumah tangganya berdasarkan prakarsa dan aspirasi rakyat demi tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.

Mengingat roh di baliknya, maka UU Otda memberi mandat yang luas dan kuat kepada Kepala Daerah melalui sejumlah tugas dan wewenang (pasal 25 dan 26) dan dipilih secara langsung oleh rakyat (pasal 24 ayat 2) yang dilengkapi dengan sejumlah kewajiban (pasal 27) dan larangan (pasal 28). UU Otda memang mensyaratkan seorang kepala daerah yang mampu menuntaskan tujuan fundamental otonomi daerah melalui ruang pilkada yang berkualitas.

Mecermati arah UU Otda dan persoalan kedaerahan, rakyat berharap pilkada dapat menghasilkan pemimpin daerah berkualitas. Meminjam diksi alkitabiah, Pilkada merupakan rahim bagi lahirnya para pemimpin yang memiliki pathos rakyat demi terinkarnasinya gagasan-gagasan ideal-eksistensial negara ini. Pemimpin yang dimaksud adalah mereka yang memiliki rasa kesedihan terhadap nasib rakyat, mampu merasakan penderitaan dan kerinduan rakyat. Pathos akan melahirkan rasa cinta dan tanggung jawab, kepedulian dan belas kasih, kerinduan untuk mendekati dan mendengar rakyat.

Pemimpin yang memiliki pathos rakyat niscaya mampu menerjemahkan gagasan desentralisasi secara tepat, matang, dan konkrit agar roh Otda bisa terealisasi demi mengubah nasib rakyat. Pemimpin berkarakter pathos rakyat adalah dia yang mampu mengemban amanat rakyat sebagaimana diamanatkan konstitusi, yakni keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.

Masalah krusialnya selama ini Pilkada sering kali dilepas dari tujuan dan roh fundamental Otda serta jauh dari amanat konstitusi. Acap kali pilkada diterjemahkan melulu sebagai ruang merebut kekuasaan. Aroma politik transaksional dengan politik uang tumbuh subur dan membunuh benih demokrasi yang mulai mekar di hati rakyat. Pilkada bukan lagi ruang bagi calon pemimpin untuk memberikan pendidikan politik, mengadu gagasan dan grand design pembangunan yang bermanfaat bagi peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Orientasi kekuasaan menjadi amat kental.

Dengan kualitas pilkada seperti itu, kepala daerah yang dihasilkan pun amat opurtunis, tanpa pathos rakyat. Mereka menjadi petualang politik yang penuh syahwat kekuasaan, tanpa karakter kepemimpinan sebagaimana disyaratkan Undang-Undang, munafik dan tidak setia pada kebenaran. Mereka bahkan sering kali berlaku sinis pada kebenaran dan gemar menebar kebohongan.

Banyak kepala daerah berlaku tidak adil dan diskriminatif. Sikap tak terpuji dan inskonstitusional itu mereka tumbuhkan mulai dari ruang birokrasi terkait pergantian dan penempatan pejabat struktural hingga implementasi program pembangunan di tingkat akar rumput yang sarat KKN. Gagasan The rigth man on the right place sesuai dengan kemampuan, kecakapan, dan keahlian seseorang sebagai bagian dari reformasi birokrasi dan indikator good governance diabaikan. Pemerataan pembangunan sebagaimana diamanatkan UU Otda ternyata masih jauh panggang dari api. Ada wilayah dan kelompok masyarakat yang setiap tahun mendapat kue pembangunan, tetapi ada juga yang amat jauh dari sentuhan pembangunan. Politik transaksional pilkada telah mereproduksi ketidakadilan dan diskriminasi, mengubur tujuan fundamental Otda.

Banyak juga kepala daerah yang anti kritik dan arogan. Mereka tidak mau disalahkan, dikoreksi dan diberi masukan. Kalau ada kelompok masyarakat yang mengkritisi kebijakkan pemerintah, mereka lantas diberi label lawan politik, provokator dan penghambat pembangunan yang harus diberangus dan ditutup mulutnya. Kepala daerah jenis itu sesungguhnya anti demokrasi alias otoritarian. Padahal mereka lahir dari rahim demokrasi dan roh UU Otda amat memberi ruang pada demokrasi melalui keluasan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Salah satu bentuk partisipasi masyarakat adalah mengkritisi setiap kebijakkan pemerintah yang salah arah atau belum maksimal. Untuk itu, diskursus dan dialog antara kepala daerah dan rakyatnya adalah niscaya dalam rezim Otda. Sebab pelimpahan wewenang pusat ke daerah dimaksudkan agar pemda dapat mengatur dan mengurus daerahnya, menggali dan memanfaatkan sumber daya alam sesuai dengan prioritas dan kebutuhan rakyat setempat. Dalam konteks itulah partisipasi masyarakat mesti ditempatkan dengan tujuan seorang kepala daerah memiliki kekayaan aspirasi dan menyerap kebutuhan rakyat.

Banyak pula pemimpin daerah yang tidak kreatif, lemah konsep dan tanpa grand design pembangunan daerahnya. Mereka sangat institusionalistik-formalistik dan terpenjara dalam skat rutinitas birokrasi yang kering dan miskin prestasi. Imaginasi segar dan menantang dalam visi misi masa kampanye lenyap dalam lingkarang setan alibi ketergantungan pada pemerintah pusat. Kepala daerah gagal menerjemahkan desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai esensi demokrasi rezim otda.

Padahal latar belakang Otda adalah agar kreativitas daerah dan parakarsa dari bawah yang terpasung selama puluhan tahun oleh rezim sentralistik dapat terakomodir dan tumbuh serta menjadi roh penggerak pembangunan daerah. Otonomi daerah, yang secara filosofis dapat diterjemahkan sebagai otonomi masyarakat daerah justru hendak memberi ruang luas pada kemandirian, kreativitas dan prakarsa daerah. Oleh karena itu, kepala daerah mestinya dapat berjuang dan bekerja bersama masyarakat daerah agar kemandirian, kreativitas dan prakarsa tersebut dapat teraplikasi dalam berbagai gerak pembangunan.

Akhirnya banyak juga kepala daerah yang tidak memiliki moralitas otentik dan integritas pribadi yang kuat. Kepala daerah acap kali terperangkap dalam kemunafikan politik. Padahal moralitas itulah yang melindungi kepribadian dan membingkai jabatan seorang kepala daerah agar setia pada sumpah jabatannya. Ketika pilkada melahirkan kepala daerah tanpa integritas dan moralitas otentik, maka masuk akal Kemendagri merilis sejak 2005 hingga akhir tahun 2014 ada sekitar 327 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum dan 80 persen berkaitan dengan kasus korupsi.

Ketika kepala daerah tidak paham roh Otda, maka penyelenggaraan daerah jadi amburadul, KKN tumbuh subur sejajar kemiskinan dan ketidakadilan. Karena itu, kembalikan pilkada pada roh otda dan stop manfaatkan ruang pilkada untuk tipu-tipu rakyat. Pilkada adalah ruang memilih pemimpin bukan penipu. Pilihlah pemimpin yang memiliki pathos rakyat, karena niscaya dia akan mendengar dan memperhatikan, melindungi dan merawat, serta melayani rakyat. 
Sumber: Pos Kupang, 15 Juni 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger