Headlines News :
Home » » Spiritualitas Pengelolaan Negara

Spiritualitas Pengelolaan Negara

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, July 22, 2015 | 11:04 AM


Oleh Saifur Rohman 
Pengajar Program Doktor Ilmu 
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta 

PEMERINTAH menunda usulan kenaikan dana partai politik 10 kali lipat dalam rencana anggaran Kementerian Dalam Negeri 2016, Sabtu (27/6). Dua hari sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo secara tegas mengusulkan kenaikan dana bantuan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara.

Usulan tersebut katanya bertujuan untuk memperkecil potensi korupsi di jajaran kader partai. Kasus yang kongruen dalam minggu yang sama, DPR telah mengesahkan Peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Pembangunan Daerah Pemilihan atau kebih dikenal dengan istilah dana aspirasi, (23/6).

Dalam perspektif pendidikan politik, jika kebijakan adalah produk kognitif dari para elite politik, maka implikasi dari kebijakan itu merupakan dimensi etis yang dapat diukur dari moralitas yang diterima publik. Berdasarkan indikator keberterimaan itu, patut dipertanyakan, bagaimana permodelan etika para politisi dalam kognisi publik? Sebetulnya apa motif dasar yang mendorong pelaksanaan tugas negara itu? Bila tindakan elite politik memiliki dimensi moral, maka bagaimana relevansinya bagi pendidikan dalam etika publik?

Fakta-fakta selama ini menunjukkan, kebijakan publik sering kali mengabaikan dimensi etis dalam praktik pengawasan, penganggaran, dan legislasi. Sebab, pada dasarnya pengelolaan negara haruslah didorong oleh motif- motif dasar pribadi yang mencerminkan kemuliaan dan keadilan. Sebagai bagian dari kajian etis, nilai-nilai itu dibakukan melalui norma "keadilan sosial" sebagaimana termaktub dalam Pancasila. Itulah kenapa dalam tradisi demokrasi di Yunani Kuno ada pemisahan tegas antara kegiatan ekonomi dan politik. Pnyx adalah tempat kegiatan politik yang mengutamakan kemuliaan sedangan Agora adalah tempat bisnis yang mengutamakan keuntungan.

Bila direfleksikan dalam konteks pendidikan politik di Indonesia, menjadi sulit dipahami argumentasi yang didasarkan pada hubungan positif antara kenaikan dana parpol dan upaya pencegahan korupsi. Semakin tinggi bantuan dana parpol, semakin besar upaya pencegahan korupsi. Pernyataan Mendagri jelas mengabaikan etika publik ketika mengusulkan bahwa pemerintah mestinya membiayai seluruh kegiatan parpol, yakni dari biaya operasional, kaderisasi, hingga persiapan pemilu (Kamis, 23/6).

Menyembunyikan motif

Ada spiritualitas yang hilang bila praktik pengelolaan negara ditinjau dari pembelajaran etika publik di Indonesia. Pudarnya pengembangan etika publik dalam perilaku politik ini didorong oleh tiga fakta dasar.

Pertama, pengabaian para elite politik terhadap pengembangan etika publik itu terjadi karena ketidakmampuan memahami spiritualitas pengelolaan negara yang didasarkan pada nilai keadilan dan kemuliaan. Teori keadilan John Rawls berbunyi bahwa keuntungan haruslah diperoleh sebesar-besarnya bagi "few provided that the situation of persons not so endowed is thereby improved "(Rawls, 1971: 132).

Faktanya, keuntungan diperoleh oleh kelompok besar. Dana aspirasi atau dana parpol yang dihitung berdasarkan perolehan suara adalah deret ukur yang akan menguntungkan mayoritas dan merugikan minoritas.

Kedua, perilaku elite politik sering kali menyembunyikan motif-motif dasar para individu yang duduk dalam mekanisme penyelenggaraan negara. Pengembangan konsep analitika bahasa dari tradisi bahasa sehari-hari JL Austin ditemukan teknik analisis motif melalui tiga tahapan, yakni kejelasan arti, kesungguhan maksud, dan kebenaran faktual. Bila direfleksikan terhadap pernyataan pemerintah terkait dana parpol, maka akan sampai pada tingkat kedua.

Tahap kejelasan arti sudah terlihat dari usulan yang dimasukkan dalam Anggaran Kemendagri 2016. Tetapi, kejelasan tersebut tidak sampai pada kesungguhan maksud karena dua hari kemudian pernyataan itu dicabut dengan istilah penundaan.

Hasil refleksi tersebut mestinya tak berhenti pada pernyataan bahwa usulan di atas ternyata tidak sungguh-sungguh. Langkah penundaan itu bisa dibaca sebagai bukti kesungguhan dalam bentuk lain. Itu berarti, pemerintah hanya ingin mengetahui respons publik ketika usulan tersebut digulirkan. Sebab, apakah pemerintah akan tetap menunda andaikan respons masyarakat menunjukkan nilai positif?

Tidak aneh bila usulan dana aspirasi yang ditolak pada 2011 itu kemudian muncul lagi sekarang ini dan disahkan pada 23 Juni 2015. Dalam kalkulasi kasar, rencananya setiap anggota DPR akan memperoleh dana Rp 20 miliar per tahun untuk alokasi APBN 2016. Dengan begitu, mengingat ada 560 anggota DPR, maka jumlah dana keseluruhan adalah Rp 11,2 triliun.

Ketiga, Pancasila tidak pernah dijadikan sebagai motif dasar membangun spiritualitas bagi para pengelola negara. Konsepsi keadilan dan kemuliaan disamakan dengan kesempatan dan keuntungan. Warisan dari para leluhur menunjukkan pemisahan itu dengan jelas. Dalam Nagarakrtagama disebutkan standar perilaku para pemuka kerajaan prakolonial yang mengutamakan "pangaran arya" atau keteladanan. Hal itu dilandasi nilai dasar bahwa pemimpin adalah titisan dewata, memahami dan melaksanakan dharma. Refleksi atas konsep tersebut dalam kenyataan sekarang adalah tuntutan terhadap kemampuan para pemimpin negeri membuktikan sebagai ikon keteladanan dan membentuk konsep diri yang mulia.

Bila argumentasi di atas benar, runtuhnya spiritualitas pengelolaan negara pada kenyataannya kini telah diganti dengan permainan motif untuk mencari kesempatan dan keuntungan. Pada saat yang sama kiranya perlu disadari bersama, setiap kegiatan mengumpulkan uang sebesar-besarnya untuk keuntungan pribadi maupun kelompok yang mengatasnamakan pembangunan adalah kejahatan. 
Sumber: Kompas, 22 Juli 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger