Pengajar Program Doktor Ilmu
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta
PEMERINTAH menunda usulan kenaikan dana partai
politik 10 kali lipat dalam rencana anggaran Kementerian Dalam Negeri 2016,
Sabtu (27/6). Dua hari sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo secara tegas
mengusulkan kenaikan dana bantuan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara.
Usulan tersebut
katanya bertujuan untuk memperkecil potensi korupsi di jajaran kader partai.
Kasus yang kongruen dalam minggu yang sama, DPR telah mengesahkan Peraturan DPR
tentang Tata Cara Pengusulan Pembangunan Daerah Pemilihan atau kebih dikenal
dengan istilah dana aspirasi, (23/6).
Dalam perspektif
pendidikan politik, jika kebijakan adalah produk kognitif dari para elite
politik, maka implikasi dari kebijakan itu merupakan dimensi etis yang dapat
diukur dari moralitas yang diterima publik. Berdasarkan indikator keberterimaan
itu, patut dipertanyakan, bagaimana permodelan etika para politisi dalam
kognisi publik? Sebetulnya apa motif dasar yang mendorong pelaksanaan tugas
negara itu? Bila tindakan elite politik memiliki dimensi moral, maka bagaimana
relevansinya bagi pendidikan dalam etika publik?
Fakta-fakta selama
ini menunjukkan, kebijakan publik sering kali mengabaikan dimensi etis dalam
praktik pengawasan, penganggaran, dan legislasi. Sebab, pada dasarnya
pengelolaan negara haruslah didorong oleh motif- motif dasar pribadi yang
mencerminkan kemuliaan dan keadilan. Sebagai bagian dari kajian etis,
nilai-nilai itu dibakukan melalui norma "keadilan sosial" sebagaimana
termaktub dalam Pancasila. Itulah kenapa dalam tradisi demokrasi di Yunani Kuno
ada pemisahan tegas antara kegiatan ekonomi dan politik. Pnyx adalah tempat
kegiatan politik yang mengutamakan kemuliaan sedangan Agora adalah tempat
bisnis yang mengutamakan keuntungan.
Bila direfleksikan
dalam konteks pendidikan politik di Indonesia, menjadi sulit dipahami
argumentasi yang didasarkan pada hubungan positif antara kenaikan dana parpol
dan upaya pencegahan korupsi. Semakin tinggi bantuan dana parpol, semakin besar
upaya pencegahan korupsi. Pernyataan Mendagri jelas mengabaikan etika publik
ketika mengusulkan bahwa pemerintah mestinya membiayai seluruh kegiatan parpol,
yakni dari biaya operasional, kaderisasi, hingga persiapan pemilu (Kamis,
23/6).
Menyembunyikan motif
Ada spiritualitas
yang hilang bila praktik pengelolaan negara ditinjau dari pembelajaran etika
publik di Indonesia. Pudarnya pengembangan etika publik dalam perilaku politik
ini didorong oleh tiga fakta dasar.
Pertama, pengabaian
para elite politik terhadap pengembangan etika publik itu terjadi karena
ketidakmampuan memahami spiritualitas pengelolaan negara yang didasarkan pada
nilai keadilan dan kemuliaan. Teori keadilan John Rawls berbunyi bahwa
keuntungan haruslah diperoleh sebesar-besarnya bagi "few provided that the
situation of persons not so endowed is thereby improved "(Rawls, 1971:
132).
Faktanya,
keuntungan diperoleh oleh kelompok besar. Dana aspirasi atau dana parpol yang
dihitung berdasarkan perolehan suara adalah deret ukur yang akan menguntungkan
mayoritas dan merugikan minoritas.
Kedua, perilaku
elite politik sering kali menyembunyikan motif-motif dasar para individu yang
duduk dalam mekanisme penyelenggaraan negara. Pengembangan konsep analitika
bahasa dari tradisi bahasa sehari-hari JL Austin ditemukan teknik analisis
motif melalui tiga tahapan, yakni kejelasan arti, kesungguhan maksud, dan
kebenaran faktual. Bila direfleksikan terhadap pernyataan pemerintah terkait
dana parpol, maka akan sampai pada tingkat kedua.
Tahap kejelasan
arti sudah terlihat dari usulan yang dimasukkan dalam Anggaran Kemendagri 2016.
Tetapi, kejelasan tersebut tidak sampai pada kesungguhan maksud karena dua hari
kemudian pernyataan itu dicabut dengan istilah penundaan.
Hasil refleksi
tersebut mestinya tak berhenti pada pernyataan bahwa usulan di atas ternyata
tidak sungguh-sungguh. Langkah penundaan itu bisa dibaca sebagai bukti
kesungguhan dalam bentuk lain. Itu berarti, pemerintah hanya ingin mengetahui
respons publik ketika usulan tersebut digulirkan. Sebab, apakah pemerintah akan
tetap menunda andaikan respons masyarakat menunjukkan nilai positif?
Tidak aneh bila
usulan dana aspirasi yang ditolak pada 2011 itu kemudian muncul lagi sekarang
ini dan disahkan pada 23 Juni 2015. Dalam kalkulasi kasar, rencananya setiap
anggota DPR akan memperoleh dana Rp 20 miliar per tahun untuk alokasi APBN
2016. Dengan begitu, mengingat ada 560 anggota DPR, maka jumlah dana
keseluruhan adalah Rp 11,2 triliun.
Ketiga, Pancasila
tidak pernah dijadikan sebagai motif dasar membangun spiritualitas bagi para
pengelola negara. Konsepsi keadilan dan kemuliaan disamakan dengan kesempatan
dan keuntungan. Warisan dari para leluhur menunjukkan pemisahan itu dengan
jelas. Dalam Nagarakrtagama disebutkan standar perilaku para pemuka kerajaan
prakolonial yang mengutamakan "pangaran arya" atau keteladanan. Hal
itu dilandasi nilai dasar bahwa pemimpin adalah titisan dewata, memahami dan
melaksanakan dharma. Refleksi atas konsep tersebut dalam kenyataan sekarang
adalah tuntutan terhadap kemampuan para pemimpin negeri membuktikan sebagai
ikon keteladanan dan membentuk konsep diri yang mulia.
Bila argumentasi di
atas benar, runtuhnya spiritualitas pengelolaan negara pada kenyataannya kini
telah diganti dengan permainan motif untuk mencari kesempatan dan keuntungan.
Pada saat yang sama kiranya perlu disadari bersama, setiap kegiatan
mengumpulkan uang sebesar-besarnya untuk keuntungan pribadi maupun kelompok
yang mengatasnamakan pembangunan adalah kejahatan.
Sumber: Kompas, 22 Juli 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!