Alumnus Filsafat Politik
Universitas
Humboldt, Berlin, Jerman
ANJLOKNYA rupiah beberapa waktu silam membangkitkan
kepanikan. Terlepas dari pelbagai langkah analisis seputar penyebab devaluasi
dan upaya strategis untuk keluar dari belenggu finansial dimaksud, muncul riak
radikalisasi berbau rasis-diskriminatif di dunia maya. Kembali dihembuskan
kebencian terhadap warga Indonesia etnis Cina (Tionghoa) sebagaimana yang
pernah terjadi tahun 1998, biarpun telah ada legalisasi anti rasial dan
diskriminasi melalui UU No. 40/2008.
Mekanisme mendiskreditkan pihak atau kelompok
tertentu khususnya minoritas selalu dilemparkan di tengah badai krisis, kegagalan,
kemalangan dan bencana. Solusi malas, naif dan edan ditampilkan dengan
menyalahkan pihak lain tanpa landasan yang sahih dan logis tersebut merupakan
patos sosial sejak sediakala. Adam mempersalahkan Eva dan Eva menjadikan ular
sebagai biang jatuhnya sejoli manusia perdana ke dalam dosa.
Raja Odipus dalam mitologi Yunani karya Sopokles
dipersalahkan ketika wabah pes melanda negerinya. Epidemi pes ditafsir sebagai
hukuman atau kutukan dewata akibat kejahatan kriminal dan kebobrokan moral sang
raja yang membunuh ayahnya dan menikahi ibundanya. Akibat rasa malu Odipus
menusuk matanya dan melarikan diri ke pengasingan. Pesepak bola Kolumbia,
Andres Escobar yang melakukan gol bunuh diri, didakwa sebagai biang kegagalan
timnya pada Piala Dunia 1994 dan ditembak mati di tanah airnya.
Fakta menjadikan pihak lain yang tak bersalah
sebagai tumbal dikenal dengan istilah, kambing hitam" (scapegoat) yang
berasal dari tradisi religio-kultur Yahudi-biblis. Kata hitam dalam term ini
tidak ada kaitannya dengan warna kambing, melainkan akibat kesalahan terjemahan
William Tyndale. Pada hari Yom Kippur (hari pendamaian atau rekonsiliasi),
diadakan ritual unik yakni imam agung meletakkan tangannya pada kepala seekor
kambing jantan; bukan untuk memberkatinya, melainkan sebagai simbol transfer
segala dosa umat Israel. Hewan ini kemudian dibuang ke padang gurun yang secara
metaforis sebagai penghapusan segala dosa dimaksud (korban kolektif).
Penulis Perancis Rene Girard menandaskan bahwa
kehidupan bersama manusia bukan saja menghadirkan harmoni, melainkan bermuatan
persoalan antropologis yang besar. Mekanisme kambing hitam baginya bagaikan
instrumen yang memicu reproduksi kekerasan dalam masyarakat.
Fenomen ini bersifat permanen dan laten, yang pasti
akan tampil ke permukaan kapan saja. Sebagaimana dalam legenda Yunani, selalu
dicari subjek terhadap bencana yang tak bisa dijelaskan. Dalam bahasa agama,
pribadi-pribadi atau kelompok tertentu (lazimnya minoritas) dijadikan sebagai
personifikasi kejahatan. Banyak perempuan tak bersalah khususnya yang telaten
dalam mengolah ramuan berkhasiat, dikejar dan dibakar pada abad pertengahan
karena dituduh sebagai tukang sihir yang mendatangkan bala, hama, penyakit dan
kematian.
Selama periode 1430-1780, sekitar 50.000 orang
dibasmi dengan dugaan dan tuduhan sebagai penyihir. Motif tunggal di baliknya
hanyalah kebutuhan akan kambing hitam.
Mekanisme kambing hitam juga berkaitan erat dengan
pengelakan untuk mengakui kesalahan sendiri dan kreasi musuh bersama agar
eksistensi dan keutuhan kebersamaan tidak goyah atau dihidupkan di tengah
kesuraman. Kambing hitam dalam konteks ini sebagai proyeksi kesalahan sendiri,
plasebo untuk krisis, perekat kesinambungan kohesi sosial dan instrumen
politik. Filsuf Sokrates yang memahami perannya sebagai "lalat liar yang
mengusik" dihukum mati dengan meneguk racun, lantaran dituduh meracuni
generasi muda melalui ajaran dan dialog kritisnya terhadap tradisi yang
menghambat kekritisan.
Yesus dari Nazaret yang menentang agama Yahudi yang
legalistis-formalistis wafat sebagai korban konspirasi religio-politik di
negeri-Nya. Minoritas Yahudi diaspora dituduh bersalah ketika wabah pes melanda
Eropa. Mereka diduga meracuni sumur dan mata air. Adolf Hitler menampilkan
politik demagogisnya di tengah kekisruhan sosial-politik di Jerman dan tanpa
tedeng aling-aling ia kembali menjadikan kaum minoritas Yahudi sebagai biang
keburukan sosial-ekonomi. Begitu keji tak terkirakan warga bangsa Yahudi yang
menjadi korban kebrutalan politik genocide Hitler.
Para penguasa politik acapkali sengaja
memgembangbiakkan kambing hitam demi menyalurkan amarah dan mengalihkan
perhatian publik yang tidak puas terhadap kinerja pemerintahan. Tak jarang
mekanisme kambing hitam digunakan sebagai ekspresi rasa rendah diri, frustrasi
dan agresi terhadap kekuatan eksternal maupun vertikal yang lebih kuat entah
secara ekonomi dan finansial maupun secara politik dan budaya.
Agresi dan frustrasi dimaksud disalurkan ke arah
horisontal. Sumber frustrasi dipersonifikasi dan yang bersalah secara serakah
diidentifikasi. Badai raksasa kapitalisme global yang mendera dengan akibat
fluktuasi finansial dilawan dengan cara menuduh kelompok tertentu dalam negeri
yang dianggap lebih kuat secara finansial dan ekonomi.
Realitas kambing hitam mendapat padang yang subur di
lingkup pendidikan baik nonformal maupun formal. Orangtua dan para pendidik
yang narsistis, yang berorientasi prestasi dan prestise serta tidak kompeten di
bidang pedagogis-humanis menganakemaskan yang satu dan memojokkan yang lain.
Pandangan pedagogis yang keliru dan iklim yang tidak sehat ini harus
dieliminasi.
Menuduh dan menjadikan yang lain sebagai kambing
hitam hanya dilakukan oleh pihak yang naif dan infantil. Manusia dan bangsa
yang dewasa harus mengambil langkah pertama untuk kembali ke dirinya sendiri di
tengah kemalangan dan jujur mengakui kesalahannya sendiri. Atmosfir humanis ini
seyogyanya ditopang secara juridis oleh hukum dan aturan yang bukan saja
dirumuskan, melainkan secara konsekuen diterapkan melawan siapa saja yang
menyebarkan isu, bertutur-kata dan berperilaku yang rasis dan diskriminatif.
Sumber: Pos Kupang, 10 September 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!