Oleh Karolin Margret Natasa
Anggota Komisi IX DPR RI
DALAM dua pekan ini kita memperingati dua peristiwa heroik bernilai sejarah
tinggi yaitu Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan. Pada 28 Oktober lalu kita
memperingati Hari Sumpah Pemuda di mana kita mengenang Ikrar Kaum Muda pada 28
Oktober 1928. Ikrar berisi Tri-Sumpah itu menggelorakan semangat nasionalisme
kaum muda sekaligus memperteguh tekad merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Peristiwa 28
Oktober telah mengantar Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Rasa
kebangsaan dan cinta Tanah Air yang menggelora pada 28 Oktober 1928 mengalami
ujian hebat ketika bangsa kita berjuang hidup mati mempertahankan kemerdekaan.
Puncaknya terjadi pada 10 November 1946, di mana terjadi pertempuran hebat di
Kota Pahlawan, Surabaya.
Nasionalisme dan
patriotisme terasa semakin relevan dan strategis di tengah kondisi keterpurukan
dan proses pelapukan yang terus berlangsung di berbagai segi kehidupan
masyarakat bangsa ini. Sistem nilai (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal
Ika, dan gotong-royong) yang melandasi eksistensi kita sebagai negara bangsa
mengendur akibat tergerus nilai-nilai individualisme, pragmatisme
transaksional, konsumerisme, hedonisme, dan seterusnya.
Perekonomian
nasional yang kian dikuasai dan ditentukan pihak asingmulai dari ketergantungan
utang luar negeri, investasi asing di sektor-sektor ekonomi strategis,
membanjirnya barang-barang impor semakin menyadarkan kita betapa nasionalisme
(ekonomi) adalah sebuah keniscayaan. Kebijakan proteksionisme menjadi sah ketika
kepentingan ekonomi rakyat banyak menjadi taruhan.
Penguatan
Nasionalisme
Dalam tatanan dunia
yang mengglobal dewasa ini di mana batas antarnegara menjadi kabur,
tinggi-rendahnya nasionalisme suatu bangsa sangat ditentukan tinggi-rendahnya
peradaban dan prestasi yang dimiliki negara bangsa tersebut. Karena itu, ketika
kebangkitan nasionalisme tidak bisa meningkatkan taraf hidup berperadaban,
nasionalisme dapat meredup dan luruh dengan sendirinya. Kemiskinan kultural dan
struktural yang permanen membuat karakter bangsa ini makin terpuruk. Akibatnya,
bangsa ini kehilangan jati diri yang membuatnya makin sulit membangkitkan
kembali semangat nasionalismenya.
Pada zaman Perang
Kemerdekaan, para pahlawan yang gugur di medan tempur tentu berdiri di barisan
terdepan. Tetapi, pada Era Reformasi ini, banyak yang pantas mendapat gelar
pahlawan dan mereka datang dari berbagai profesi, termasuk petani, nelayan,
inovator, akademisi, peneliti, karyawan yang melayani kepentingan umum dan
lain-lain.
Semangat
nasionalisme harus terus dirawat dan diperkokoh untuk memperkuat tekad dan
semangat serta energi bangsa dalam persaingan global sekaligus menaikkan harkat
dan martabat bangsa dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain secara terhormat
dan bermartabat. Dalam era modern, wujud nasionalisme bukan lagi dengan
mengangkat senjata. Ada banyak cara untuk merawat dan memperkokoh semangat
nasionalisme.
Pertama, membangun
peradaban unggul dan prestasi tinggi berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan tatanan kehidupan internasional. Hasil penemuan dan karyakarya
terbaik putra-putri Indonesia bisa menggugah dan mempertebal rasa nasionalisme.
Bidang yang paling
mudah menggugah rasa kebangsaan bisa kita disaksikan di bidang olahraga. Secara
reguler, atlet-atlet terbaik setiap negara bertarung atas negara bangsa untuk
merebut kampiun dunia. Selain prestasi membanggakan, olahraga juga mampu
menghipnotis karena memakai atribut negara bangsa, mulai dari kostum, bendera
negara, lagu kebangsaan, dan simbol-simbol kebanggaan Indonesia lainnya.
Kedua, nasionalisme
Indonesia juga terawat jika kita mampu merawat kekayaan wisata alam dan warisan
budaya yang tersebar di antero Nusantara. Semua kekayaan warisan budaya dan
alam merupakan ikon negara bangsa kita yang membanggakan. Namun, semua itu
menuntut komitmen negara untuk melestarikan dan mempromosikan itu agar memberi
kebanggaan yang mempersatukan bangsa sekaligus mendatangkan keuntungan secara
ekonomis.
Jika tidak, roh dan
pilar negara bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika yang merupakan warisan sejarah para
pendiri bangsa (founding fathers) akan terancam. Empat pilar yang merupakan
alasan keberdirian dan keberadaan sebuah negara bangsa bernama Indonesia menjadi
tidak bernilai tatkala ”isinya” mengalami dekadensi akibat berbagai distorsi
dari dalam maupun dari luar.
Ketiga, kemandirian
untuk mengatur sendiri ”rumah tangga besar” NKRI di semua segi kehidupan. Kita
harus ”merdeka” menentukan visi, misi, dan arah pembangunan serta melakukan apa
yang terbaik bagi seluruh rakyat NKRI, tanpa didikte negara-negara maju dan
lembaga-lembaga donor internasional.
Sejak Orde Baru
sampai Era Reformasi kini, tidak ada program konkret yang sistemik untuk
memberdayakan rakyat atau menciptakan kreativitas bangsa. Bangsa kita terus
bergantung pada negara lain. Implikasinya, kita menjadi bangsa yang hidupnya
selalu konsumtif atau tidak produktif. Seharusnya bangsa yang kuat adalah
bangsa yang produktif, bukan konsumtif.
Saat ini penguasaan
asing terhadap perekonomian kita terjadi di berbagai sektor misalnya sektor
pertambangan, industri pengolahan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan, dan
sektor perdagangan. Akibatnya, meskipun negara kita sudah puluhan tahun
merdeka, kita masih dijajah pihak asing. Perekonomian kita didominasi pihak
asing yang ikut melunturkan kebanggaan dan rasa nasionalisme kita.
Mengenai arti
penting nasionalisme ini, Presiden Soekarno pernah menegaskan: ”Jikalau kita
menghendaki negara kita ini kuat, oleh karena kita memerlukan negara ini
sebagai suatu alat perjuangan untuk merealisasikan satu masyarakat adil dan
makmur; kita harus dasarkan negara ini antara lain di atas paham kebangsaan.”
Membenahi Sistem
Di situlah arti
penting Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal
pemerintahannya bersama Wapres Jusuf Kalla. Rasa kebangsaan (nasionalisme) dan
cinta Tanah Air (patriotisme). Dengan semangat itu, kita pasti mampu mengatasi
berbagai tantangan yang dihadapi negara bangsa saat ini, baik dari dalam maupun
dari luar.
Revolusi Mental
adalah buah dari proses pembelajaran terus-menerus dalam sebuah sistem politik,
sistem hukum, sistem ekonomi negara bangsa, termasuk sistem pendidikan dan
birokrasi, serta sistem sosial budaya masyarakat. Dengan demikian, Revolusi
Mental seharusnya dimaknai sebagai pembenahan sistem yang akan membentuk
mentalitas manusia (Indonesia). Mengubah mentalitas tanpa dukungan sistem yang
kuat hanya membuang-buang energi, waktu, dan tentu saja uang.
Dalam kaitan itu,
pertamatama yang harus dilakukan adalah pembenahan sistem secara terus-menerus
yaitu sistem politik yang demokratis, sistem hukum yang adil dan transparan,
serta sistem sosial ekonomi yang menyejahterakan seluruh rakyat.
Dalam membangun
sistem, acuan filosofis ideologisnya adalah Pancasila, sedangkan
patokan-patokan dasarnya ialah Konstitusi UUD 1945. Konkretnya, tugas lembaga
legislatif ialah memastikan bahwa seluruh regulasi mulai dari undang-undang
hingga peraturan pelaksanaan di tingkat daerah dan desa harus mencerminkan
nilai-nilai fundamental dalam ideologi Pancasila dan konstitusi.
Tugas eksekutif,
dari pusat hingga desa, ialah memastikan bahwa sistem yang sudah dibangun itu
berjalan baik dan efektif. Kita tentu mengapresiasi pejabat negara yang lugas
dan konsisten berpikir dan bekerja sesuai sistem. Kita juga berbangga
menyaksikan beberapa menteri, gubernur, wali kota, hingga kepala desa yang
berani bekerja out of the box (melangkahi
sistem) demi kebaikan umum.
Sedangkan yudikatif
memastikan bahwa seluruh kebijakan yang diambil eksekutif dan mesin birokrasi
berjalan sesuai sistem yang sudah dibangun. Penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan yang menyalahi sistem harus ditindak tegas, adil, dan tanpa pandang
bulu. Faktor kepercayaanlah yang menjadi alasan mengapa KPK hingga hari ini
mendapat dukungan publik dan menolak setiap upaya pelemahan terhadap lembaga
ini.
Jika tiga lembaga
kekuasaan negara -legislatif, eksekutif, dan yudikatif- bekerja maksimal sesuai
fungsi dan tanggung jawabnya, niscaya empat tugas sekaligus tujuan negara yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 akan tercapai yaitu melindungi seluruh tumpah
darah (wilayah dan rakyat) NKRI, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dan ikut serta menjaga ketertiban dunia.
Itulah sesungguhnya
substansi Revolusi Mental. Mental tidak korup, mental tidak konsumtif, mental
tidak menempuh jalan pintas seperti lebih suka impor, dan mental main hakim
sendiri. Semua mental negatif itu bisa dihilangkan hanya jika sistem berjalan.
Sebaliknya, sistem yang baik dan berjalan efektif akan melahirkan mentalitas
positif seperti mental kerja keras, produktif, menghargai proses, dan
menghormati perbedaan.
Sumber: Sindo, 7 November 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!