Oleh Syamsuddin Haris
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
DINAMIKA politik nasional
seperti tampak dari Jakarta hampir selalu menghadirkan kejutan. Ketika Partai
Amanat Nasional belum memperoleh kompensasi politik yang jelas atas dukungannya
terhadap pemerintahan Joko Widodo, Partai Keadilan Sejahtera pun menyusul untuk
merapat ke Istana. Ada apa dan ke mana arahnya?
Sulit dimungkiri
bahwa politik Indonesia sesungguhnya relatif cair. Seperti bunyi sebuah adagium
klasik, "tidak ada musuh abadi dalam politik" atau "tidak ada
kawan sejati dalam politik". Yang hampir selalu kekal adalah kepentingan
yang sama di antara para elite politik itu sendiri. Ironisnya, adagium yang
berlaku hampir di semua rezim politik itu selalu menjadikan rakyat dan
kepentingan kolektif sebagai korbannya.
Ketegangan politik
pasca Pemilu Presiden 2014 sempat mengkhawatirkan kita semua, tetapi akhirnya
mencair setelah Prabowo Subianto turut hadir dalam pelantikan Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Oktober 2014. Sepanjang 2015,
tarik-menarik dan ketegangan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang
menjadi oposisi dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai gabungan parpol
pendukung pemerintah relatif dapat diredam. Melalui, antara lain, peran Luhut
Binsar Pandjaitan selaku Kepala Staf Kepresidenan, pemerintah berhasil
"menjinakkan" KMP kendati hal itu tidak sepenuhnya gratis.
Ongkos politik dari
harmoni semu relasi KMP dan pemerintah, di antaranya, adalah pembayaran dana
talangan Rp 781 miliar bagi korban lumpur Lapindo yang bersumber dari APBN.
Padahal, itu seharusnya menjadi beban PT Lapindo Brantas, perusahaan milik
keluarga Aburizal Bakrie, Ketua Presidium KMP.
Presiden yang
kesepian
Ketika KMP relatif
dapat dijinakkan, problem terbesar Presiden Jokowi justru datang dari dua poros
kekuasaan yang menjadi basis pendukung mantan Wali Kota Solo itu sendiri, yakni
partai pengusung dan koalisi partai pendukung. Meskipun diusung oleh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan selaku parpol pemenang Pemilu Legislatif 2014 dan didukung
koalisi longgar KIH (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI), Jokowi pada
dasarnya adalah seorang presiden yang kesepian. Jokowi tak hanya didukung
setengah hati oleh Megawati Soekarnoputri dan PDI-P, tetapi juga digerogoti
oleh parpol pendukungnya.
Masih segar dalam
memori publik bagaimana Jokowi berjuang "sendirian" menghadapi
persekongkolan politik KMP-KIH di DPR dalam pencalonan Komisaris Jenderal Budi
Gunawan sebagai Kepala Polri. Padahal KPK telah menetapkannya sebagai
tersangka, tetapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Konflik internal
antara partai pengusung dan koalisi parpol pendukung Jokowi versus Presiden
Jokowi itu akhirnya berujung kompromi. Presiden atas dukungan publik menarik
kembali pencalonan mantan ajudan Presiden Megawati itu sebagai Kepala Polri,
tetapi Jokowi tetap membiarkannya menjadi Wakil Kepala Polri.
Kasus mutakhir yang
memperlihatkan dukungan setengah hati PDI-P terhadap Jokowi adalah dibiarkannya
Panitia Khusus Angket Pelindo II yang dimotori Rieke Diah Pitaloka memberi
rekomendasi aneh bagi Presiden Jokowi, yakni mencopot Menteri BUMN Rini
Soemarno. Rekomendasi tersebut bukan hanya tidak etis dan tidak masuk akal
karena menyimpang dari otoritas DPR, melainkan juga tendensius secara politik.
Seperti diketahui,
sejak Kongres Bali, Ketua Umum PDI-P Megawati mensinyalir ada tiga
"penumpang gelap" di lingkaran dalam Istana. Banyak kalangan
menengarai bahwa tiga orang yang dimaksud Megawati adalah Rini Soemarno, Luhut
Binsar Pandjaitan, dan Andi Widjajanto yang sudah dicopot dari posisi sebagai
Sekretaris Kabinet. Rekomendasi Pansus Pelindo II tampaknya terkait erat dengan
agenda titipan partai banteng tersebut.
Selain digerogoti
basis politik, Jokowi juga tampaknya mulai mewaspadai kemungkinan adanya agenda
tersembunyi di balik kebijakan dan langkah politik para anggota kabinetnya
sendiri. Kasus "papa minta saham" yang menerpa Ketua DPR Setya
Novanto, bagaimanapun, membuka mata Jokowi untuk lebih hati-hati terhadap
orang-orang kepercayaan di lingkaran dalam Istana. Jadi, Presiden Jokowi
dihadapkan pula dengan perilaku menteri yang mencoba turut mengail di air
politik yang keruh. Kecenderungan beberapa menteri yang secara terbuka saling
menyalahkan satu sama lain tak hanya memperkuat dugaan ini, tetapi juga
memperlihatkan, Jokowi seolah-olah berjuang sendirian.
Mengapa PKS?
Oleh karena itu,
ketika akhirnya PAN merapat ke Istana dan beberapa waktu kemudian PKS turut
menyusul, Presiden Jokowi dengan tangan terbuka dan sukacita menyambut uluran
dukungan itu. Bagi Jokowi, dukungan PAN serta kehadiran PKS tidak hanya
menjadikannya "tidak sendiri", tetapi juga memberi ruang lebih lebar
bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut untuk bermanuver lebih cerdas dalam
menghadapi partai pengusung dan koalisi parpol pendukung
Pertanyaannya,
mengapa PKS yang akhirnya "silaturahim" ke Istana, bukan Golkar atau
PPP yang sebelah kakinya sudah mendukung Jokowi? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, secara obyektif PKS menilai bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla
memperlihatkan kinerja positif sehingga patut diapresiasi. Percepatan
pembangunan infrastruktur dan serangkaian paket kebijakan ekonomi yang
diluncurkan pemerintah harus diakui sebagai bagian dari kinerja positif
pemerintah. Seperti sering dikemukakan para petinggi PKS, selama kebijakan
pemerintah bersifat pro rakyat, tak ada alasan bagi PKS untuk tidak
mendukungnya.
Kedua, bisa jadi
PKS mulai merasa jengah juga dengan politik KMP yang tidak jelas arahnya.
Alih-alih menawarkan kebijakan alternatif melalui mekanisme legislasi di DPR,
KMP terperangkap sebagai koalisi oposisi yang menutup diri dari aspirasi
publik. Hal ini, antara lain, tampak dari dukungan KMP terhadap Setya Novanto,
padahal secara terbuka tampak jelas bahwa mantan Ketua DPR tersebut melakukan
pelanggaran etik dalam kasus "papa minta saham".
Ketiga, PKS,
bagaimanapun, melihat pemerintah sebagai sumber daya politik dan ekonomi
terbesar bagi negeri ini sehingga secara matematis parpol yang berada di dalam
pemerintah dianggap lebih strategis dan "menguntungkan" dibandingkan
di luar pemerintah. Pengalaman manis PKS bergabung ke pemerintah selama periode
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sangat mungkin menjadi dasar bagi
partai tarbiyah ini mengalkulasi ulang peruntungan politiknya. Sebagai sumber
daya ekonomi terbesar, pada umumnya parpol kita berharap dapat "mengais
rezeki" dari sumber-sumber pemerintah melalui kapitalisasi jabatan publik
yang disandang para kader partai.
Keempat, di luar
tiga argumen sebelumnya, Muhammad Sohibul Iman sebagai presiden baru PKS
benar-benar ingin silaturahim dan memperkenalkan kepemimpinan baru partai
berlambang padi diapit bulan sabit berwarna kuning emas ini. Sebagai pemimpin
baru PKS, Sohibul Iman tampaknya ingin mengembalikan marwah partai yang sempat
luluh lantak di bawah kepemimpinan Luthfi Hasan Ishaaq. Seperti diketahui,
sebagai dampak kasus korupsi yang dialami mantan Presiden PKS tersebut, pada
Pemilu 2014 lalu PKS kehilangan 17 kursinya di DPR.
"Reshuffle"
tanpa PKS
Walaupun ada
indikasi PKS semakin merapat ke Istana, saya berpendapat, Presiden Jokowi belum
akan mengajak PKS turut serta dalam Kabinet Kerja. Perombakan kabinet jilid II
seperti sinyal yang pernah diberikan Jokowi sangat mungkin difokuskan pada dua
target. Pertama, target percepatan kerja dan kinerja kabinet sehingga sangat
mungkin Presiden akan mengganti menteri-menteri yang kinerjanya dianggap tidak
optimal. Para menteri yang lebih "mencari kesibukan" ketimbang
benar-benar sibuk mengimplementasikan Nawacita Jokowi-Kalla pada akhirnya akan
dicopot dari kabinet.
Kedua, target
keseimbangan politik baru. Dukungan politik PAN terhadap pemerintahan
Jokowi-Kalla, bagaimanapun, ada kompensasi politiknya dalam bentuk satu atau
dua kursi kabinet. Bagi Jokowi, dukungan dan kehadiran PAN bukan semata-mata
dalam rangka perluasan basis politik pemerintah menghadapi parlemen, melainkan
juga dalam rangka keseimbangan politik baru dalam lingkaran kekuasaan
pemerintah sendiri. Seperti diketahui, di bawah tekanan politik partai
pengusung dan koalisi parpol pendukung, Jokowi memerlukan kemitraan PAN. Konsekuensi
logisnya, jatah menteri untuk PAN berasal dari jatah menteri koalisi parpol
pendukung Jokowi atau jatah menteri dari kalangan profesional yang tidak
memiliki basis politik.
Itulah kira-kira
realitas politik yang kita hadapi hari-hari ini. Sebuah realitas yang sangat
berjarak dengan nasib sebagian rakyat kita yang sangat mungkin tengah bertaruh
nyawa dalam ketidakpastian, apakah mereka masih bisa menatap hari esok atau
tidak. Semoga saja para elite politik yang asyik bercengkerama dan saling
merajuk mempertemukan kepentingan di antara mereka tidak melupakan untuk
mencatat hal ini.
Sumber: Kompas, 5 Januari 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!