Oleh Frans
Maniagasi
Pengamat masalah Papua;
Peneliti pada Papua Resources Center-YLBHI
Jakarta
PADA 29 April 2016, Presiden Joko Widodo
berkunjung ke Papua di Jayapura selain membuka ajang Indonesia Soccer
Championship (ISC), juga melakukan peletakan batu pertama pembangunan Pasar
Mama-mama.
Kunjungan ke Papua ini merupakan komitmen dan
janji Jokowi pada saat kampanye Pilpres 2014. Perhatian dan kunjungan ini akan bermakna
jika ada suatu kebijakan yang pasti terstruktur dan terlembaga untuk
penyelesaian masalah Papua.
Selama hampir 2 tahun masa pemerintahan belum
ada kebijakan yang pasti untuk Papua sehingga menimbulkan tanda tanya bagi
rakyat di daerah ini (Papua dan Papua Barat), apakah Presiden serius
menuntaskan soal mereka.
Bila dianalogikan soal Papua ini, seperti
malaria yang terkadang membuat suhu tubuh naik sangat tinggi, tapi sebaliknya bisa
juga menurun. Dinamika ini sudah berlangsung cukup lama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlebih pascakehadiran United Liberation
Movement West Papua (ULMWP) sebagai observer dalam Perhimpunan Negara-Negara
Ras Melanesia di MSG forum di Pasifik Selatan.
Aktivitas sayap-sayap perjuangan Papua
merdeka yang dimotori kelompok-kelompok mahasiswa dan KNPB yang mendukung ULMWP
telah mengundang aparat keamanan bertindak represif.
Munculnya gerakan perlawanan pemisahan Papua
dari NKRI bila dikaji dari aspek historis politik telah berusia 70 tahun atau
hampir setua usia negara ini.
Perdebatan para founding fathers tentang
batas wilayah teritorial Indonesia merdeka di sidang BPUPKI pada 18 Agustus
1945 hingga puncaknya di Konferensi Meja Bundar (1949) di Den Haag, Belanda
gagal menentukan status politik dari tanah Papua.
Hal iniah menjadi titik awal munculnya kasus
Papua hingga proses penyatuan Papua dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 dan
pelaksanaan Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat/Pepera) pada 1969.
Sejak reformasi 1998 masyarakat Papua dengan
kesadaran penuh mempersoalkan proses politik penyatuan mereka dengan NKRI.
Kita ketahui pada pertengahan 1999, satu
delegasi yang terdiri atas 100 tokoh masyarakat dan perwakilan kelompok
strategis, bertemu dan berdialog dengan Presiden BJ Habibie di Istana Negara
Jakarta.
Mereka secara terhormat, bermartabat, dan
demokratis menyampaikan aspirasi dan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka
melepaskan diri dari Indonesia.
Pascapertemuan itu, gerakan perlawanan
semakin terkristalisasi yang bermuara dengan dilakukannya Kongres Rakyat Papua
2000 di Jayapura.
Otonomi kasus
Pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus
untuk Papua termasuk Aceh melalui Tap MPR No IV/MPR/1999. Dengan berdasarkan pada Pasal 18B UUD 1945,
yakni 'Negara menghargai dan menghormati wilayah-wilayah yang memiliki
kekhususan dan keistimewaan'.
Pada akhir 2001 diterbitkan UU No 21/2001
tentang Otsus Papua yang menjadi dasar dilakukannya rekonsiliasi antara pusat
dan Papua, karena selama proses penyatuan telah terjadi berbagai pelanggaran
HAM dan pengabaian terhadap hak-hak dasar orang asli Papua.
Bahkan otsus merupakan platform bagi
pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan di wilayah ini, tetapi tidak
dijadikan sebagai referensi. Justru program pembangunan yang dilaksanakan
lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan birokrasi pemerintahan ketimbang
aspirasi dan kepentingan rakyat.
Lihat saja belanja modal untuk memenuhi
program pembangunan rakyat lebih lambat serapannya dari belanja rutin. Belanja
rutin membiayai keperluan aparat termasuk perjalanan dinas.
Otsus sebagai platform bukan cek kosong, tapi
pendelegasian kewenangan yang besar dan dana yang cukup signifikan untuk Papua. Dari otonomi khusus menjadi otonomi kasus
menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan, terutama dari para tokoh yang
merancang draf UU Otsus Papua (2001).
Pada 23 Maret 2016 dilakukan focus group
discussion (FGD) yang difasilitasi Kepala Staf Kepresidenan. Dalam FGD ini rekomendasinya perlu dilakukan
evaluasi selama 15 tahun pelaksanaan Otsus Papua yang ternyata belum mampu mendekatkan
masyarakat Papua kepada kesejahteraan dan keadilan.
Para peserta juga menyadari ada hal-hal
positif dan kemajuan yang telah dicapai Papua. Hanya saja Otsus telah menambah kesenjangan
sosial ekonomi dan politik antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang.
Evaluasi Otsus perlu dilakukan dalam dua
kategori. Pertama evaluasi yuridis formal dengan meninjau bab dan pasal-pasal
dari UU ini. Ketentuan-ketentuan mana yang sudah dilaksanakan dan yang belum
terlaksana sama sekali.
Kedua, evaluasi pelaksanaan di lapangan. Evaluasi
ini menegaskan perlunya dibentuk tim khusus yang akan melakukan kajian secara
independen terhadap implementasi otsus.
Untuk evaluasi sudah barang tentu dibutuhkan
alat ukur yang dapat dijadikan standardisasi dalam menilai sudah sejauh mana
keberhasilan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat plus
pembangunan infrastruktur.
Sinkronisasi
Disadari sepenuhnya selama 15 tahun
pelaksanaan otsus belum menyentuh masalah mendasar, seperti penyelesaian
berbagai kasus pelanggaran HAM, klarifikasi sejarah penyatuan Papua dengan NKRI
melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai Pasal 46 UU
21/2001.
Masalah lain yang tak kalah pentingnya ialah
pembentukan Komisi Hukum Adhoc (Pasal 32).
Komisi ini bertugas dan bertanggung jawab
melakukan sinkronisasi semua peraturan perundang-undangan yang akan
diberlakukan di tanah Papua dengan UU Otsus.
Kekisruhan aturan yang tidak sinkron dengan
UU Otsus menyebabkan interpretasi semaunya saja.
Kasus Perdasi No 13/2015 misalnya dengan
Pakta Integritas tentang Pelarangan Produksi, Distribusi Miras hingga kini
masih menimbulkan pro-kontra.
Tujuan dari Perdasi ini sangat baik guna
mengeleminasi penjualan miras sehingga meminimalkan kriminalitas dan kekerasan
terhadap sesama serta KDRT akibat mabuk-mabukan.
Namun, Perdasi tersebut dibuat tanpa melewati
tata cara pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan sesuai UU 11/2012.
Demikian juga dengan Pakta Integritas yang
hanya bersifat imbauan belaka. Begitu juga dengan pengambilan keputusan di
bidang keuangan.
Banyaknya peraturan tentang pengelolaan
keuangan daerah, yang hampir 6 bulan sekali mengalami perubahan, membuat
pejabat pengguna anggaran bisa terjerat kasus korupsi.
Atau sebaliknya, penggunaan dana pembangunan
tanpa adanya kontrol dan pengawasan sehingga seenaknya menggunakan anggaran
daerah yang tidak sesuai tupoksi.
Dari FGD ini, kesimpulannya ialah evaluasi
dan penyempurnaan terhadap UU No 21/2001 merupakan keniscayaan, tetapi perlu
kehati-hatian dalam melakukannya.
Menurut Agus Sumule, Sekretaris Tim Asistensi
RUU Otsus Papua 2001, ada tiga kelompok pemikiran; pertama, tidak perlu
dilakukan penyempurnaan otsus, tapi laksanakan dan optimalisasi
implementasinya.
Kedua, yang menghendaki penyempurnaan. Ketiga,
kelompok yang menghendaki diganti sama sekali dengan UU baru.
Berkaitan dengan pemikiran yang berkembang
dalam FGD ini, penyelesaian masalah Papua merupakan tuntutan yang mendesak
sehingga evaluasi dan optimalisasi implementasi Otsus Papua secara terlembaga
dan terstruktur dalam kerangka RI menjadi pilihan yang tak dapat ditunda.
Sumber:
Media Indonesia, Sabtu 7 Mei 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!