Oleh M Dawam Rahardjo
Direktur Lembaga Studi dan Filsafat (LSAF),
Jakarta
KLARIFIKASI mengenai gejala pasca sekularisme yang rumit telah ditulis
oleh Frans Budi Hardiman (Kompas,
7/6/2016).
Diungkapkan
bahwa Eropa yang mememasuki era itu tidak berarti bahwa Eropa akan meninggalkan
orde sekularisme dan kembali kepada orde agama. Dengan kata lain, sekularisme
sudah menjadi wacana final. Hanya saja Eropa akan memperhatikan dan merespons
aspirasi keagamaan, tetapi tetap dalam kerangka sekularisme.
Sebenarnya
pemikiran semacam itu sudah ditulis sebagai teori John Rawls dalam bukunya, Political Liberalism (1993), berdasarkan
kerangka dasar kemasyarakatan
berkeadilan yang ditulisnya dalam The
Theory of Justice (1991). Liberalisme politik, menurut pengertiannya yang
berdasarkan tradisi teori kontrak sosial-sejak John Locke (1632-1704), Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804)-itu adalah sebuah gagasan
mengenai tata kelola masyarakat majemuk yang lestari dan berkelanjutan,
berdasarkan prinsip keadilan.
Menurut
Rawls, guna memelihara kebebasan politik, diperlukan pembendungan terhadap
doktrin komprehensif, seperti agama di ruang publik. Sebab, doktrin
komprehensif cenderung melakukan kolonisasi ruang publik dan menghentikan
dialog, apabila sudah berbicara mengenai iman. Karena itu, ruang publik politik
harus dikelola berdasarkan keadilan, yaitu harus diwujudkan melalui nalar moral dan nalar publik yang memberikan
kebebasan kepada setiap ekspresi dan artikulasi berbagai aspirasi masyarakat
yang pada dasarnya multi-identitas atau majemuk, di mana pun itu.
Namun,
masalahnya, pembendungan doktrin komprehensif itu sendiri sebenarnya
bertentangan dengan prinsip kebebasan dan keadilan. Karena itu, dalam
perkembangan pemikiran selanjutnya, Rawls menganjurkan, di satu pihak,
pengelola ruang publik tetap berpegang pada prinsip keadilan sebagaifairness
terhadap doktrin komprehensif. Namun, di lain pihak ia juga menganjurkan agar
doktrin komprehensif itu diekspresikan atau
diartikulasikan dalam bentuk dan cara yang dapat dipahami dan diterima
berdasarkan nalar publik dan moral publik.
Integrasi
sosial
Meski
demikian, tata kelola masyarakat yang majemuk memerlukan kesepakatan yang
tumpang tindih. Kesepakatan seperti itu, melalui demokrasi deliberatif
Habermas, menurut Hardiman, terkandung dalam Pancasila. Namun, menurut
Nurcholish Madjid, terdapat pula pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
kalimatun sawa atau titik temu antardoktrin komprehensif dan agama yang
berkembang di Indonesia. Namun, Indonesia sendiri sebenarnya tidak mengalami
orde post-sekularisme karena Indonesia hanya mengalami sekularisasi, tetapi
belum menyepakati asas sekularisme sebagai wacana final .
Sementara itu,
menurut Yudi Latif dalam bukunya, Tuhan
Pun Tidak Partisan: Melampaui Sekularisme dan Fundamentalisme (2013),
Indonesia telah mengalami sekularisasi, sebagaimana dianjurkan oleh Nurcholish
Madjid tahun 1970. Namun, sekularisasi
itu segera diikuti dengan Islamisasi.
Sekularisasi
besar-besaran terjadi pada masa Orde Baru melalui kebijakan depolitisasi
terhadap gerakan Islam yang memuncak dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
asas tunggal (1985). Sekularisasi itu tidak menyebabkan terbendungnya Islam sebagai
asas gerakan sosial. Artikulasi Islam sebagai doktrin komprehensif tetap
berkembang, bahkan lebih kreatif dan canggih. Hanya saja telah terjadi migrasi
Islam dari ruang publik politik ke ruang publik budaya. Dan, hal itu mengalami
perkembangan pesat dengan terjadinya integrasi sosial antara varian
"abangan" dan "santri" kategorisasi Clifford Geertz, dengan
gejala pembangunan masjid-masjid, tidak saja oleh masyarakat, tetapi juga oleh
negara, serta meningkatnya pelaksanaan syariat Islam.
Namun,
proses Islamisasi itu tidak juga berarti meninggalkan asas sekularisme.
Partai-partai Islam tetap meninggalkan Islamisme yang mencita-citakan
berdirinya negara Islam, bahkan juga tidak ingin menghidupkan lagi anak kalimat
"dengan melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya" dalam Piagam
Jakarta.
Sungguh pun
begitu, kata kesepakatan yang pernah terjadi mengenai dasar negara-sebagai
moderasi asas sekularisme berasal dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959-yang
menetapkan bahwa "Piagam Jakarta merupakan bagian yang tak terpisahkan dan
menjiwai UUD 1945". Konsekuensinya, gerakan Islam masih punya peluang
untuk menerapkan hukum syariat Islam, tetapi melalui mekanisme demokrasi. Hal
ini terjadi dengan regulasi syariat Islam di bidang sosial-ekonomi, sebagai
hukum positif yang melahirkan, antara lain UU zakat, UU wakaf, dan UU keuangan
syariah, sehingga telah terjadi proses Islamisasi melalui obyektivikasi,
rasionalisasi, dan marketisasi dalam ruang demokrasi.
Gerakan
politik
Itulah
post-sekularisme yang terjadi di Indonesia. Bentuknya adalah afirmasi terhadap penerimaan
doktrin komprehensif, walaupun tidak seutuhnya di ruang publik melalui
pertimbangan nalar moral dan nalar publik
dalam proses demokrasi.
Gejala
"post-Islamisme" yang ditulis Asef Bayat (2007), cendekiawan pengamat
partisipan Revolusi Islam Iran, yang
sedang berlangsung di Iran melalui
Partai Republik, dan Mesir kontemporer melalui Partai Ikhwanul Muslimin, menyerupai gejala
"post-sekularisme". Gejala yang sama sebenarnya juga sedang terjadi
di Turki awal abad ke-21 melalui Partai Keadilan dan Kesejahteraan (AKP) dan
Tunisia melalui Partai Ennahda.
Dalam
gejala itu, partai yang beraspirasi Islam telah bergerak meninggalkan Islamisme
yang mencita-citakan berdirinya negara Islam dengan menerapkan syariat Islam di
segala bidang kehidupan. Gerakan politik Islam tetap mengusung Islam sebagai doktrin
komprehensif dalam pemikiran Rawls, tetapi melalui jalur demokrasi. Inti dari
post-Islamisme, menurut Bayat, sebenarnya adalah demokratisasi Islam, di mana
aspirasi Islam disalurkan dalam sistem multipartai.
Melalui
pemilihan umum, Ikhwanul Muslimin telah berhasil menaikkan pemimpinnya, Muhammad
Mursi, sebagai presiden Mesir. Namun, kesepakatan tumpang tindih (overlapping consensus) dalam konstitusi
tidak berhasil dicapai, sehingga menimbulkan kudeta militer yang sekuler.
Kejadian yang sama pernah dialami Partai Refah (Partai Kesejahteraan) Turki di
bawah Erbakan. Namun, karena AKP tetap
taat pada kesepakatan mengenai
sekularisme Ataturk, walaupun melunak, tidak lagi mengikuti model Perancis yang
keras dan ekstrem itu, kudeta militer yang sekuler tidak lagi terjadi.
Namun, AKP
tetap mengusung Islam sebagai doktrin komprehensif, tetapi dalam artikulasi
yang dapat diterima oleh publik yang
majemuk dalam frasa "Islam Euro" yang disebut oleh Bassam Tibi,
cendekiawan Muslim Jerman asal Suriah, dan Tariq Ramadan, cendekiawan Swiss
asal Mesir. Sementara itu, di Tunisia, liberalisme politik yang mengandung
kesepakatan tumpang tindih telah terjadi, sehingga Musim Semi Arab telah
berhasil di negeri yang semula menganut sosialisme Arab yang sekuler itu.
Sumber:
Kompas, 23 Juni 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!