Oleh Eduardus Lemanto
RWG for An ASEAN Human Rights Mechanism
MASYARAKAT Jakarta umumnya memasuki reasoning public; publik yang menalar.
Seiring dengan itu, pilihan politik mereka pun condong rasional: memilih karena
mereka paham, khas "masyarakat memahami" (understanding society).
Pilihan mereka bebas dan independen. Selain itu, tidak ditentukan citra politik
yang dibangun, baik oleh media maupun partai-partai politik.
Artinya,
politik tradisional yang bercirikan believing society; "masyarakat yang
percaya saja", kehilangan panggung. Karena itu, panggung Pilkada DKI
mendatang hampir pasti diisi kompetisi mutu calon-calon ketimbang bangunan
citra, kemasan parpol-parpol atau media-media yang mencoba menggelinding opini
publik.
Faktor
penentunya adalah metamorfosis politik masyarakat dari partisipasi tak langsung
ke partisipasi langsung. Jika dalam partisipasi tidak langsung, peran parpol
sangat menentukan, maka dalam partisipasi langsung masyarakat terlibat penuh di
dalamnya, baik lewat pengamatan perseorangan di lapangan maupun via proses
filterisasi informasi yang lebih matang.
Nasionalis
vs agamis?
Setelah
pendaftaran paket Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) ke
KPU oleh Nasdem-Golkar-Hanura-PDI-P, berkembang formasi yang tampak seperti
dikotomi paket nasionalis versus agamis. Nasionalis diwakili parpol-parpol
pengusung Ahok-Djarot. Sisanya, poros Gerindra-PKS dan poros
PAN-PPP-PKB-Demokrat —yang sebelumnya berniat membentuk koalisi
kekeluargaan— adalah agamis. Betulkah demikian?
Dikotomi
atau model oposisional semacam itu ketinggalan zaman kala arus politik akar
rumput telah diperkuat masyarakat Jakarta yang tengah bermetamorfosis menjadi
civilized society; masyarakat beradab atau terdidik. Artinya, opsi politiknya
tidak lagi ditentukan model oposisional tradisional semacam itu, tetapi
ditentukan oleh pilihan-pilihan yang independen dan rasional.
Konsekuensinya,
parpol-parpol yang bermain pada dan dengan strategi tradisional tersebut akan
terlempar dari arena persaingan. Strategi model itu sudah kehilangan tempat
bermain dalam politik Jakarta yang dominan diisi masyarakat rasional dan yang
ditandai oleh lahir dan menguatnya masyarakat sipil (civil society).
Sifat
masyarakat sipil yang bebas, majemuk, dan berpartisipasi aktif dalam
mengokohkan landasan demokrasi (Thomas Meyer; Demokrasi: 2009), memungkinkan
terjadinya proses penguatan demokrasi yang bermutu.
Dari situ
dapat disimak bahwa formasi politik Pilkada DKI Jakarta mendatang, baik head to
head maupun tiga pasangan, anatomi persaingannya tidak lagi ditentukan politik
pemisahan dan politik perpecahan versi strategi kuno parpol-parpol karena
masyarakat di akar rumput akan lebih condong memilih kualitas figur ketimbang
jajakan-jajakan politis partai.
Karakter
politik masyarakat Jakarta tidak bisa dibelah menjadi masyarakat oposisional
versi politik tradisional, seperti nasionalis-agamis. Hal ini mengingat
kematangan dan kejelian masyarakat mengamati, meminjam tesis Laswell dalam
Psychopathology and Politics, bahwa kegiatan politik (baca: parpol) kerap
merupakan produk dari alasan-alasan pribadi yang mengatasnamakan kegiatan umum
dan dirasionalisasikan menurut jasa umum (Roderick Martin; Sosiologi Kekuasaan,
1993).
Artinya,
pola pikir dan pilihan politis masyarakat Jakarta tidak bisa lagi digiring ke
gaya politik kuno bermuatan perilaku politik destruktif (destructive political
behavior) seperti isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) serta
semacamnya. Opsi politiknya mulai lebih dominan ditentukan pilihan rasional,
independen, ketimbang terikat pada pilihan parpol mana pun. Itulah ciri khas
publik yang bernalar, yang menjadi faktor penentu utama pilihan politik dalam
Pilkada DKI mendatang.
Atmosfer
ini menantang semua pasangan calon dan semua parpol pendukung untuk
meningkatkan mutu politik yang diperlihatkan kepada publik. Mereka ditantang
oleh faktor penentu, yakni kemajuan dan keterampilan politik masyarakat sipil
yang secara konsisten dan berpartisipasi penuh dalam memengaruhi parpol-parpol
yang ada.
Nah, ini
menjadi bahan pertimbangan penting menjelang perhelatan Pilkada DKI Jakarta
2017 yang kian memanas. Oleh karena itu, strategi-strategi politik yang
melibatkan isu SARA akan terlempar dengan sendirinya dari panggung kompetisi.
Strategi itu hanya akan menyerupai pasar politik murahan. Ia terkesan ramai dan
heboh, tetapi sesungguhnya tidak dibeli, selain ditinggalkan pemilih. Ini
sebuah tantangan sekaligus peluang bagi calon-calon dan parpol pengusung
masing-masing.
Menuju kota
yang sehat
Pilkada DKI
mendatang adalah taruhan; menuju kota yang sehat atau yang sakit, yang
melibatkan para calon, masyarakat pemilih, dan parpol-parpol pengusung.
Perhelatan dalam Pilkada DKI hanya akan menjadi kota sehat jika para calon,
parpol-parpol, dan masyarakat memiliki kesehatan nalar dan mental.
Disebut
kota sehat jika dipimpin, kata Platon, oleh ho sophos; orang bijaksana (Franz
Magnis-Suseno; 13 Tokoh Etika, 1997), yang menjalankan dan mengindahkan
kaidah-kaidah hidup bermutu. Ia menjadi bermutu jika tidak rakus dan menjunjung
tinggi bonum commune; keselamatan semua.
Namun, kota
yang sehat juga ditentukan pilihan masyarakat. Pilihan rasional, independen,
dan bermutu akan menentukan kualitas Pilkada DKI Jakarta yang sudah di depan
mata. Pilihan bermutu berfondasi pada akal sehat. Ia terbebas dari isu SARA dan
sejumlah kepentingan kelompok sempit.
Akhirnya,
parpol hanya akan berperan besar, berpengaruh, efektif, dan efisien jika mampu
menyingkirkan strategi- strategi kuno dan tradisional yang bertendensi
destruktif dan memecah belah. Politik DKI Jakarta tengah menuju civilized
politics —politik yang beradab, dan janganlah kita membuatnya tidak beradab.
Sumber:
Kompas 15 Oktober 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!