Oleh Fathorrahman Ghufron
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah &
Hukum
UIN Sunan Kalijaga;
A’wan Suriyah PWNU Yogyakarta
DALAM acara peluncuran buku
Franz Magnis-Suseno; Sosok dan Pemikirannya, untuk memperingati usianya yang
ke-80 pada 28 Oktober 2016, Romo Magnis melontarkan pandangan kritisnya terkait
tiga faktor yang dapat merongrong Pancasila dan kesatuan bangsa.
Pertama,
kekerasan yang menjadi pemicu utama terjadinya konflik sosial di kalangan
masyarakat. Mudahnya sekelompok orang yang menggunakan kekerasan sebagai instrumen
untuk menghadapi sebuahmasalah, sesungguhnya dapat mewujud sebuah kerentanan
yang menyulut terjadinya benturan hiper-emosionalitas. Hal ini tampak dari
berbagai potret kehidupan masyarakat yang hanya karena sebuah perkara kecil
tetapi dampaknya menjadi besar.
Kedua,
neo-feodalisme merupakan cara tebar kuasa untuk menyalahgunakan kewenangan agar
memperoleh tujuan tertentu yang searas dengan kepentingan dirinya. Sekelompok
orang yang menamakan dirinya pejabat, priayi, dan penguasa lainnya bertindak
feodal untuk mengatur jalan kesewenang-wenangan agar bisa memperoleh pendapatan
yang lebih besar dengan cara koruptif.
Ketiga,
puritanisme-religius yang mengumbar semangat jihad dan disertai gema kesyahidan
di ruang publik. Seolah-olah kesucian hidup dan mati seseorang berada di tangan
kelompok puritan yang secara masif melakukan pemaksaan ideologis atas nama
ajaran agama.
Dari
ketiga faktor tersebut, yang menarik dikritisi dan dianalisis lebih lanjut
adalah aspek puritanisme-religius. Sebab, aspek ini kerap digunakan oleh
sekelompok umat beragama dengan aneka macam gerakan. Mulai gerakan akidah,
dakwah, hingga gerakan politik untuk melawan siapa pun —termasuk
pemerintah— yang
dianggap tak sejalan dengan visi keagamaannya.
Dengan
mengacu pada paham keagamaan yang tekstual, normatif, dan positivistik, para
penganut puritanisme-religius menggerakkan berbagai nomenklatur keagamaan yang
rigid-absolut seraya menolak model pembacaan keagamaan yang kontekstual.
Bahkan, penganut puritanisme- religius tak segan melontarkan ujaran stigmatik,
seperti sesat, kafir, tagut, sebagai bentuk perlawanan kepada siapa pun yang
dianggap merusak ajaran agama.
Ruang
gerak puritanisme-religius
Penjelasan
di atas dapat dicermati dalam buku Selamatkan Islam dari Muslim Puritan karya
Khaled Abou Fadl. Bahwa ciri berpikir dan cara pandang kaum puritan yang
menonjol dalam hal keyakinan adalah menganut paham absolutisme yang tak kenal
kompromi. Tak heran jika dalam perkembangannya, kaum puritan selalu berupaya
keras merevitalisasi dan mereaktualisasi peran agama dalam kehidupan,
mengharuskan penerapan perintah agama baik dalam urusan privat maupun publik,
dan ingin memperjuangkan tegaknya negara yang akan mengatur segala aspek
kehidupan manusia berdasarkan hukum Tuhan.
Bahkan,
untuk mendorong terwujudnya cita-cita tersebut, penganut puritanisme-religius
memasuki berbagai dimensi sosial, baik yang berhubungan dengan politik,
ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Pola ini berlangsung rapi dan masif.
Sesekali "berselingkuh" dengan arus kepentingan komprador politik
agar bisa masuk wilayah-wilayah tertentu, yang memungkinkan mereka memperlebar
sayap indoktrinasinya. Terlebih lagi jika negara diterpa oleh fenomena krisis,
baik krisis ekonomi, politik, keadilan, dan semacamnya.
Hal
ini bisa dicermati pada resonansi ajarannya yang berkali-kali menyatakan bahwa
sistem kenegaraan Indonesia yang mengacu pada Pancasila dianggap gagal
memakmurkan bangsa. Bahkan, model demokrasi yang dijadikan landasan kehidupan
berbangsa dituduh sebagai biang kehancuran dan karena itu mereka menawarkan
sistem yang dianggap lebih baik, seperti sistem khilafah. Seakan-akan, bagi
mereka, segala sesuatu yang jika bertitik tolak dari agama, semua urusan akan
menjadi beres.
Padahal,
agama yang menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Indonesia, tidak pernah lepas
dari pergulatan sejarah sosial yang melingkupi. Meskipun sumber utama agama
adalah kitab suci, ihwal pemahaman dan penafsiran tentang kitab suci tidak
pernah tunggal. Ada berbagai pendekatan dan metode bagaimana setiap kelompok menguraikan
pemahaman dan penafsirannya.
Lalu,
ketika ada sekelompok umat yang menghadirkan pemahaman dan penafsiran agama
yang kontekstual, cara berpikir semacam ini serta-merta dianggap berlawanan
dengan hukum Tuhan. Di sinilah persoalan yang mendasar yang sering kali
kontroversial. Anehnya, kelompok penganut puritanisme-religius selalu tak mau
tahu tentang realitas sosial yang ada bahwa Indonesia adalah negara yang
heterogen, yang tidak bisa dikendalikan berdasarkan panduan agama tertentu.
Memahami
identitas keindonesiaan
Dalam
buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi
Sejarah, Buya Syafii Maarif menjelaskan bahwa Indonesia adalah titik temu semua
agama. Setiap pemeluknya memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan basis
keyakinannya, baik di ruang privat maupun ruang publik. Karena itu, tidak
sepatutnya jika Indonesia hanya diperebutkan sebagai ajang unjuk kekuatan ihwal
kebenaran tunggal yang diasosiasikan kepada ajaran agama tertentu.
Ketika
para pendahulu kita telah meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara, sejatinya
setiap kelompok, baik berlatar belakang keagamaan, kesukuan, maupun
emosionalitas grup lainnya, mengabsorpsi dirinya ke dalam bingkai keindonesiaan
yang menyeluruh.
Konsekuensinya,
ketika negara ini sudah merancang berbagai aturan main kehidupan berbangsa yang
mengacu kepada UUD 1945 sebagai basis konstitusinya, Pancasila sebagai dasar
ideologinya, dan demokrasi sebagai sistem kepemerintahannya, siapa pun harus
tunduk di bawah aturan-aturan tersebut. Sebab, semua rumusan aturan main
tersebut sudah menjadi sunatullah yang tidak bisa digantikan oleh model apa
pun, termasuk model ajaran agama tertentu.
Adapun
tugas kita sebagai bangsa Indonesia adalah bagaimana mengisi kemerdekaan ini
dengan cara memperkuat identitas keindonesiaan yang positif- konstruktif
melalui kiprah kita di berbagai lini kehidupan. Tidak sepatutnya jika di antara
kita membuat aneka macam pembangkangan dan pemberontakan hanya karena ajaran
sosial ataupun agama yang kita peluk menandaskan sistem nilai yang berbeda.
Justru kita perlu memperkenalkan dan mengekspor cara pandang keindonesiaan yang
moderat dalam konstruksi pemahaman keagamaan yang arif dan inklusif.
Dengan
demikian, gerakan puritanisme-religius yang selama ini banyak diimpor dari
negara- negara Timur Tengah yang sebenarnya sedang mengalami kegagalan dan
alienasi dalam percaturan global tidak perlu lagi dikoarkan di Indonesia.
Sebab, melalui Pancasila sebagai etika kebangsaan, insya Allah negara ini akan
menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sumber: Kompas, 15
November 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!