Oleh Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden RI ke-6
ADA
dua nasehat orang bijak yang saya ingat. Pertama, in crucial thing unity.
Artinya, kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi
genting. Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any problem.
Maknanya, setiap persoalan selalu ada solusinya. Ada jalan keluarnya. Saya
rasakan kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara kita saat ini.
Bangsa
Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya
amati juga terjadi di seluruh tanah air. Yang semula isunya cukup sederhana dan
bisa dicarikan solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang
sedemikian rupa sehingga menjadi rumit. Gerakan massa yang mengusung tema mencari keadilan mendapatkan simpati dan
dukungan yang luas. Sementara itu, pemerintah memilih cara melakukan gerakan
imbangan dengan tema besar menjaga kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat
pemerintah ini tentulah baik, langkah ini justru memunculkan permasalahan baru.
Pernyataan penegak hukum bahwa negara akan menindak siapapun yang melakukan
tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang lalu sepertinya tak
menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial
semakin meningkat. Apa dengan demikian negara kita menuju ke keadaan
krisis? Menurut saya tidak. Saat ini
tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera
diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas.
Dalam
situasi seperti ini, secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan
menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin
kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat
ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam. Bahkan untuk
sementara saya menutup komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk para
sahabat, yang ingin bertemu saya (saya mohon maaf untuk itu), dari pada kami
semua kena fitnah. Saya masih ingat ketika saya melakukan klarifikasi atas
informasi (baca: fitnah) yang sampai ke pusat kekuasaan bahwa seolah Partai
Demokrat terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya
diserang dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang
berkembang saat ini, saya pikirkan tak baik jika saya berdiam diri. Oleh karena
itu, melalui wahana inilah saya ingin menyampaikan harapan dan pandangan
sederhana saya tentang solusi dan tindakan apa yang layak dilakukan oleh
pemerintah.
Memburuknya
situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini,
sebenarnya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah
utamanya di waktu lalu kurang terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif.
Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu
agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci. Ketika akhirnya
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok
itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin
puncak yang saya nilai tepat dan benar
itu terlambat datangnya. Sama saja sebenarnya dengan penanganan kasus Pak Ahok
yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun
mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin
dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit. Karenanya, menurut pandangan saya
saat ini prioritasnya adalah
mengembalikan kepercayaan rakyat
terhadap negara. Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan
tepat, diharapkan bisa terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan
pemerintahnya.
Mengalirkan
isu Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala
dramatisasinya menurut saya menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya
juga bukan permasalahan minoritas vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa
yang amat majemuk ini harus dijaga agar jangan sampai ada ketegangan dan
konflik yang sifatnya horizontal. Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun untuk
mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya
membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan.
Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para
pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan
justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang
amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta
maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.
Sementara
itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional
dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di
dalam negeri makin bergejolak. Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana
yang merupakan isu HAM dan mana yang bukan. Dulu ketika saya mengemban tugas
sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu
demokrasi, kebebasan serta perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia
selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan
cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada hukum nasional dan
internasional. Menurut pendapat saya, proses hukum terhadap Pak Ahok bukanlah
isu pelanggaran HAM. Kita serahkan saja kepada penegak hukum di negeri sendiri.
Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional, adil dan obyektif.
Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah hukum bicara -apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap
rule of law.
Tetapi
dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa
sepertinya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi
yang menurut saya menyeramkan. Apa itu? Muncul sejumlah skenario tentang
penjatuhan Presiden Jokowi. Tak pelak pernyataan Kapolri tentang rencana makar
menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Di samping ada pihak di
luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang beredar, katanya
juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario yang kedua ini
konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di antara mereka.
Terus terang saya kurang percaya. Pertama, saat ini tak ada alasan yang kuat
untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan
rakyat yang tidak puas itu sehingga harus menjatuhkan Presiden dengan cara
makar. Demikian juga, jika ada pihak di lingkar kekuasaan yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi
untuk mendapatkan kekuasaan, apa juga kini gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan
Presiden, pemimpin yang mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.
Memang
sekarang ini namanya fitnah, intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar
biasa gencarnya. Termasuk ganasnya "kekuatan media sosial" yang
bekerja bak mesin penghancur. Banyak orang menjadi korban, termasuk saya.
Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak
Jokowi, misalnya. Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi,
pengalaman, pengetahuan dan logika bahwa
banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak
menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa
bukan? Semua harus waspada. Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak,
gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan sampai ada maling teriak maling.
Jangan sampai ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan sampai
kita mau diadu-domba. Jangan kita berikan ruang media sosial yang sudah tidak
civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini.
Banyak yang berpendapat bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan
ideologi, tapi uang (money power). Saya amat sedih jika menyimak penggunaan
bahasa yang amat kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok
Sosmed tertentu. Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih
anak-anak dan remaja kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan nilai-nilai
luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah
dan saling bermusuhan.
Sementara
itu, jangan sampai pula kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong
dan buatan (false intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya kudeta
atau makar terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga
diisukan ada Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya
Dewan Revolusi justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului
oleh Dewan Jenderal.
Berbicara
tentang makar, saya tetap konsisten bahwa saya tak akan pernah setuju dengan
upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk
jika seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat kemudian dengan
mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus
kekuasaan melalui konspirasi politik. Kalau kita paham konstitusi, seorang
Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment
article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh
oleh sebuah revolusi sosial atau people's power. Contoh yang paling baru adalah
kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat
sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja.
Seolah-seolah seorang elit politik bisa menciptakan revolusi dengan mudahnya.
Saya jadi
ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan
saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan
makar. Saya tenang dan tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat itu hanyalah
keinginan sejumlah elit, bukan rakyat. Saya tetap bekerja, dan terus bekerja.
Saya tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan
kemudian bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik mana yang turun ke
lapangan untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya untuk memidanakan mereka.
Gerakan yang namanya seram itu, "cabut mandat dan turunkan SBY"
akhirnya cepat berlalu ....
Tentu ada
sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden,
tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi.
Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden. Sabar. Jangan nggege mongso.
Kembali
kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang menurut saya
sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya),
harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis. Cegah jangan
sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja
dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin
dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau
paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart
power. Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi.
Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus
melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.
Mesti
diketahui pula bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya.
Pahami konstitusi dan Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika
harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan
Pemerintah yang mengatur keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang
dibenarkan jika negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai Presiden
dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang
berlaku.
Dalam
keadaan "krisis", semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar
pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi
siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era
demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai
"penguasa absolut". Bangun hubungan yang baik dan sehat dengan
parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden
dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi
the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau
tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan
Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang
banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.
Saya
berpendapat, sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah
memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik.
Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah
Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin
sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan. Jangan hanya mengejar kuantitas,
tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan
hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi
seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan. Rangkullah rakyat,
pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati
mereka, jangan justru dibikin takut dan panas. Himbau mereka untuk tak perlu
selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan
pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan
batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya
sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity....
Dalam
situasi seperti ini, sebagai seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa
silam, termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas
di jajaran pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama
menjaga persatuan dan kebersamaan kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh. Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui
batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial
di negeri ini. Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat
apapun tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah jika rakyat
menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan
keadilan. Namun, hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai dan
senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan.
Akhirnya,
menutup tulisan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan
bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan
perbaikan-perbaikan. Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10
tahun memimpin Indonesia. Tak ada gading yang tak retak.
Sumber: Rakyat Merdeka, 28 November 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!