Oleh Moh Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi
RI 2008-2013
BUKTIKAN bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak
ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk
khilafah sebagai sistem pemerintahan". Pernyataan dengan nada agak marah
itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar
saat saya mengisi halaqah di dalam
pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah
Konstitusi.
Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum
tersebut dan saya diminta berbicara seputar "Konstitusi bagi Umat Islam
Indonesia".
Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus
menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis
pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman
dari bangsa Indonesia.
Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam,
Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik,
ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran
hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur
di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai
dengan tuntutan tempat dan zaman.
Sistem negara Pancasila
Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia
yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.
Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan
sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama
yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila
merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus
diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa
atau kesepakatan luhur bangsa.
Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan
aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab
dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan
ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya
tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah
itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada.
Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan,
ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam.
"Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba
sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,"
kata saya.
Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah
yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer
Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan
masyarakat dan perkembangan zaman.
Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya
berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah
(kerajaan), ada yang memakai sistememirat
(keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah
(kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah
(republik), dan sebagainya.
Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem
pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam
tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma' sukuti (persetujuan tanpa
diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat
sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar'i (maqaashid al sya'iy).
Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem
kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada
sistemnya yang baku.
Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa' al-Rasyidin
saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai
cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan
dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.
Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan
perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir
pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain
yang juga berbeda-beda.
Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang
ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku
sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar
realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun
Negara Madinah.
Berbahaya
Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem
negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu
masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak
jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan
sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.
Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa
yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang. Kalaulah
dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika
pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai
moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting
sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya.
Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal
12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan "demokrasi haram" dan
Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari
Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya
bagi Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam
perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam
sendiri.
Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam
sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada
sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim
kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di
dalamnya.
Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara
Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi
suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqon ghaliedzaa (kesepakatan
luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia
sudah lama menyimpulkan demikian.
Sumber: Kompas, 26 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!