Pendiri & Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Swadaya
DESA dan
sektor pertanian (informal) sudah sejak lama rentan terhadap fenomena
marjinalisasi. Tidak terkecuali adalah desa yang kaya sumber daya alam.
Dalam banyak kasus,
ketika korporasi besar perkebunan, pertambangan, atau industri lainnya masuk
desa untuk mengeksploitasi sumber daya alam, nyaris selalu terjadi konflik
dengan sejumlah petani yang terancam kehilangan mata pencarian dan lahan
garapannya atau terimbas dampak negatif lingkungan.
Berbagai dampak
negatif lingkungan dari eksploitasi sumber daya alam oleh industri, sebagai
marjinalisasi ekologis perdesaan, mengakibatkan disorganisasi ekosistem,
hilangnya basis sumber daya warga lokal, dan timbulnya risiko sosial ekonomi
dan kesehatan bagi warga desa.
Ekspansi masif
perkebunan besar sawit, misalnya, cenderung mendorong meluasnya deforestasi dan
mereduksi keanekaragaman hayati. Meluasnya deforestrasi ini meningkatkan
ancaman banjir dan longsor pada musim hujan serta kekeringan di musi kemarau.
Demikian pula dalam
kasus penguasaan mata air dan eksploitasi sumber air oleh industri air minum
dalam kemasan (AMDK), kepentingan petani dikorbankan dengan hilangnya akses
sumber air untuk pertanian dan kehidupan sehari-hari warga desa. Akibatnya,
lahan tidak produktif karena kelangkaan air untuk irigasi, akses air bersih
semakin sulit, penghasilan riil petani anjlok, dan kemiskinan perdesaan kian
meluas.
Padahal, tanpa
berebut lahan dan air dengan korporasi besar pun, para petani kecil sudah harus
berjibaku untuk sekadar bertahan hidup akibat sempitnya lahan pertanian, bahkan
menghadapi gempuran dari berbagai sisi, mulai dari rentenir, tengkulak ,
pengijon, tingginya biaya input pertanian, potensi bencana ekologis, dan lain
sebagainya. Maka, ketika neraca usaha taninya terus-terusan negatif alias
bangkrut, petani tak punya pilihan lain, kecuali menjual lahannya.
Berdasar Sensus
Pertanian BPS, selama 10 tahun antara 2003 dan 2013, sekitar 500.000 petani
gurem "menghilang" setiap tahun yang terindikasi menjual lahan
pertaniannya. Rerata penguasaan lahan petani yang meningkat dari 0,35 hektar
menjadi 0,8 hektar dalam kurun waktu yang sama bukanlah sinyal yang
menggembirakan karena merupakan akibat dari menghilangnya sejumlah besar petani
gurem tersebut.
Buruknya kualitas
infrastruktur sosial, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur sanitasi
lingkungan perdesaan selama berpuluh-puluh tahun mendorong lebih jauh proses
marjinalisasi desa. Alhasil, tidaklah mengherankan jika kawasan perdesaan
dikenal sebagai sarang kemiskinan nasional dan pemasok kaum pendatang dan
tenaga kasar ke kota-kota. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) September
2016, sebanyak 62 persen penduduk miskin bermukim di daerah perdesaan.
Rekonstruksi
infrastruktur sosial
Desa sejatinya
adalah akar dari "pohon besar" yang bernama Republik Indonesia.
Bahkan, Mahatma Gandhi memosisikan desa sebagai jantung negara. Marjinalisasi
desa jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945. Oleh karena itu, desa harus
diberdayakan, direvitalisasi, dan direstorasi.
Pengakuan bahwa
desa merupakan self governing community seperti ditegaskan dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan implementasi UU tersebut dengan
penggelontoran dana desa sejak 2015 dapat dipandang sebagai titik balik dari
fenomena marjinalisasi ke demarjinalisasi desa, kendati baru pada tahap awal.
Restorasi desa yang
berbasis prinsip rekognisi dan subsidiaritas dapat dilakukan melalui strategi
berikut, yaitu (a) pembangunan infrastruktur perdesaan secara masif baik
infrastruktur dasar ataupun infrastruktur sosial perdesaan secara berimbang,
(b) reformasi agraria yang memungkinkan sebagian besar petani dapat memiliki
lahan secara layak, dan (c) mengembangkan kegiatan ekonomi atau industri
non-usaha tani perdesaan (rural non-farm industry), khususnya bagi warga desa
yang tidak tertampung oleh sektor pertanian dan reformasi agraria.
Restorasi desa
bukan hanya menyangkut sarana dan prasarana dasar perekonomian semata seperti
halnya jalan desa, embung desa, jaringan irigasi, pasar desa, dan lain
sebagainya. Pembangunan sarana dan prasarana perekonomian sangat penting,
karena menyangkut akselerasi pertumbuhan ekonomi desa dan penciptaan lapangan
pekerjaan.
Namun, tak kalah
pentingnya adalah pembangunan infrastruktur sosial yang menjadi katalisator
atau lingkungan bersemainya modal sosial yang berupa jejaring atau relasi
sosial, kohesi sosial, rasa saling percaya dan saling pengertian antarwarga
desa, dan norma-norma sosial yang memfasilitasi kerja sama atau
kegotongroyongan antarwarga desa tersebut.
Infrastruktur sosial
ini dapat berupa aktivitas, kelembagaan warga desa, dan fasilitas yang
mendukung tumbuh kembangnya modal sosial tersebut. Infrastruktur sosial dapat
berdimensi fisik maupun nonfisik. Ruang-ruang publik, balai desa, balai serba
guna, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sanggar-sanggar seni budaya
merupakan fasilitas fisik berlangsungnya interaksi antarwarga desa yang dapat
memupuk modal sosial. Demikian pula event-eventbudaya dan olahraga tingkat
lokal dapat mempererat kohesi sosial.
Sementara lembaga-lembaga
adat dan lembaga-lembaga sosial-ekonomi yang berakar pada warga desa akan
mempermudah pencapaian tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa
secara kolektif. Modal sosial berperan penting dalam mengembangkan kegiatan
ekonomi pertanian dan nonpertanian perdesaan. Pasar produk-produk pertanian
yang cenderung tidak sempurna (imperfect), dapat diatasi dengan jejaring sosial
yang kuat. Modal sosial juga
membantu para petani dalam mendapatkan alternatif akses terhadap sumber
finansial untuk usaha taninya.
Dana desa
Realisasi restorasi
desa bertumpu pada pemanfaatan dana desa. Selain untuk membangun infrastruktur
dasar, sebagian dari dana desa secara bertahap dapat dialokasikan untuk
membangun ruang-ruang publik, seperti alun-alun desa, play ground, tempat
rekreasi tingkat lokal desa, dan pusat budaya desa.
Sebagian lainnya
(relatif kecil) untuk menstimulasi kegiatan serta festival budaya tradisional
dan olahraga tingkat lokal.
Dalam porsi yang
sedikit lebih besar untuk mengembangkan pendidikan anak usia dini (PAUD)/taman
kanak-kanak (TK), pusat kegiatan pendidikan masyarakat desa, posyandu, pos obat
desa, dan pusat kesehatan desa. Tentu saja masih ada porsi tertentu
dialokasikan untuk pengembangan usaha badan usaha milik desa (BUMDesa) dan
pemberdayaan masyarakat, termasuk pengembangan kelembagaan koperasi berbasis
warga desa.
Pemerintah pusat
melalui kementerian terkait perlu mengembangkan standar sarana dan prasarana
desa yang lebih baik, khususnya sarana pendidikan dan kesehatan di tingkat
desa.
Selanjutnya, secara
proporsional, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten meningkatkan
program-program fasilitasi untuk restorasi desa sesuai dengan kewenangan yang
digariskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sumber:
Kompas, 15 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!