Oleh Mangadar Situmorang
Rektor
Universitas Katolik Parahyangan
UNIVERSITAS yang tidak membuka ruang bagi
perbedaan bukanlah universitas. Dalam konteks Indonesia, perguruan tinggi yang
menghargai perbedaan atas pendapat, identitas, dan nilai patut disebut sebagai
perguruan tinggi yang Pancasilais.
Akan tetapi,
mencermati kecenderungan di perguruan tinggi (PT)-khususnya PT negeri-dewasa
ini, Sulistyowati Irianto justru khawatir akan "Matinya Universitas"
(Kompas, 23/5) karena kehilangan jati dirinya sebagai universitas perjuangan
dan gagal merawat kebinekaan.
Pernyataan dan
kekhawatiran di atas bersifat indikatif atas dua hal. Pertama, rendahnya
komitmen PT terhadap jati dirinya sebagai institusi pendidikan tinggi yang mewariskan
dan memproduksi ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni yang bertujuan untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Kedua, rendahnya kesadaran
institusional atas konteks sosial-kemasyarakatan dan kebangsaan.
PT kita cenderung
latah dan ikut-ikutan. Misalnya, beberapa waktu lalu muncul tiga klasifikasi
tentang PT, yakni teaching university, research university, dan entrepreneur
university. Hampir semua universitas berlomba-lomba menyatakan diri (akan)
menjadi research university atau entrepreneur university, lalu menilai teaching
university telah ketinggalan zaman atau tidak laku.
Contoh lainnya,
universitas kelas dunia telah pula menjadi jargon yang diklaim ingin diraih dan
mimpi menjadi sekelas dengan Oxford, Stanford, Cambridge, MIT, Harvard, atau NUS,
Peking, Melbourne, dan Tokyo. Sementara itu, data Kemenristek dan Dikti (2015)
menunjukkan, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia baru
33,7 persen (2015), dan dari semua dosen (228.443) hanya 13 persen
berpendidikan doktor, termasuk di dalamnya sekitar 5.000 guru besar.
Adakah konteks
kesejarahan dan kemasyarakatan menjadi pendorong pengembangan PT? Sedikit lebih
ideologis, bisakah Pancasila menjadi akselerator peningkatan kualitas dan
sekaligus menjadi pembeda PT di Indonesia?
Perbedaan fondasi
sosiologis keilmuan
Kita sering
terperangkap pada dualisme benar atau salah. Sesungguhnya hal itu merupakan
simplifikasi berlebihan dalam berpikir dan bersikap.
Terlalu sering kita
berhenti hanya pada dua pilihan yang dikotomistis: apakah sesuatu benar atau
salah, bagus atau buruk. Kita melupakan ukuran-ukuran lain yang bersifat
komparatif seperti "lebih baik/benar" atau "sangat
baik/benar".
Kalaupun ada benar
atau salah, hal itu mestinya bisa dilihat sebagai dua titik ekstrem dari sebuah
keberlanjutan. Keduanya tidak terpisah sebab di antaranya terdapat horizon
berupa titik-titik penilaian yang mungkin bersifat absolut, ultima, superlatif,
dan komparatif. Sementara kedua ujung tersebut dapat berubah (berkembang atau
menyusut) dan di antara kedua ujung ada sejumlah titik perhentian dan
penilaian, kita dingatkan untuk berpikir pluralistik, komparatif, dan lebih
terbuka.
Berpikir dualistik
dan dikotomistik cenderung menegasikan yang lain dan akan mengerdilkan
kehidupan. Sebaliknya, berpikir pluralistik mengajak kita melihat dan menerima
kebenaran-kebenaran dan kebaikan-kebaikan yang tersebar di sepanjang horizon
kehidupan. Tidak ada tendensi untuk meniadakan atau mengingkari kebenaran dan
kebaikan yang lain.
Justru yang terjadi
adalah mengakui sekaligus menghormati eksistensi kebenaran dan kebaikan yang
secara komparatif tersebar. Inilah esensi perjuangan intelektual yang ada di
universitas dan mestinya juga hadir dalam relasi-relasi sosial kita.
Pengakuan terhadap
pluralitas komparatif tentang kebenaran dan kebaikan tidak harus menggiring
kita pada relativisme. Sebaliknya, sikap pluralistik-komparatif hendak
menegaskan akan pentingnya "penundaan" untuk menilai.
Dalam filsafat ilmu
ini disebut "commitment withinrelativism" atau "contextual
relativism". Artinya, masih ada keraguan atau ketidakpastian (uncertainty)
atas kebenaran dan kebaikan yang bersifat mutlak dari sesuatu hal
(Francis-Vincent Anthony, 2015). Untuk itu, orang perlu bersabar.
Commitment within
relativism merupakan penegasan terhadap dua hal. Pertama, adanya kesadaran
berupa genuine doubt, keraguan sejati, atas pengetahuan dan pemahaman diri
sendiri. Kedua, adanya pengakuan terhadap kemungkinan legitimate alternatives
yang bersifat komparatif (F-VA, 2015). Inilah yang memaknai dunia akademik
sebagai perjuangan mencari yang lebih baik: jalan bagi pengembangan ilmu,
pengetahuan, dan seni; budaya akademik yang sejati; dan relasi sosial yang
produktif.
Salah satu sumber
bahaya yang mengancam ikhtiar semacam itu adalah masuknya sentimen-sentimen
personal yang terafiliasi dengan identitas dan nilai-nilai primordial (agama,
suku, atau sejenisnya) dan intoleran. Sentimen semacam itu dapat berkembang
menjadi sentimen kolektif-bahkan institusional-yang bukan saja menghambat
kemajuan ilmu, pengetahuan, dan seni, tetapi juga menyesatkan dan merusak. PT
yang telah terkontaminasi oleh sentimen semacam itu menjadi intoleran dan
diskriminatif.
PT dan kompetensi
sikap
Salah satu capaian
pembelajaran yang hendak diraih lewat penetapan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI)-PP No 8/2012-adalah sikap dan tata nilai yang mencerminkan
karakter atau jati diri bangsa dan negara Indonesia. Lewat kegiatan-kegiatan
ilmiah dan interaksi-interaksi sosial yang berlangsung di PT, mahasiswa hendak
diajak dan diwarisi sikap dan nilai toleransi. Melalui berbagai forum akademik
dan non-akademik, para mahasiswa hendak dikembangkan apa yang dikenal sebagai
intercultural competence (F-VA, 2015).
Di bangku kuliah,
para peserta didik hendak dimampukan untuk melihat mana yang baik, lebih baik,
dan sangat baik; bukan hanya benar dan salah. Maka, dalam konteks ini, dosen
dan para guru besar jadi tokoh kunci di dalam membangun kerangka berpikir yang
membuka ruang pada toleransi dan dialog dan bukan sebaliknya: intoleransi yang
mengerdilkan dan mematikan.
Pengalaman dan
pendidikan di PT akan mengembangkan kemampuan berpikir dan bersikap rasional,
dan pada gilirannya akan menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab sosial. Semua
ini pada akhirnya akan bermuara pada berkembangnya conscientious and altruistic
generation (F-VA, 2015), generasi yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab
sosial yang tinggi. Inilah yang menjadi kunci kemajuan peradaban bangsa.
Mencermati beberapa
peristiwa belakangan ini, di mana sejumlah PTN utama di negeri ini (seperti
UGM, ITB, IPB) membuat pernyataan tetap setia pada Pancasila, tampaknya hal itu
patut diapresiasi sebagai upaya memulihkan kembali marwah universitas yang
menghargai perbedaan dan mengembangkan intercultural competence sebagai syarat
penting pengembangan ilmu, pengetahuan dan seni, sekaligus pembeda kualitas PT
di Indonesia. Semoga!
Sumber: Kompas, 14 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!