Oleh
Frega Wenas Inkiriwang
Dosen Universitas Pertahanan;
Mahasiswa Program PhD di The London School
of Economics and Political Science Inggris
of Economics and Political Science Inggris
BEBERAPA tahun terakhir,
Negara Islam di Irak dan Suriah telah menjadi ancaman keamanan global.
Bahkan, akhir-akhir
ini, NIIS berhasil menguasai Marawi, sebuah kota di Filipina selatan, serta
menyandera penduduk yang bermukim di sana. Presiden Duterte pun mengerahkan
militer untuk menghadapinya.
Filipina terkenal
keras dengan penegakan hukum. Masih hangat di ingatan kita ketika polisi
memburu para bandar dan pemakai narkoba secara membabi buta. Ribuan orang tewas
ditembak oleh polisi Filipina. Bahkan, putri seorang mafia, Maria Moynihan,
yang memiliki status dwiwarga negara, Inggris dan Filipina, ikut jadi sasaran
tembak karena terlibat dalam peredaran narkoba.
Namun, ketika
menghadapi teroris seperti NIIS, polisi selaku aparat penegak hukum tak mampu
membendungnya. Apalagi NIIS yang ditengarai bergabung dengan kelompok separatis
pimpinan Maute telah mengeksekusi kepala polisi. Presiden pun mengumumkan
keadaan darurat dan mengerahkan militer. Kolaborasi militan dengan jaringan
NIIS menambah peliknya penanggulangan terorisme di Filipina. Wajar jika
kemudian Duterte menggerakkan militer beserta alutsistanya untuk membabat
jaringan NIIS di Marawi.
Praktik di banyak
negara
Jarak Marawi hanya
beberapa ratus kilometer dari wilayah paling utara Indonesia. Luasnya wilayah
lautan di perbatasan kedua negara sangat memungkinkan penyusupan oleh jaringan
NIIS di sana menuju wilayah Indonesia. Jika ini terjadi, tentu akan menimbulkan
potensi konflik baru. Bukan tak mungkin skenario Ambon atau Poso berulang
mengingat mayoritas penduduk Sulawesi Utara non-Muslim. Kehadiran Kodam
XIII/Merdeka yang diresmikan beberapa waktu lalu merupakan sebuah keputusan
pemerintah yang sangat tepat mengantisipasi hal ini.
Namun, dalam
penanggulangan terorisme, ada beberapa kendala yang menghambat inter- agency
approach di lapangan. Menanggulangi terorisme bukanlah sekadar tanggung jawab
aparat penegak hukum, seperti kepolisian. Dengan kompleksitas yang ada dan
maraknya aksi lintas negara, terorisme bukan lagi hanya berkutat seputar
pidana, melainkan lebih pada sebuah kejahatan terhadap negara.
Inggris saja setelah
insiden bom Manchester langsung mengerahkan 1.000 lebih personel militernya,
dari satuan pasukan khusus Special Air Service (SAS) dan satuan elite lintas
udara, Parachute Regiment. Pengerahan pasukan bersandi Operasi
"Temperer" ini diorientasikan untuk mengoptimalkan antisipasi
terhadap aksi terorisme susulan berdasarkan laporan intelijen.
AS pun sudah sejak
lama mengerahkan militer dalam penanggulangan terorisme. Terlepas keberadaan
Posse Comitatus Act, Pemerintah AS telah merevisi konteks pengerahan militer
dalam menangani aksi terorisme di dalam negeri yang sebelumnya sangat dibatasi.
Memang cukup unik karena AS mengedepankan prinsip forward defenceuntuk
menghancurkan lawan-lawan di negaranya sebelum jadi ancaman di wilayah AS.
Berkaca dari serangan teroris di World Trade Center (2001), AS memandang perlu
pemberdayaan semua komponen, termasuk militer, dalam menanggulangi terorisme.
Di Tanah air,
sejauh ini TNI hanya diberikan payung hukum UU Nomor 34 Tahun 2004 yang
menyebutkan tugas pokoknya untuk menanggulangi aksi terorisme di Indonesia.
Kini muncul wacana untuk memberikan kewenangan bagi TNI melalui RUU tentang
perubahan UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Presiden Jokowi pun
menginstruksikan agar TNI dimasukkan dalam skema penanggulangan terorisme.
Tentu usulan ini bukan tanpa kontroversi. Sejumlah kalangan di parlemen dan
akademisi mengkhawatirkan akan terjadinya pelanggaran HAM oleh TNI jika
dilibatkan.
Kita harus bijak
menyikapi. Berbicara manajemen negara bukanlah hanya seputar dikotomi antara
pendekatanjustice-based atau military-based dalam menangani masalah terorisme
yang memfokuskan dominasi peran polisi dan tentara. TNI hingga saat ini
memiliki rekam jejak mendunia dalam aksi penanggulangan terorisme. Pembebasan
sandera Woyla di Thailand dan pembebasan sandera di Mapenduma oleh satuan elite
Kopassus yang berkolaborasi dengan satuan Para Raider Kostrad mengejutkan dunia
akan kiprah militer Indonesia dalam penanggulangan terorisme.
Belakangan ini NIIS
semakin meningkatkan aksinya di Asia Tenggara dan menjadi potensi ancaman
keamanan negara. Apalagi Marawi jaraknya tak jauh dan sejumlah WNI bergabung
dengan kelompok NIIS di sana. Dengan kondisi ini, Indonesia perlu
mengantisipasi meluasnya aksi NIIS di Tanah Air. Kita tak ingin terjadi lagi
aksi-aksi bom bunuh diri seperti yang menewaskan tiga polisi di Kampung Melayu,
24 Mei lalu.
Sejumlah
pertimbangan
Ada sejumlah hal
yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun skema pelibatan TNI dalam
penanggulangan terorisme. Pertama, identifikasi skenario pelibatan TNI harus
jelas, kapan Polri bergerak independen, kapan TNI mulai di-BKO-kan, dan kapan
TNI dapat bergerak independen. Jika Polri memiliki keterbatasan sumber daya,
harus disiapkan skema pelibatan TNI untuk mengantisipasi kerugian yang meluas
dengan terjadinya aksi terorisme.
Polri sudah
memiliki Densus 88. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan juga taktik serta
teknik anggota jaringan NIIS, seperti Kelompok Santoso di Poso, tentunya perlu
optimalisasi melalui pengerahan militer yang tetap harus memperhatikan HAM dan
hukum yang berlaku. Dengan agenda reformasi yang digulirkan sejak 2004, TNI
telah banyak berbenah. Dalam sejumlah jajak pendapat, TNI justru jadi institusi
paling dipercaya publik. Ini jadi kapital bagi TNI yang harus dijaga dengan
baik.
Selanjutnya,
sinergisitas dalam penanggulangan terorisme bukan hanya melibatkan aparat
penegak hukum dan militer. Proses deradikalisasi guna mengatasi akar masalah
terorisme butuh kolaborasi semua pemangku kepentingan. Kolaborasi harus
mewadahi pendekatan berbasis muatan lokal. Gagalnya AS dalam sejumlah misi
karena tak memahami budaya lokal. Mayoritasglobal war on terror dilakukan di
luar wilayah negaranya.
Untuk Indonesia,
konteksnya berbeda. Sejarah kelam separatis DI/TII yang berhasil dibasmi
militer bersama masyarakat melalui operasi pagar betis adalah contoh
keberhasilan sinergisitas. Ideologi NIIS untuk mendirikan khilafah tak jauh
berbeda dengan DI/TII yang tentunya bertentangan dengan Pancasila, ideologi
negara. Karena itu, NIIS perlu dicermati di mana pelibatan semua komponen
menjadi penting, termasuk militer. Berkaca dari pengalaman sejumlah negara
demokrasi dalam penanggulangan terorisme, penggunaan militer bukanlah hal yang
tabu.
Payung hukum sah
menjadi prioritas untuk melegitimasi pengerahan militer. Finalisasi revisi RUU
Terorisme termasuk turunan dari UU No 34/2004 penting untuk memandu mekanisme
pelaksanaan di lapangan. Payung hukum akan menghilangkan keraguan bertindak.
Satuan-satuan militer yang berkompeten dalam penanggulangan terorisme seperti
Kopassus dengan unit Gultor-nya, Kostrad dengan Para Raider dan Taipur-nya,
ataupun satuan Raider terpilih di Kotama dapat diberdayakan di samping
intelijen dan unit militer lain. Tentunya ini bukan berarti semua satuan TNI
harus beraksi.
Pengerahan TNI
dalam penanggulangan terorisme menjadi sebuah urgensi bagi Indonesia.
Kecermatan Presiden merekomendasikan pelibatan TNI dan sejumlah usulan dari
parlemen termasuk TNI menjadi faktor yang dapat memuluskan proses ini, apalagi
dari Polri juga memberikan pandangan positif akan pentingnya pelibatan TNI.
Namun, finalisasinya tidaklah mudah. Mencermati perkembangan NIIS di kawasan,
di mana aksinya di Marawi dekat dengan Indonesia, pemerintah perlu segera
mematangkan persiapan.
Kita tak ingin
menunggu terjadinya aksi teror, seperti di Manchester, Kampung Melayu, dan
Marawi, terlebih dulu untuk kemudian melegitimasi pengerahan militer. Jika
skenario ini yang terjadi bisa dibayangkan berapa banyak warga sipil harus jadi
korban. Penangkalan dengan kesinergian pemangku kepentingan terkait termasuk
militer menjadi urgensi guna meminimalisasi collateral damagedari aksi-aksi
NIIS di Tanah Air. Kepentingan nasional adalah mutlak. Jaringan terorisme yang
berafiliasi dengan NIIS adalah ancaman nyata bagi pertahanan dan keamanan
negara yang harus segera ditumpas. Utuhnya wilayah NKRI dan tetap tegaknya
kedaulatan adalah fundamental bagi Indonesia. Di ranah ini, TNI mutlak
diperlukan guna mengoptimalkan penanggulangan terorisme nasional.
Sumber: Kompas, 8 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!