Oleh Umbu TW Pariangu
Dosen Fisip Undana Kupang
PEMERINTAH Indonesia berencana menaikkan dana bantuan untuk parpol
hampir 10 kali lipat (dari Rp108 menjadi Rp1.000 persuara). Kemendagri sedang
merancang revisi PP No 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada parpol. Dana yang diperoleh
tiap parpol tentu bisa bervariasi, bergantung pada jumlah suara yang diperoleh
saat pemilu nanti.
Ini bak angin segar
monetisme dan kepulan asap dapur bagi parpol karena selama ini hanya diguyur
dana bantuan dari pemerintah Rp108 per suara. Jumlah yang sangat
minim untuk ukuran operasionalisasi parpol yang dikelilingi atmosfer demokrasi
berbiaya mahal. Selama ini parpol
mendapat dana dari iuran anggota, sumbangan dari pihak ketiga, dan bantuan
keuangan dari anggaran negara. Bantuan keuangan
dari keuangan negara itu hanya sejumlah 0,006% dari APBN. Padahal, menurut
Marcin Walecki, doktor ilmu politik dari Universitas Oxford di Kantor Perludem
Jakarta (29/3/2016), 80% negara di dunia mendanai parpol melalui APBN, seperti
di Jerman, yang mana 30% dana parpolnya berasal dari uang negara, bahkan di
Belgia mencapai 85% dana parpol berasal dari uang negara.
Dengan nominal yang
kecil itu, harus jujur dikatakan bahwa parpol kewalahan atau terengah-engah
mencukupi kebutuhannya. Akibatnya sistem
pendanaan parpol jadi akar masalah yang krusial di RI karena dari sinilah lahir
banyak kejahatan keuangan termasuk bibit awal politik transaksional yang
dilakukan politisi lewat berbagai praktik korupsi politik.
Sudah menjadi
rahasia umum bahwa tidak sedikit elite partai termasuk kepala daerah, menteri,
dll dijadikan 'sapi perah' parpol dengan menilap uang negara melalui berbagai
jatah proyek kakap ilegal. Hingga 2016,
sebanyak 151 orang dari 487 pelaku korupsi yang ditangani KPK adalah politisi
atau sekitar 31,01% dari total kasus.
Modus berubah-ubah
Selain itu, modus
untuk memperbesar pundi-pundi parpol diperoleh dari penerapan sistem mahar
politik khususnya di dalam event pilkada. Hasil riset KPK,
yang dirilis 29 Juni 2016, dengan mewawancari 286 calon yang kalah Pilkada
2016, ditemukan bahwa dana kampanye calon lebih besar dari biaya
penyelenggaraan pilkada oleh KPU. Pengeluaran yang
paling signifikan justru terjadi sebelum kampanye, yakni membayar mahar parpol.
Bahkan ada petahana di Sumatra Barat yang harus membayar mahar senilai Rp15
miliar kepada parpol.
Materialisme
politik seperti ini memunculkan risiko demokrasi tidak sedikit karena proses
politik akhirnya menjadi terkontaminasi oleh kompromi politik berbasis fulus. Keputusan, bahkan
kebijakan-kebijakan yang dilahirkan dari meja politik, akan selalu berhulu pada
logika transaksional yang menyebabkan peminggiran sistematis kepentingan
publik. Sebaliknya
kepentingan orang-orang berduit sajalah yang mendapat tempat dalam proses
politik. Ironisnya, dari
waktu ke waktu 'modus vivendi' partai untuk mempertahankan pemasukan atau
logistiknya selalu berubah.
Modus operasi
korupsi politik pada 2009, misalnya, banyak terjadi pada penyalahgunaan
anggaran dengan 32 kasus. Namun, pada 2010
modusnya bergeser menjadi penggelapan anggaran (62 kasus). Modus penggelapan
pada umumnya terkait dengan penyimpangan dana yang langsung berhubungan dengan
kepentingan rakyat seperti dana bantuan sosial, yaitu program populis yang
biasa digunakan kepala daerah petahana untuk mendekati konstituen. Perubahan modus itu
terjadi karena aktor-aktor korupsi selalu belajar beradaptasi dengan perubahan
lingkungan.
Dalam konteks
birokrasi, digunakannya pola baru itu berdasarkan asumsi bahwa penggelapan yang
dilakukan dengan memanipulasi laporan keuangan akan lebih sulit diendus. Para pejabat
(petahana dari parpol), misalnya, kerap bermain-main di arena pengadaan barang
dengan cara menggelembungkan harga dan mengubah spesifikasi barang. Modus lainnya ialah
pemanfaatan sisa dana tanpa pertanggungjawaban, manipulasi sisa APBD,
manipulasi perizinan, gratifikasi dari dana BPD penampung anggaran daerah,
hingga bantuan sosial yang tak sesuai dengan peruntukan.
Kreativitas korupsi
di atas makin menyudutkan (partai) politik dalam 'kotak hitam' kecenderungan
korup dan kreativitas itu pun kian mendapat ruang ketika DPR(D) yang mestinya
menjadi public intermediate atau instrumen akuntabilitas publik yang baik
(Normanton, 1996; Jones dan Pendlebury, 1996) ternyata belum efektif dalam
melakukan kontrol terhadap kinerja di sektor politi(k)si. Agak sulit memang
mengharapkan kontrol DPR(D) yang kritis dan tajam ketika orang-orang di
dalamnya juga merupakan perpanjangan tangan atau partitur dari entitas
'faksi-faksi' politik yang selalu membutuhkan survivalitas walaupun dengan
harus menghalalkan segala cara.
Purifikasi partai
Dalam konteks ini,
sengaja dipilih kata faksi ketimbang partai karena kecurigaan buruk terhadap
partai selama ini disebabkan partai selalu kita identikkan dengan faksi. Padahal, menurut
Voltaire (dalam Giovanni Sartory, Parties and Party System: A Frameworks for
Analysis, 1976), istilah partai adalah sesuatu yang baik, sedangkan faksi
identik dengan keburukan dan dibenci dari zaman Romawi hingga abad ke-19.
Dari seluruh
tradisi pemikiran politik Barat, jarang ada yang tidak menganggap faksi sebagai
sesuatu yang dibenci karena sejatinya faksi adalah: 'un partis detieux dans un
tat' (sebuah partai yang suka memberontak dalam sebuah negara), sedangkan
partai lebih dipakai untuk menunjuk faksi-faksi yang tidak memberontak.
Artinya, purifikasi
makna partai harus dilakukan agar ia benar-benar menjadi lembaga yang
diandalkan untuk melahirkan sistem demokrasi yang sehat, akuntabel, dan mampu
menyerap secara maksimal kepentingan rakyat. Karena itulah,
respons positif terhadap rencana penaikan dana parpol menjadi niscaya. Itu
setidaknya akan meminimalkan hasrat korup politisi. Parpol akan semakin
independen dalam mengelola rumah tangganya tanpa diintervensi tangan-tangan tak
kelihatan (donatur-donatur gelap) yang selalu sarat dengan pamrih.
Ketimbang parpol
terus mengambinghitamkan dana minim sebagai akar mereka melestarikan korupsi,
mending parpol mulai diberi tanggung jawab untuk mengelola dana yang relatif
sudah cukup dari negara dengan membangun prinsip-prinsip akuntabilitas dalam
manajemen pengelolaan anggarannya. Kalau partai dewasa
dan jujur mengelola 'nafkah politiknya' itu, perlahan-lahan partai tidak lagi
identik dengan faksi yang berkonotasi buruk, transaksional, dan korup. Sebaliknya, partai
menjadi instrumen autentik yang diandalkan untuk menghidupi demokrasi dan
kesejahteraan rakyat.
Sumber: Media Indonesia, 8 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!