Headlines News :
Home » » Desepsi dan Demokrasi

Desepsi dan Demokrasi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 21, 2017 | 8:51 AM

Oleh Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia 

POLITIK itu kumpulan tanda tanya. Mungkin dan tak mungkin sering tak berbatas.

Emily Schultheis dari CBN News (29/12/2016) pernah mengatakan, pertanyaan politik terbesar abad ini, dalam konteks Amerika tentunya, "apakah fenomena Trump akan mendunia?"

Schultheis jelas menyentil kekakuan politik luar negeri Trump yang rada bipolar —meski bagi Jokowi, seusai bertemu di sela pertemuan G-20 di Jerman, Trump punya bakat melawak!

Sebuah dilema

Politik global tampaknya dalam persimpangan yang kritis: memastikan demokrasi liberal sebagai "akhir sejarah" pada saat benturan peradaban Huntingtonian menjadi keniscayaan, atau membiarkan demokrasi bervariasi dalam praksis yang lokal dan dalam konteks terbatas?

Dilema ini tidak mudah. Di satu sisi, membiarkan hegemoni demokrasi liberal ibarat melanggengkan perlawanan terhadap ketidakdilan struktural yang jadi dasar bagi kaum radikal untuk menebar teror. Di lain sisi, membiarkan demokrasi dicangkok menurut model kekuasaan lokal tak mengandung jaminan bahwa tirani berjubah demokrasi tidak menjadi antitesis masa depan.

Kita mesti jujur mengakui, ada banyak gerakan berjubah demokrasi yang sebetulnya bertujuan antidemokrasi. Itulah yang disebut "jebakan demokrasi" oleh Graham Fuller (1992). Dalam bingkai jebakan demokrasi inilah kita dihadapkan pada deretan pertanyaan: Kenapa Perppu Ormas ditentang keras? Apakah fitnah bagian dari kebebasan demokratik? Bagaimana bisa wakil rakyat melawan KPK?

Atas nama demokrasi, orang bebas menebar fitnah dan teror. Institusi hukum terjebak dalam dilema moral yang mendalam: bertindak terlalu agresif nanti dituduh melanggar hak asasi manusia, tetapi kalau telat bertindak, mereka dituduh kecolongan dan korban tak bisa dihindari.

Ormas tertentu, diam-diam ataupun terbuka, sudah jelas melawan Pancasila. Ketika negara membubarkan, meski dengan prosedur hukum dengan hanya memanfaatkan sedikit kewenangan koersif, logika hak politik dan kebebasan sipil dijadikan alibi. Padahal, ketika bom meledak dan banyak nyawa tak berdosa hilang, mereka yang berteriak "hak demokratik" tidak bersuara sedikit pun.

Begitu pula dengan fitnah yang makin menjadi-jadi. Bahkan, tanpa fitnah, politik an sich justru kehilangan makna praktis pada dirinya. Akhir 2016, kita dikejutkan oleh Jokowi Undercover, buku yang ditulis Bambang Tri Mulyono. Bobot ilmiah yang begitu miskin membuat buku itu tak beda dengan propaganda hitam, seperti Obor Rakyat yang gempar saat Pilpres 2014.

Anehnya, begitu penebar fitnah diproses secara hukum, pemerintah dituduh arogan dan otoriter. Padahal, sejak awal, semua filsuf —tidak hanya Hobbes (1588-1679)— sepakat bahwa negara dibentuk untuk menjamin ketertiban sosial. Kenapa? Karena manusia pada hakikatnya punya kecenderungan animalis untuk saling memangsa.

Demokrasi dijadikan kuda Troya tak hanya berlaku bagi kalangan radikalis yang ingin membangun tatanan politik tanpa demokrasi. Para penebar fitnah dan pecundang politik pun begitu.

Wakil rakyat kita sekarang sibuk menggalang dukungan melawan KPK. Mereka protes dan menuduh KPK telah merebut kewenangan para malaikat dalam menegakkan keadilan. Padahal, masalahnya sederhana, solidaritas sebagai politisi terganggu setelah KPK memenjarakan banyak kawan. Tentu persoalan hak angket KPK tidak sesederhana itu. Setidaknya, kita tahu ke mana sungai mengalir.

KPK butuh kritik, koreksi, dan pembenahan. Namun, membenahi KPK mesti didasarkan pada motivasi dan disasarkan pada intensi yang positif. Yang ditakutkan, "koreksi terhadap KPK" adalah jebakan untuk membunuh institusi penegak hukum yang justru paling diandalkan sejak Reformasi 1998.

Bertamengkan demokrasi

Kalau Graham Fuller memakai istilah "jebakan demokrasi" untuk menggambarkan niat busuk di balik jargon luhur para perusak demokrasi, saya justru melihatnya berbeda. Ada upaya desepsi yang sistematis dan terukur dengan mengatasnamakan demokrasi sebagai tameng.

Mereka yang menolak Perppu Ormas, yang melawan KPK, dan yang menebar fitnah serta teror adalah satu komunitas samar yang tidak terorganisasi dengan baik, tetapi tengah memainkan manipulasi politik yang cenderung deseptif. Desepsi, sebagai istilah, biasa digunakan dalam dunia intelijen, yaitu orang menyamar, melebur dalam suatu komunitas, dan terlibat dalam jaringan untuk misi rahasia. Sebagai tema sastra, desepsi juga kita jumpai dalam banyak novel atau film.

Tahun 1990, ada novel bagus ditulis Philip Roth yang judulnya Deception.Novel ini sebagian besar adalah percakapan Philip Roth dengan perempuan Inggris yang dinikahinya dalam rumah tangga kelas atas yang krisis cinta. Mereka banyak bercakap sebelum dan setelah bercinta. Ada kontras antara realitas hidup di luar ranjang dan di atas ranjang karena lakon deseptif yang hebat dari tokoh Philip.

Demokrasi kita hari ini mirip dengan alur novel ini. Ada banyak pembicaraan, dialog, silaturahim, dan "islah", tetapi di balik layar, pertempuran tetap ganas dan perangai politisi selalu saja bengis. Pilpres 2019 tak lama lagi. Siasat semakin lihai. Desepsi semakin canggih. Demokrasi lama-lama tak bermakna lain selain "sebuah desepsi".

Tahun lalu (2016), ada survei yang diadakan ASEAN Business Outlook yang melibatkan 471 perusahaan di Asia Tenggara. Benang merah dari survei itu bahwa (1) korupsi masih menjadi pangkal hambatan untuk berbisnis, tetapi (2) optimisme mengenai prospek masa depan bisnis di kawasan ini masih cukup tinggi (John Bray & Frank Tsai, 2016).

Itulah menariknya, dan untungnya, pemerintah kita tetap fokus bekerja di tengah guncangan politik yang bertubi-tubi. Ini kabar gembira yang memberi kesejukan di tengah perang elite yang menakutkan. Korupsi politik pun makin berkurang, kecuali kasus lama yang kian hari kian terbongkar.

Prinsip "kerja, kerja, dan kerja" yang dikumandangkan Presiden Jokowi, lepas dari target kampanye politik 2019, adalah harapan. Ketika ada kekuatan menjadikan demokrasi sebagai kuda Troya untuk manipulasi yang jahat, masyarakat masih bisa merasakan arti demokrasi yang sesungguhnya melalui kerja nyata pemerintah. 
Sumber: Kompas, 21 Juli 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger