Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
POLITIK itu
kumpulan tanda tanya. Mungkin dan tak mungkin sering tak berbatas.
Emily
Schultheis dari CBN News (29/12/2016) pernah mengatakan, pertanyaan politik
terbesar abad ini, dalam konteks Amerika tentunya, "apakah fenomena Trump
akan mendunia?"
Schultheis
jelas menyentil kekakuan politik luar negeri Trump yang rada bipolar —meski bagi
Jokowi, seusai bertemu di sela pertemuan G-20 di Jerman, Trump punya bakat
melawak!
Sebuah dilema
Politik global
tampaknya dalam persimpangan yang kritis: memastikan demokrasi liberal sebagai
"akhir sejarah" pada saat benturan peradaban Huntingtonian menjadi
keniscayaan, atau membiarkan demokrasi bervariasi dalam praksis yang lokal dan
dalam konteks terbatas?
Dilema ini
tidak mudah. Di satu sisi, membiarkan hegemoni demokrasi liberal ibarat
melanggengkan perlawanan terhadap ketidakdilan struktural yang jadi dasar bagi
kaum radikal untuk menebar teror. Di lain sisi, membiarkan demokrasi dicangkok
menurut model kekuasaan lokal tak mengandung jaminan bahwa tirani berjubah
demokrasi tidak menjadi antitesis masa depan.
Kita mesti
jujur mengakui, ada banyak gerakan berjubah demokrasi yang sebetulnya bertujuan
antidemokrasi. Itulah yang disebut "jebakan demokrasi" oleh Graham
Fuller (1992). Dalam bingkai jebakan demokrasi inilah kita dihadapkan pada
deretan pertanyaan: Kenapa Perppu Ormas ditentang keras? Apakah fitnah bagian
dari kebebasan demokratik? Bagaimana bisa wakil rakyat melawan KPK?
Atas nama
demokrasi, orang bebas menebar fitnah dan teror. Institusi hukum terjebak dalam
dilema moral yang mendalam: bertindak terlalu agresif nanti dituduh melanggar
hak asasi manusia, tetapi kalau telat bertindak, mereka dituduh kecolongan dan
korban tak bisa dihindari.
Ormas
tertentu, diam-diam ataupun terbuka, sudah jelas melawan Pancasila. Ketika
negara membubarkan, meski dengan prosedur hukum dengan hanya memanfaatkan
sedikit kewenangan koersif, logika hak politik dan kebebasan sipil dijadikan
alibi. Padahal, ketika bom meledak dan banyak nyawa tak berdosa hilang, mereka
yang berteriak "hak demokratik" tidak bersuara sedikit pun.
Begitu pula
dengan fitnah yang makin menjadi-jadi. Bahkan, tanpa fitnah, politik an sich
justru kehilangan makna praktis pada dirinya. Akhir 2016, kita dikejutkan oleh
Jokowi Undercover, buku yang ditulis Bambang Tri Mulyono. Bobot ilmiah yang
begitu miskin membuat buku itu tak beda dengan propaganda hitam, seperti Obor
Rakyat yang gempar saat Pilpres 2014.
Anehnya,
begitu penebar fitnah diproses secara hukum, pemerintah dituduh arogan dan
otoriter. Padahal, sejak awal, semua filsuf —tidak hanya Hobbes
(1588-1679)— sepakat bahwa negara dibentuk untuk menjamin ketertiban sosial.
Kenapa? Karena manusia pada hakikatnya punya kecenderungan animalis untuk
saling memangsa.
Demokrasi dijadikan
kuda Troya tak hanya berlaku bagi kalangan radikalis yang ingin membangun
tatanan politik tanpa demokrasi. Para penebar fitnah dan pecundang politik pun
begitu.
Wakil rakyat
kita sekarang sibuk menggalang dukungan melawan KPK. Mereka protes dan menuduh
KPK telah merebut kewenangan para malaikat dalam menegakkan keadilan. Padahal,
masalahnya sederhana, solidaritas sebagai politisi terganggu setelah KPK
memenjarakan banyak kawan. Tentu persoalan hak angket KPK tidak sesederhana
itu. Setidaknya, kita tahu ke mana sungai mengalir.
KPK butuh
kritik, koreksi, dan pembenahan. Namun, membenahi KPK mesti didasarkan pada
motivasi dan disasarkan pada intensi yang positif. Yang ditakutkan,
"koreksi terhadap KPK" adalah jebakan untuk membunuh institusi
penegak hukum yang justru paling diandalkan sejak Reformasi 1998.
Bertamengkan
demokrasi
Kalau Graham
Fuller memakai istilah "jebakan demokrasi" untuk menggambarkan niat
busuk di balik jargon luhur para perusak demokrasi, saya justru melihatnya
berbeda. Ada upaya desepsi yang sistematis dan terukur dengan mengatasnamakan
demokrasi sebagai tameng.
Mereka yang
menolak Perppu Ormas, yang melawan KPK, dan yang menebar fitnah serta teror
adalah satu komunitas samar yang tidak terorganisasi dengan baik, tetapi tengah
memainkan manipulasi politik yang cenderung deseptif. Desepsi, sebagai istilah,
biasa digunakan dalam dunia intelijen, yaitu orang menyamar, melebur dalam
suatu komunitas, dan terlibat dalam jaringan untuk misi rahasia. Sebagai tema
sastra, desepsi juga kita jumpai dalam banyak novel atau film.
Tahun 1990,
ada novel bagus ditulis Philip Roth yang judulnya Deception.Novel ini sebagian
besar adalah percakapan Philip Roth dengan perempuan Inggris yang dinikahinya
dalam rumah tangga kelas atas yang krisis cinta. Mereka banyak bercakap sebelum
dan setelah bercinta. Ada kontras antara realitas hidup di luar ranjang dan di
atas ranjang karena lakon deseptif yang hebat dari tokoh Philip.
Demokrasi kita
hari ini mirip dengan alur novel ini. Ada banyak pembicaraan, dialog, silaturahim,
dan "islah", tetapi di balik layar, pertempuran tetap ganas dan
perangai politisi selalu saja bengis. Pilpres 2019 tak lama lagi. Siasat
semakin lihai. Desepsi semakin canggih. Demokrasi lama-lama tak bermakna lain
selain "sebuah desepsi".
Tahun lalu
(2016), ada survei yang diadakan ASEAN Business Outlook yang melibatkan 471
perusahaan di Asia Tenggara. Benang merah dari survei itu bahwa (1) korupsi
masih menjadi pangkal hambatan untuk berbisnis, tetapi (2) optimisme mengenai
prospek masa depan bisnis di kawasan ini masih cukup tinggi (John Bray &
Frank Tsai, 2016).
Itulah
menariknya, dan untungnya, pemerintah kita tetap fokus bekerja di tengah
guncangan politik yang bertubi-tubi. Ini kabar gembira yang memberi kesejukan
di tengah perang elite yang menakutkan. Korupsi politik pun makin berkurang,
kecuali kasus lama yang kian hari kian terbongkar.
Prinsip
"kerja, kerja, dan kerja" yang dikumandangkan Presiden Jokowi, lepas
dari target kampanye politik 2019, adalah harapan. Ketika ada kekuatan menjadikan
demokrasi sebagai kuda Troya untuk manipulasi yang jahat, masyarakat masih bisa
merasakan arti demokrasi yang sesungguhnya melalui kerja nyata pemerintah.
Sumber:
Kompas, 21 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!