Oleh Rendy Pahrun Wadipalapa
Pengajar pada Fakultas Ilmu
Sosial &
Ilmu Politik Universitas Airlangga
KETIKA surplus kekerasan dalam
rupa teror seperti menemui titik puncaknya belakangan ini, nyaris belum ada
sebuah kesepakatan politik yang cukup kuat sebagai bentuk komitmen penyelesaian
masalah itu.
Komitmen tak
bisa dicapai karena elite politik kita sedang disibukkan oleh kemelut lain
dalam dirinya: diskriminasi, rasialisme, radikalisme. Bagaimana publik harus
berharap atas keamanan nirteror jika akar-akar terorisme justru diberi angin
oleh kekuatan politik?
Aset
Salah satu
kekhawatiran besar adalah bahwa rangkaian unjuk massa, demonstrasi pernyataan
rasialis, dan opini-opini radikal yang berkali-kali terjadi adalah geladi resik
yang diterima sebagai persetujuan tidak langsung atas aksi terorisme. Iklim
sosio-politik seolah disiapkan sebagai ladang berlatih para kombatan teror.
Kebencian jadi alat baru dalam propaganda politik dan duplikasi atas strategi
ini coba diwariskan oleh elite kepada masyarakat di bawah.
Gejala
tersebut semakin memburuk ketika elite politik kita tak memberi resep apa pun
atas kecamuk kebencian yang telanjur melanda masyarakat. Kita justru dikacaukan
oleh keriuhan dalam dukung-mendukung dan saling berebut menafsirkan kebenaran.
Kebencian
tiba-tiba jadi teknologi politik populer yang didistribusikan secara kreatif
lewat saluran apa pun. Prasangka dikembangkan dan sikap ilmiah dibunuh secara
sengaja. Semua kearifan yang mengakar seperti dicabut paksa secara sengaja demi
meladeni tujuan-tujuan kekuasaan. Jika teror kini meruap di mana-mana, jangkar
kearifan yang dulu pernah dihidupi sebagai nilai bersama itu tak lagi bisa
menjaga kita. Egoisme politik mengambil alih persaudaraan antarmanusia.
Pada saat-saat
terlambat seperti ini, kita mulai menyadari aset utama itu telah pergi, justru
di waktu kita sungguh membutuhkan. Kita boleh bersyukur untuk sementara jika
aparat masih dapat menyediakan keamanan, tetapi situasi mencemaskan pada
politik yang penuh dengan benci harus segera diatasi.
Karena itu,
kesalehan dalam berpolitik adalah proyek besar ketika politik dan agama menubuh
jadi satu. Politik mungkin tak mewarisi jenis kelamin atau agama apa pun,
tetapi kualifikasi kesalehan dan moralitas kemanusiaan adalah hal universal.
Kualitas itu juga yang ada dalam tiap agama dan seharusnya jadi dasar normatif
bagi politik sekaligus menjaganya dari penyelewengan atas nama apa pun.
Menyatakan
sikap antiterorisme secara terbuka, tetapi pada saat yang sama masih
mendeklarasikan kebencian kepada manusia lain adalah suatu kemunafikan politik.
Kesalehan politik dibutuhkan dalam saat-saat genting seperti ini, yakni ketika
nilai jauh lebih dibutuhkan untuk menunjukkan bahwa masih ada masa depan yang
baik atas kekacauan hari ini.
Pertobatan
politik
Penting untuk
melacak genealogi kebencian yang kini hidup di tengah-tengah kita: sungguhkah
ia pertanda betapa kecemburuan sosial sudah memuncak dan tak lagi bisa ditahan?
Ataukah kemunculannya adalah pertanda dari kreasi elite untuk melunasi hasrat
kekuasaan?
Apa pun
jawabnya, kebencian itu sendiri adalah hal yang membuat generasi kita berutang
terlalu banyak kepada para pendiri bangsa ini. Tatkala para pendahulu kita
compang-camping mempertahankan negeri, generasi ini justru menghendaki putaran
balik dengan mengandalkan kebencian sebagai senjata.
Terorisme hanyalah
hasil penjumlahan dari semua bibit yang sudah kita tanam dan kita siangi
bersama-sama. Kombatan itu hanyalah pantulan dari kita yang sudah menggadaikan
semua kearifan yang kita punya demi gairah politik kita.
Negara harus
mau mengakui pula jika kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan belum optimum
dicapai. Utang masih tinggi, keadaan ekonomi belum sepenuhnya membaik.
Pendidikan belum merata mutunya dan peserta didiknya masih dibebani berjibun
tanggungan, materiil dan nonmateriil. Semua kemurungan itu berisiko menjadi
pelatuk kebencian dan karena itu menjadi rentan pula untuk dieksploitasi dan
dikonversi menjadi bahan baku paling penting dalam menggalang kekuasaan.
Bersamaan
dengan itu, mengharapkan pertobatan dalam politik kita juga hal yang sia-sia.
Tujuan kekuasaan melekat sebagai beban abadi yang dipanggul siapa pun yang
sudah berkomitmen dalam dunia politik. Tujuan ini terbukti menghalalkan segala
cara, betapa pun akan memunculkan risiko yang tidak pernah bisa diantisipasi
dengan kerusakan yang luar biasa. Ya, seperti terorisme yang hari-hari ini
melanda bangsa kita.
Sumber: Kompas, 22 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!