Oleh Ferdy
Hasiman
Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia
KOMISI Pemberantasan
Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah dua lembaga yang memiliki posisi
sama. Keduanya sama-sama lembaga tinggi negara. KPK dan BPK adalah lembaga
independen. Dua-duanya bebas dari intervensi pemerintah. Tugas DPR hanya
mengawasi kedua lembaga ini.
Kedua lembaga ini
memang kelihatan memiliki tugas berbeda, tetapi bisa saling mengisi. KPK
bertugas dalam ranah penegakan hukum dan menyelamatkan uang negara dari
korupsi, sementara BPK bertugas mengaudit keuangan negara, kementerian, lembaga,
dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota. BPK memiliki BPK daerah
(provinsi), sementara KPK tidak. KPK hanya di pusat. Kapasitas sumber daya
manusia sangat sedikit untuk menjangkau daerah. Namun, hasil audit BPK bisa
menjadi rujukan bagi KPK untuk menelusuri kasus korupsi pejabat negara
pusat-daerah.
Distorsi informasi
Hanya saja, publik
di Tanah Air mulai ragu terhadap kredibilitas audit BPK. Publik tak meragukan
kemampuan BPK melakukan audit, tetapi meragukan integritas para auditor. Di
daerah, misalnya, banyak sekali cerita publik mengungkapkan BPK kerap bermain
dalam melakukan audit keuangan negara. Banyak juga yang bercerita, auditor BPK
bisa dibayar sehingga banyak kabupaten/kota dan provinsi yang mendapat opini
wajar tanpa pengecualian (WTP) BPK, padahal kinerja sesungguhnya buruk.
Audit BPK kemudian
mengalami distorsi informasi dan moral hazard. Distorsi informasi artinya
informasi atau data yang diosodorkan BPK kerap dipakai politisi untuk menyerang
lawan politik yang belum tentu kebenarannya valid. Hasil audit BPK terhadap
Rumah Sakit Sumber Waras, misalnya, digunakan para politisi menyerang mantan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Padahal, tingkat akurasi audit BPK
belum tentu benar. Sementara moral hazard terjadi karena banyak sekali hasil
audit BPK hanya pesanan belaka. Kasus dugaan suap terkait opini WTP Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta pejabat eselon I
BPK adalah contoh paling jelas. Kasus itu menunjukkan BPK kerap memperdagangkan
opini WTP hanya untuk mengamankan sebuah institusi pemerintah agar bebas dari
penilaian buruk presiden dan publik.
Akibatnya, hasil
audit BPK tidak dapat digunakan sebagai parameter tata kelola kelembagaan atau
jalan-tidaknya reformasi birokrasi. Padahal, pemberian opini WTP kepada suatu
instansi pemerintah menunjukkan bahwa instansi itu memiliki standar akuntansi
dan tata kelola pemerintahan yang baik. Bagaimana bisa diterima akal sehat,
misalnya, Provinsi Sulawesi Tenggara selama kepemimpinan Gubernur Nur Alam
mendapat opini WTP tiga tahun berturut-turut (2013-2016), padahal Nur Alam
terindikasi korupsi dalam kasus pemberian izin konsesi nikel kepada PT Anugerah
Harisma Barakah di Kabupaten Buton dan Bombana sejak 2009. Kasus Nur Alam hanya
satu contoh bagaimana opini WTP BPK tak paralel dengan kinerja pejabat negara
yang masih korup.
Asimetri kekuasaan
Ekonom Joseph
Stiglitz mengatakan, distorsi informasi seperti ini sebagai asimetri informasi
atau informasi yang tak sejajar diterima publik sehingga publik hanya melihat
kepingan fakta yang tak valid kebenarannya. Asimetri informasi terjadi karena
ada pihak yang berusaha menyembunyikan data dan fakta. Ketidakjujuran dalam
mengungkap fakta menyebabkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan
yang baik macet. Hasil audit BPK juga menyebabkan kasus-kasus korupsi
disembunyikan dan sulit diusut. Stiglitz mengatakan, tidak ada asimetri
informasi tanpa adanya asimetri kekuasaan. Artinya kekuasaanlah yang membuka
ruang bagi BPK menghambat proses pencarian fakta. Apa yang dikatakan Stiglitz
ada benarnya. Berbagai kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan jual-beli opini
WTP oleh BPK seharusnya membuat DPR mengawasi lembaga ini agar terjadi
reformasi institusional. DPR seolah tak melihat ada masalah besar di BPK.
Padahal, korupsi
yang dilakukan pegawai BPK mewajibkan DPR melakukan evaluasi politik terhadap
institusi tersebut. Ini terjadi karena BPK lembaga independen yang syarat
kepentingan politis. Pemilihan pimpinan BPK dan KPK memang sama. Dua-duanya
dipilih DPR. Hanya saja, nuansa politis pemilihan pimpinan dua lembaga ini
berbeda. Pemilihan pemimpin BPK sangatlah politis. Sejauh yang penulis
perhatikan, selama dua periode terakhir, pimpinan BPK mayoritas berasal dari
kalangan politikus. Ketua BPK sekarang, Harry Azhar Azis, adalah politisi
Partai Golkar dan menjabat sebagai anggota Komisi XI sebelum memimpin BPK.
Selain Harry, masih
ada Achsanul Qosasi (Partai Demokrat) dan Rizal Djalil (PAN). Orang-orang ini
maju mencalonkan diri menjadi komisioner BPK karena sudah melihat peluang
mereka tak terpilih kembali dalam pemilu. Sebagai langkah politis mudah saja
mereka melobi partai dan sahabat-sahabat mereka di Komisi XI untuk memenangkan
pencalonan dalam pemilihan komisioner BPK.
Rekam jejak
pimpinan BPK berbeda dengan KPK. Hadi Purnomo, Ketua BPK periode 2009-2014,
terjerat kasus korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank
Central Asia (BCA) dalam posisinya sebagai Dirjen Pajak 2002-2004. Harry Azhar
juga masuk dalam kasus Dokumen Panama (Panama Papers) dan punya perusahaan di
negara bebas pajak.
Sementara pemilihan
pimpinan KPK agak berbeda. Sejak dibentuk pada 2003, calon pemimpin KPK selalu
berasal dari orang-orang independen yang tidak memiliki kepentingan apa pun
selain menegakkan hukum. Sebut saja Taufiequrachman Ruki, Antasari Azhar,
Abraham Samad, dan Agus Rahardjo. Nama-nama ini awalnya biasa saja. Akan
tetapi, setelah menjalankan tugas penegakan hukum, mereka pun menjadi terkenal
karena keberanian memberantas korupsi tanpa tebang pilih.
Sejak berdiri, KPK
sukses meringkus 119 anggota DPR-DPRD yang terjerat korupsi. KPK juga sukses
menangkap 15 gubernur dan 50 wali kota korup. KPK sukses menangkap pejabat
negara yang terjerat kasus korupsi. Contohnya, Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini
dalam kasus suap dan operasi tangkap tangan terhadap mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar dengan modus sama, yakni menerima suap pada beberapa
tahun silam.
Penguatan KPK dan
BPK
KPK adalah salah
satu lembaga penegak hukum yang masih dipercaya rakyat. Kerja KPK sudah
menunjukkan hasil walaupun belum maksimal. Satu per satu korupsi yang
melibatkan pejabat-pejabat negara, termasuk dari lembaga penegak hukum,
terbongkar. Secara nasional, kerja KPK membangkitkan harapan akan berakhirnya
korupsi di Indonesia.
Keberhasilan KPK
tidak saja terjadi karena kredibilitas orang-orang yang duduk di dalamnya,
tetapi juga karena wewenang dan perangkat kerja yang dimiliki lembaga itu. KPK,
misalnya, berwenang melakukan penyadapan; sebuah wewenang yang sangat efektif
mengungkap tipu daya korupsi para pejabat negara. KPK juga memiliki kewenangan
melakukan penyidikan setara kepolisian dan kejaksaan sehingga mampu mengatasi
korupsi sistemik di kepolisian dan kejaksaan.
Sayangnya, wewenang
penyadapan oleh KPK hendak ditiadakan oleh politisi korup dan picik. DPR sedang
berkomplot mengamputasi peran KPK melalui pembentukan panitia angket. Melalui
angket, politisi Senayan ingin mengubah prosedur operasi di KPK dan revisi UU
No 30/2002 tentang KPK. Padahal, dengan kewenangan ini, KPK bisa membongkar deal
gelap politisi dengan pengusaha dan mampu mengontrol kinerja DPR yang kerap
melakukan deal gelap di rapat anggaran untuk menghabiskan uang negara.
Pembentukan panitia
angket oleh DPR tidak urgen. Hal yang paling urgen dilakukan DPR adalah melakukan
penguatan terhadap kerja KPK. Kerja KPK menjadi begitu tinggi akibat
bertubi-tubinya korupsi di pemerintahan pusat-daerah. Namun, kapasitas
personalia, anggaran, dan jangkauan kerja KPK tak memadai untuk benar-benar
memberantas korupsi sampai ke seluruh negeri ini. DPR sebagai wakil rakyat
seharusnya melakukan penguatan terhadap KPK, bukan melemahkan KPK.
Yang paling urgen
juga dilakukan DPR adalah melakukan evaluasi politik terhadap BPK agar kinerja
lembaga audit negara tersebut bisa bermanfaat banyak bagi reformasi birokrasi
dan penataan kelembagaan publik pascareformasi. Proses seleksi pansel BPK harus
dilihat ulang. Syarat-syarat menjadi pemimpin BPK harus nonpartisan, tidak
terlibat dalam politik selama beberapa tahun, dan profesional. Jika diperlukan,
auditor independen penting sebagai pembanding audit BPK.
Sumber: Kompas, 10
Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!