Oleh Rony K Pratama
Peneliti
Pendidikan Literasi Yogyakarta
SENJA kala aktivitas kliping bagi siswa SD
ditandai sejak teknologi daring mengemuka ke kehidupan. Mengkliping suatu
berita dipandang tak lagi relevan bagi pendidikan modern. Ia dinilai tak lagi
efektif sebagai salah satu materi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sikap ini
muncul tatkala orientasi pengajaran guru berubah dari manual ke digital.
Konsekuensi logisnya, antara lain, acap kali berhulu pada menampik kelampauan
dan mengunggulkan kedepanan. Dengan kata lain, pelajaran kliping dianggap usang
bagi pendidikan anak.
Anggapan
skeptis ihwal kegiatan kliping di sekolah perlu ditinjau kembali. Pada awal
2000, kliping masih digiatkan sebagai tugas siswa di rumah. Namun, ia mulai
hilang dalam pelajaran sekolah bersamaan dengan viralnya penggunaan internet.
Karena itu, kurikulum pendidikan dihela dan diarahkan ke pelbagai kegiatan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dalam jaringan.
Sejak itu pelajaran kliping hilang dari kelas.
Mengkliping
berita dari koran ataupun majalah bukan sekadar aktivitas gunting-menggunting,
melainkan juga disiplin literasi. Yang terakhir ini tak banyak disadari para
guru dan pengambil kebijakan di ranah regulasi pusat. Pertama, kompetensi
literasi dewasa ini selalu dipandang dan dikaitkan secara virtual. Kedua,
berkaitan poin sebelumnya, pelajaran bahasa hendaknya diorientasikan pada
literasi digital karena konteks zaman: menginduk di bawah jagat maya.
Realitas
menunjukkan, kecakapan literasi tak hanya masalah cepat dan praktis, tetapi
juga kritis dan komprehensif. Dua variabel terakhir kerap diabaikan pendidikan
literasi modern tingkat dasar. Sementara itu, pada implementasinya, pelajaran
kliping —indikator yang dituju— ialah mendidik siswa agar tajam daya
kognitifnya terhadap informasi yang dikumpulkan. Sebab itu, ia harus teliti
memilah dan memilih berita dalam satu tema secara sistematis dan logis.
Peta konsep
Mengajarkan
dan memahamkan merupakan dua konsep pendidikan yang berbeda. Butir pertama
berkaitan dengan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Butir kedua cenderung
mendidik siswa menyelami sendiri secara empiris. Dalam terminologi yang
dikenalkan Ki Hadjar Dewantara seabad lalu, yaitu ngerti, ngroso, nglakoni, titik penekanan proses
"memahamkan" berada pada nglakoni.
Ia membutuhkan keaktifan siswa secara mandiri. Di sini urgensi pelajaran
kliping.
Pertama, modal
utama aktivitas kliping adalah mengetahui (ngerti)
batasan tema tertentu. Guru berposisi sebagai fasilitator yang membebaskan
pemilihan topik. Tahap awal tersebut mengajarkan siswa peka terhadap obyek
kliping. Selain itu, daya kritis mempertautkan berita satu dan yang lain secara
tak sadar membentuk pengetahuan siswa akan kesadaran intertekstual—warta satu
dan lain saling bertalian.
Kedua,
keterampilan mengaitkan antarinformasi tanpa keinsafan personal (ngroso) sudah barang tentu akan sia-sia.
Oleh karena itu, diperlukan kelantipan hati dalam penyusunan kliping sebab ia
merupakan bagian dari seni yang sarat estetika. Warta yang baik dan benar
memang diperlukan, tetapi ia harus memenuhi syarat indah. Dengan demikian,
kliping yang bernilai seni —memenuhi syarat baik, benar, dan (sekaligus) indah—
itu niscaya mudah dimengerti dan digemari pembaca umum.
Ketiga, jika
butir pertama dan kedua dilakukan dengan baik, siswa akan belajar bagaimana
memetakan informasi secara konseptual. Karena itu, esensi nglakoni (melakukan) dalam kegiatan mengkliping merupakan bentuk
proses pendidikan manual yang melibatkan tiga aspek elementer model
pembelajaran modern: kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiganya sebetulnya
sudah digagas lama oleh Bapak Pendidikan Indonesia itu.
Pada tataran
makro, pelajaran kliping seyogianya direvitalisasikan ke dalam kegiatan belajar
siswa sekolah dasar. Ia merupakan metode lama yang masih relevan bagi
pengembangan kecakapan literasi siswa. Kreativitas guru dalam mengajarkan seni
mengkliping niscaya dibutuhkan demi menarik antusias siswa.
Di satu sisi,
aktivitas mengkliping juga termasuk pelajaran produktif berbasis karya. Ia
mengajarkan betapa berartinya mendokumentasikan sesuatu, terlebih pengetahuan
tertulis. Abai terhadap ilmu merupakan degradasi sistematis menuju kehancuran
peradaban. Bukankah bangsa besar selalu cakap membaca dan menulis sejarah?
Setelah Jassin
tak ada
Menengok
pendahulu, berarti merefleksikan ketercapaian mereka. Generasi milenial perlu
merekonstruksi pemikiran dan keuletan HB Jassin. Ia "bapak literasi"
yang dimiliki Indonesia meski sepanjang hidupnya kerap tak diacuhkan
masyarakat. Sinisme terhadapnya, di satu sisi, adalah bentuk penampikan hasil
kerja literasi. Di sisi lain, sikap demikian membawa pada generasi "buta
ilmu pengetahuan".
Sosok Jassin
sebagai pekerja literasi patut direlevankan kembali di sekolah dengan tak
sekadar menghafal namanya, tetapi juga menenun perjuangannya dalam jagat
kliping selama setengah abad. Karena itu, pelajaran kliping atau pendidikan
literasi adalah meneroka kehidupan Jassin, baik dari sisi personalitas maupun identitas.
Namun, pendidikan dewasa ini hanya berjibaku pada simbol, sebagaimana
pengultusan Jassin sebagai Paus Sastra, tetapi menutup mata pada keuletan dan
perjuangan hidupnya.
Sumber: Kompas, 15
Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!