Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM, Tasikmalaya
OPEN
house, halal bi halal atau silaturahmi intinya sama adalah upaya mengokohkan
tali persaudaraan. Kegiatan ini biasanya diselenggarakan selepas lebaran. Acara
seperti ini bagus sebagai siasat saling memahami untuk pada gilirannya bisa
berempatik dan dapat menghargai satu sama lain.
Open house
bukan hanya memiliki pijakan religius namun juga sudah menjadi bagian dari
upacara kultural leluhur kita. Sekeras apa pun permusuhan dan ketegangan selalu
ada jalan keluar untuk mengurainya. Pemecahan masalah lewat kebersamaan dan
bekerjasama jauh lebih mudah ketimbang dicarikan jalan keluarnya secara
sendiri-sendiri. Maka tidak heran kalau sila keempat Pancasila itu berbicara
tentang musyawarah mufakat dalam terang hikmah kebijaksanaan. Bahkan Bung Karno
menyebut Pancasila itu intinya ekasila: gotong royong. Bhineka Tunggal Ika yang
dianggit dari narasi silamnya Empu Tantular abad 14 juga berbicara dalam roh
yang sama.
Konteks Islam
Pada abad 18,
di Mesir, rumah-rumah bangsawan Mamluk setelah dikuasai Kesultanan Turki
Ustmani selalu menjadi tempat berkumpulnya masyarakat. Para Elite Mamluk itu
membuka lebar-lebar pintu rumahnya untuk menampung keluh kesah massa sekaligus
mempercakapkan tindakan para politikus Turki Ustmani dan merancang kemungkinan
jalan politik ke depannya.
Suara-suara
rakyat itu kemudian ada yang disalurkan langsung kepada penguasa sah dan
sisanya dijadikan sebagai bahan pemikiran bersama mencari solusi dalam
membangun kanal-kanal politik yang bisa mempercepat hadirnya kesejahteraan
publik tanpa harus terus tergantung kepada penguasa.
Memunculkan
potensi dan menggali motivasi dari pribadi masing-masing warga jauh lebih baik
ketimbang terus menerus tergantung kepada negara, tidak henti menggantungkan
hidup pada subsidi dan belaskasih penguasa.
Dalam tradisi
kenabian kebiasaan open house itu lebih mengaggumkan. Nabi menampilkan dirinya
tidak sebagai “penguasa” tapi lebih sebagai pelayan umat. Rumahnya tidak
dibangun di atas hamparan istana yang megah, tapi menyatu dengan masjid dan
setiap saat dapat ditemui para sahabat dan rakyatnya dari berbagai golongan
tanpa birokrasi berbelit-belit. Bahkan bukan massa yang seringkali menyapa tapi
justru Nabi yang acapkali bertanya terlebih dahulu tentang berbagai kabar
termasuk langsung menjenguk si sakit ketika disampaikan berita bahwa seorang
Yahudi yang sering mencaci Nabi dan melempari dengan kerikil terbaring di rumah
sakit.
Dalam konteks
kerajaan-karajaan Nusantara salah satu kelebihan para kyai dibandingkan
raja-raja adalah kedekatannya dengan rakyat yang seringkali menimbulkan iri
para raja. Maka ketika para kyai menyerukan jihad terhadap kaum kolonial,
suaranya didengar dan massa dengan cepat berhimpun secara solid.
Istana negara
Kalau hari ini
kelompok bersebarangan dengan pemerintah GNPF-MUI, diterima Presiden Joko
Widodo di Istana Negara tidak perlu ditanggapi berlebihan. Biasa saja. Apalagi
seandainya mereka datang dengan maksud lurus duduk bersama hendak mencari
solusi berbagai masalah baik yang berhubungan dengan kebangsaan atau pun
keumatan.
Peristiwa
Pilkada DKI Jakarta yang telah menguras energi bangsa dengan memainkan politik
identitas dan telah memecah belah rakyat dalam dua kelompok saling berhadapan,
ke depan harus sudah dipikirkan untuk dihentikan. Cara-cara kampanye pilgub
Jakarta semestinya dijadikan yang pertama dan terakhir kali. Bagaimanapun
sentimen partisan suku, agama dan ras ketika dijadikan amunisi untuk meraih
tampuk kekuasaan sangat mudah membangkitkan amarah dan tidak menutup
kemungkinan berujung pada konflik berdarah-darah. Musim semi Arab yang telah
merontokkan negara-negara Timur Tengah salah satu pemicunya adalah
ketidaksangupan rakyat dan para penguasa mengelola sentimen-sentimen picik
seperti itu.
Motif politik
Tentu saja
siapa pun paham, dan setiap orang bisa menafsirkan kedatangan GNPF-MUI dari
berbagai perspektif. Termasuk juga menafsirkan langkah politik Presiden Joko
Widodo yang bersedia menerima kelompok itu bersama-sama dengan wapres HM Jusuf
Kalla.
Istana itu
lambang kekuasaan tertinggi, maka wajar orang menghubungkan tidak hanya pada
panggung depan bahwa kedatangan semua kelompok masyarakat itu sebagai bagian
membangun kohesi sosial, tapi juga panggung belakang bisa diinterpretasikan
sebagai satu cara menghitung (merangkul) kekuatan lawan untuk kepentingan
Pilpres 2019. Jokowi, meminjam istilah seniman Mas Nanu Muda, menggunakan
strategi politik Jeprut. “Akibat tarik menarik yang kuat, layang-layang lawan
dikenyedkeun benangnya, sehingga layang-layang beserta benangnya putus lepas
dari induknya, bersamaan dengan itu maka putuslah benang atau tali tersebut,
dan terbanglah melayang-layang tak tahu arahnya ke mana terbangnya serta di
mana nyangkutnya”. Atau dalam ungkapan pelukis Tisna Sanjaya mungkin semacam
politik yang selalu, “Lebur dan rileks dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Mewadahi ragam kemungkinan”.
Seandainya
GNPF-MUI menyebut pertemuan itu, seperti disampaikan Bachtiar Natsir di Youtube
setelah pertemuan dengan Presiden Jokowi, sebagai pertemuan-pertemuan untuk
menunjukkan kehebatan GNPF-MUI yang ditandai dengan “keberhasilan” menjebloskan
Ahok ke penjara bahkan juga mengatakan bahwa GNPF tidak pernah meminta bertemu
Jokowi dan pernyataan-pernyataan “panas” lainnya, karena sejak awal langkah mereka
sama sekali tidak melambangkan harakah keagamaan layaknya Nahdatul Ulama,
Muhamadiyah, Mathlaul Anwar tapi lebih kepada gerakan politik non partai yang
menumpang isu agama untuk kepentingan pragmatisme politik sesaat.
Tentu tema
yang diusung adalah aspirasi umat. Umat yang mana? Tidak perlu dijawab namanya
juga hanya atas nama. Agama sebagai pasar yang riuh. Berlimpah semangat
menggiring orang arak-arakan tapi tak punya kehendak menata aspek penghayatan
dan sikap lapang. Wallahu’alam.
Sumber: Tribun Jabar, 4 Juli 201
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!