Oleh Indriyanto Seno Adji
Guru Besar Hukum Pidana &
Pengajar Program Pascasarjana Studi Ilmu Hukum UI
PADA Rabu, 19 Juli 2017, pemerintah secara resmi membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia.
Penerbitan Perppu No 2 Tahun 2017 atas Perubahan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan seolah menandai arah polemik sistem negara khilafah. Penerbitan perppu ini sekaligus juga mengubah wajah UU No 17 Tahun 2013, dari yang semula terkesan regulasi administratif, menjadi campuran dari administrative penal law berbasis awal aturan preventif, dalam rangka penanggulangan terhadap ancaman kedaulatan negara.
Meskipun demikian, ada kekhawatiran dari sebagian kalangan bahwa penerbitan perppu akan mengancam HAM, khusunya kehidupan berdemokrasi, kebebasan berserikat, berkumpul dan, mengeluarkan pendapat.
Revisi UU Ormas membutuhkan payung hukum, dengan memberi keseimbangan antara faset hukum pidana dengan hukum administrasi negara dan hukum tata negara. Hal ini karena ada dua kutub kepentingan yang harus dilindungi: penegakan hukum atas kedaulatan negara dan penghargaan atas HAM. Secara universal, ancaman kedaulatan negara adalah kejahatan serius, kejahatan luar biasa yang menuntut kebijakan dan kewenangan negara yang imperatif, keharusan tak tertunda untuk memberi jaminan keamanan masyarakat dan nasional.
Dengan demikian, perppu ini dibuat dengan pendekatan preventif. Untuk itu, perlu perhatian serius dalam pembahasannya. Pertama, filosofi penerbitan perppu ini berlandaskan alasan perlunya menjaga kedaulatan negara berdasarkan sistem Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai NKRI. Bangsa dan negara ini telah berkonsensus dan menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945. Menurut Prof Moh Mahfud MD, kesatuan dalam pluralisme dalam negara Pancasila adalah suatu keniscayaan bagi bangsa kita.
Ancaman separatisme, radikalisme lokal ataupun global yang menolak sistem Pancasila untuk memecah kebinekaan NKRI tentunya sangat mengganggu dan mengancam kedaulatan negara. Ancaman seperti itu merupakan kejahatan serius dan luar biasa. Dalam relasinya dengan hukum pidana darurat (strafnoodrecht), kejahatan itu dikategorikan secara universal dalam karakter "the principles clear and present danger" (sesuai asas keadaan bahaya yang nyata dan ada) sehingga aturan yang eksepsional sifatnya, dibenarkan.
Dalam alam demokrasi, karakter hukum yang memberikan pengakuan adanya suatu bahaya yang nyata dan ada justru regulasi yang bersifat preventif dan menjadi basis yang diutamakan.
Bentuk perppu ini bisa saja mengundang kritik dan bersentuhan dengan isu HAM. Namun, dalam hal ini, mengurangi HAM dengan pertimbangan yang dapat dibenarkan, yakni terkait kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara yang dihadapkan pada ancaman kedaulatan negara, atau bertentangan dengan eksistensi sistem negara Pancasila dan UUD 1945. Apalagi bila kegiatannya dianggap kejahatan serius dan luar biasa. Dalam kondisi tersebut, dapat diberlakukan suatu langkah luar biasa di bidang hukum, dan bukan untuk kekuasaan politik sesaat.
Sanksi berbasis HAM
Kedua, pendekatan preventif dan persuasif melalui sarana hukum administrasi merupakan salah satu pertimbangan untuk perlindungan HAM.
Penerapan Pasal 61 Ayat 1 huruf c Perppu Ormas (pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum) adalah sesuai dengan asas contrarius actus dalam hukum administrasi negara yang membenarkan badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan keputusan tata usaha negara. Dengan sendirinya, badan atau pejabat tata usaha negara itu juga berwenang membatalkan (mencabut), dan tetap menempatkan keberatan ormas untuk menggunakan upaya hukum melalui peradilan administrasi (tata usaha negara) dan MK.
UU Ormas tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya cara mencegah ormas yang kegiatannya bertentangan dengan sistem negara Pancasila dan UUD 1945 sebagai tonggak tak tertawar dari NKRI. Diperlukan sarana legalitas lain untuk mencegah tindakan anti-Pancasila yang lebih komprehensif, melalui pendekatan preventif, yang terarah sesuai sistem peradilan pidana.
Sebagai produk administrative penal law yang bersifat preventif, perppu menempatkan Bab XVIIA Ketentuan Pidana pada Pasal 82A. Artinya, hukum pidana tetap digunakan dan dapat diupayakan sebagai sarana hukum yang terakhir (ultimum remedium), selain pendekatan sanksi administratif. Lagi pula, dalam hal ormas sebagai badan hukum dibubarkan, pendekatan pertanggungjawaban dibebankan pada operasionalisasi pengurus yang menjadi representasi badan hukum tersebut.
Sebenarnya, Perppu Ormas ini tidaklah berpedoman pada penambahan ataupun pengurangan pasal pada UU Ormas, tetapi lebih memaknai filosofi pokok dan tujuan perppu, yaitu kebijakan dan strategi nasional menghadapi realitas dan kegiatan ormas —yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, bahkan yang dapat berdampak mengancam kedaulatan negara— melalui pendekatan pencegahan.
Perppu ini sama sekali tak memberi batasan terhadap kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat karena karakter berdemokrasi ormas tetap terjaga sesuai asas konstitusionalitas. Perkecualian dari konvensi ataupun doktrin terhadap kebebasan berpendapat dan informasi dapat dibenarkan antara lain dalam hal ada pelanggaran terhadap keamanan nasional, kedaulatan, dan martabat negara (national security, sovereignty and dignity of state).
Ketiga, hampir semua negara dengan sistem common law ataupun civil law juga mengatur sifat eksepsionalitas dari segala bentuk perbuatan yang berdampak pada keamanan dan kedaulatan negara, termasuk mengubah sistem ketatanegaraan yang inkonstitusional. Dari pengamatan terhadap keterkaitan hukum tata negara (isu HAM) dan hukum pidana (isu penegakan hukum), Perppu Ormas ini justru menghindari peran dan fungsi penegakan hukum dari norma-norma tersamar yang dapat memberi kesan adanya penyimpangan atas perlindungan HAM.
Tentunya perppu ini tak dimaksudkan untuk mengembalikan makna pemberantasan subversif yang lebih berlatar belakang politik (praktis), yang dipergunakan secara tidak demokratis. Perppu ini diharapkan dapat memberikan kewenangan kepada negara/penegak hukum untuk mencegah kegiatan-kegiatan ormas yang diduga kuat berdasarkan hukum merupakan tindakan administratif dan atau pidana yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Bagi Perppu Ormas, deteksi dini yang bertanggung jawab membenarkan prinsip nemo est supra leges: tak ada satu pun ormas yang berada di atas hukum!
Sumber: Kompas, 26 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!