Headlines News :
Home » » Freeport dan Ujian Kedaulatan

Freeport dan Ujian Kedaulatan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 14, 2017 | 10:47 AM

Oleh Ferdy Hasiman
Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan melakukan kunjungan ke Amerika Serikat, 22-28 Juli 2017. Dalam kunjungan itu, Jonan  menggelar pertemuan dengan sejumlah perusahaan, termasuk Freeport McMoRan, induk usaha PT Freeport Indonesia.

PT Freeport Indonesia (FI) saat ini sedang dalam proses renegosiasi kontrak dengan tim yang dipimpin Kementerian ESDM. Renegosiasi yang sedang berlangsung terkait perpanjangan kontrak, pembangunan smelter, dan divestasi 51 persen saham ke pihak nasional. Publik berharap dalam kunjungan ini Jonan bisa mencapai kesepakatan dengan pihak Freeport.

Berdasarkan laporan  tim renegosiasi, Freeport sepakat memperpanjang kontrak hanya sampai 2031 (bukan 2041) dan membangun smelter tembaga dengan investasi 2,3 miliar dollar AS di Gresik, Jawa Timur. Hanya saja, Freeport belum sepakat mendivestasikan 51 persen saham.

Divestasi 51 persen saham PT FI merupakan ujian berat bagi kedaulatan Pemerintah RI atas korporasi tambang yang merampas kekayaan alam Indonesia. Pemerintah telah menginstruksikan Freeport Indonesia agar mengonversi kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan kewajiban mendivestasikan 51 persen saham ke pihak nasional; pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta nasional.

Namun, Freeport tetap ingin menjadi pemegang saham mayoritas di tambang Grasberg di Papua. Freeport hanya ingin mendivestasi 30 persen saham ke pihak nasional. Padahal, divestasi 30 persen saham Freeport adalah amanat  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014, yang dikeluarkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono untuk mengurai kemacetan renegosiasi kontrak yang sudah berlangsung sejak 2012.

Dengan pemberlakuan PP No 1/2017 tentang Mineral dan Pertambangan, secara otomatis PP No 77/2014 tidak bisa dijadikan rujukan lagi dalam divestasi. PP No 1/2017 tentang Mineral dan Pertambangan mewajibkan Freeport mengalihkan KK menjadi IUPK.

Perubahan status ini adalah perintah UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan (Minerba). Pasal 169b UU itu menginstruksikan agar pemerintah melakukan renegosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan tambang dalam rezim KK. Itu artinya, rezim KK harus berubah menjadi rezim izin usaha pertambangan (IUP). Tambang pada rezim IUP dikeluarkan oleh bupati/wali kota dan gubernur. Sementara IUPK masih dikontrol pemerintah pusat karena dianggap aset vital dan strategis.

Rezim KK mengacu pada UU No 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU ini lahir pada zaman Orde Baru dan dianggap sangat liberal. Posisi korporasi dan pemerintah dalam rezim KK itu sejajar. Akibatnya, pemerintah tak bisa menuntut banyak terhadap korporasi, termasuk menaikkan pajak dan royalti. KK kemudian dianggap melanggar konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan tambang strategis harus dikendalikan negara untuk kesejahteraan rakyat.

Divestasi dan kedaulatan

Meskipun demikian, divestasi 51 persen saham Freeport tetap menjadi opsi yang paling sulit. Sulit karena divestasi Freeport melibatkan kepentingan pengusaha global-lokal. Tambang Grasberg merupakan barang mewah dan memiliki masa depan cerah. Cadangan tembaga mencapai 32,7 miliar pounddan emas 33,7 juta ons.

Tambang Grasberg memiliki total aset sangat besar. Per 2015, total aset tambang  Grasberg mencapai 8.626 miliar dollar AS. Grasberg merupakan salah satu tambang paling menguntungkan di dunia. Tahun 2014 masih menikmati laba bersih 3,98 miliar dollar AS dan 2013 mencapai 3.441 miliar dollar AS. Sejak 2014 sampai sekarang laba Freeport tergerus. Tahun 2014, misalnya, minus 745 juta dollar AS karena kebijakan pelarangan ekspor mineral.

Namun, itu bukan berarti tambang Grasberg tak potensial lagi. Tambang Freeport di Grasberg adalah tambang dengan prospek dan masa depan cerah. Selama KK kedua ini Freeport menambang di tambang terbuka (open pit) yang memiliki cadangan hanya 7 persen dari total cadangan Freeport. Sementara 93 persen sisanya ada di tambang bawah tanah (underground) yang akan mulai berproduksi komersial tahun 2017. Freeport telah membangun The Deep Ore Zone (DOZ), tambang bawah tanah terbesar di dunia, dengan kapasitas 80.000 metrik ton biji per hari.

Sementara dari tambang underground Blok Cave Grasberg, Big Gosan, dan DMLZ dalam perkiraan kasar akan menghasilkan 24.000 metrik ton per hari mulai 2017. Jika Freeport sudah membangun pabrik pemurnian (smelter) dalam negeri, tambang underground adalah andalan dan menjadi sumber uang bagi perusahaan itu.

Potensi tambang yang besar itu tentu membuat pengusaha lokal-global ramai-ramai mengincar saham Freeport. Di tingkat global, AS sebagai negara asal Freeport tentu tak ingin tambang Grasberg diserahkan ke pihak domestik karena akan mengurangi pajak bagi negara itu. Kontribusi Grasberg terhadap induk usaha Freeport McMoRan (FCX) sangat besar.

Pada akhir 2015, jika digabung penjualan emas dan tembaga, PT FI menghasilkan pendapatan 3,11 miliar dollar AS pada akhir 2015. Tambang Grasberg berkontribusi sangat besar terhadap FCX dibandingkan dengan tambang FCX di Morenci, Bagdad, dan Miami (Amerika Utara) atau tambang tembaga Cerro Verde (Peru) dan El Abra (Cile). Saya kira, salah satu agenda terpenting kedatangan wakil presiden AS ke Indonesia pada 20 April 2017 lalu adalah mengamankan nasib Freeport.

Selain itu, masih ada kepentingan pengusaha global secara individual dalam divestasi Freeport. Carl Icahn, staf khusus Presiden AS Donald Trump pasti memiliki kepentingan besar mengamankan Freeport. Icahn mengendalikan 7 persen saham Freeport McMoRan dan tercatat  sebagai pemegang saham terbesar. Apalagi Trump memiliki sahabat di DPR RI dan salah satu pengusaha besar yang pada Pilpres 2014 dan Pilkada 2017 berada di kubu lawan dari Presiden Jokowi.

Bisa jadi, kepentingan Freeport ini menyusup masuk ke kubu oposisi. Jika tak jeli membaca pemetaan ini, posisi Jokowi bisa terjepit. Barangkali itulah sebabnya mengapa eksekusi divestasi 51 persen saham Freeport kemudian melambat, padahal awal-awalnya sangat gencar. Jadi, ujian berat bagi pemerintah yang pertama adalah bagaimana melawan ujian dari luar, yaitu melawan hegemoni Amerika dan kedigdayaan korporasi asing.

Sementara pada tingkat nasional, pemerintah dihadapkan ujian berat berhadapan dengan pengusaha lokal yang  menempel seperti benalu dalam pemerintahan Jokowi. Divestasi Freeport menjadi rebutan perusahaan-perusahaan BUMN, pemda Papua, dan pengusaha lokal. Pengusaha lokal akan bersaing dengan kekuatan korporasi negara (BUMN) dalam perebutan saham Freeport, tergantung kekuatan politik masing-masing untuk menaikkan nilai tawar kepada pemerintah. Bisa juga pengusaha lokal masuk melalui pemda Timika dan Pemprov Papua, seperti terjadi pada divestasi saham perusahaan tambang lain di Indonesia.

Kepungan pengusaha lokal untuk menguasai pertambangan strategis di Tanah Air bukan tanpa rujukan. Tambang emas dan tembaga Batu Hijau, yang dulu dikuasai Newmont Nusa Tenggara, sekarang berpindah tangan ke pengusaha lokal Medco Group. Medco melalui PT Amman Mineral menguasai 82,2 persen tambang potensial di Sumbawa Barat, NTB, itu. Padahal, Newmont sebelumnya masih terlibat dalam renegosiasi kontrak dengan pemerintah pusat, tetapi di tengah jalan Medco sukses melakukan lobi bisnis dengan pemerintah dan akhirnya mampu mengontrol saham Newmont.

Contoh lain, tambang emas dan tembaga Martabe di Batang Toru, Sumatera Utara, yang dulu dikontrol perusahaan Kanada, G-Resources. G-Resources menjual tambang Martabe kepada Djarum Group dan Wilmar Group di tengah renegosiasi dengan pemerintah. Dua contoh ini menunjukkan bagaimana pemerintah memberikan konsesi pertambangan strategis ke pengusaha lokal. Publik perlu memantau, jangan sampai renegosiasi panjang dengan Freeport memiliki nasib sama dengan tambang Batu Hijau dan Martabe, hanya dengan alasan negara tak punya uang untuk membeli.

Bagi warga Papua, Freeport adalah perusahaan yang tidak hanya merampas emas dan tembaga, tetapi juga merusak lingkungan, penyebab konflik sosial, dan pelanggaran HAM. Pemerintah pusat selama ini, oleh orang Papua, dianggap membantu dan memfasilitasi perampasan kekayaan alam Papua. Kita tak ingin pertambangan Grasberg jatuh ke dalam genggaman pengusaha lokal yang memiliki tabiat sama dengan korporasi global, merampas kekayaan alam berlebihan, merusak lingkungan, dan deforestasi.

Keuntungan dari divestasi

Presiden harus memiliki kehendak baik agar negara mendapat keuntungan dari divestasi. Presiden tak boleh membiarkan tambang strategis jatuh ke tangan pengusaha lokal dengan cara-cara terdahulu.

Jika memang harus diserahkan kepada pihak nasional, divestasi 51 persen saham Freeport harus diserahkan ke perusahaan BUMN. Di sektor minyak dan gas, misalnya, pemerintah Jokowi sukses memberikan pengelolaan blok Mahakam (Kalimantan Timur) kepada perusahaan negara, PT Pertamina.

Mudah-mudahan blok Mahakam bisa menjadi acuan agar pertambangan strategis bisa diserahkan kepada perusahaan milik negara. Perusahaan-perusahaan BUMN pertambangan perlu membentuk holding dipimpin PT Inalum untuk mengakuisisi saham Freeport agar BUMN menjadi andalan di masa mendatang.

Divestasi 51 persen saham Freeport ke perusahaan BUMN itu penting dalam rangka mencegah eksplorasi sumber daya alam berlebihan. Eksplorasi emas dan tembaga di Grasberg harus juga memperhitungkan kerusakan hutan, lingkungan, dan lebih memberikan rasa keadilan bagi warga Papua.  
Sumber: Kompas, 14 Agustus 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger