Oleh Maksimus Ramses Lalongkoe
Pengamat Politik &
Dosen
Universitas Mercu Buana, Jakarta
KEHADIRAN Presiden ke-6 RI Susilo Bambang
Yudhoyono pada HUT ke-72 kemerdekaan RI di Istana Merdeka, bilangan Merdeka
Utara, pekan lalu, tidak dapat dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja.
Kehadiran presiden dua periode itu mengirimkan kabar gembira ke seluruh penjuru
negeri ini. Kehadiran SBY juga seolah ‘menutup’ seluruh rangkaian acara HUT
ke-72 RI yang dihadiri Megawati, BJ Habibie, Try Sutrisno, pimpinan parpol, dan
tamu undangan serta berbagai kalangan dan latar belakang itu. Lalu mengapa
kehadiran SBY menjadi perhatian publik luas?
Salah satunya
karena selama dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi, SBY tidak pernah
menghadiri HUT RI di Istana Negara. Juga selama 10 tahun SBY menjadi orang
nomor satu RI, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri tidak pernah menghadiri
HUT RI di Istana Negara meskipun mendapat undangan resmi. Situasi kerenggangan
hubungan dan saling menghindar antara SBY dan Megawati berlangsung
bertahun-tahun. Kondisi itu pula yang dipersepsikan publik bahwa kedua tokoh
ini sedang melakukan ‘perang dingin’. Tak ada yang mengetahui persis, apa
sesungguhnya yang melatari keduanya saling menghindar dan saling mengkritik
dengan nada-nada beraroma politis. Perang dingin ini juga tidak hanya terjadi
antara SBY dan Megawati. Namun, tampak pula terjadi antara SBY dan Presiden
Jokowi.
Sejak Jokowi
dilantik menjadi presiden, SBY kerap memuntahkan pesan-pesan politik bernapas
kritik yang dikemas dengan beragam nada, mulai nada rendah, sedang, hingga
keras dan tajam, baik disampaikan melalui media massa maupun melalui media
sosial. Kritikan-kritikan SBY tak jarang pula direspons istana dengan beragam
cara. Semua fakta dan realitas perang dingin antartokoh itu masih tercatat
dalam benak dan memori kolektif masyarakat Indonesia.
Sikap negarawan
HUT ke-72 RI ini
bagai angin yang membawa kabar gembira, kabar yang menyejukkan dari langit
Merdeka Utara untuk warga Nusantara. Selain kabar gembira ini menarik perhatian
publik luas, juga jadi suatu tontonan yang mengharukan bagi warga bangsa yang
merindukan kebersamaan, kekompakan, dan perdamaian tulus di antara para tokoh
bangsa. Butir-butir perdamaian itu tampak secara nyata melalui kebesaran hati
Presiden Jokowi, SBY, dan Megawati yang mau bertemu, saling menyapa dan
bersalaman dalam satu ruang kebersamaan yang hangat di HUT kemerdekaan RI itu.
Saling menyapa dan
bersalaman ini pula yang memberikan pesan kuat dan bermakna sangat dalam bagi
publik RI. Ketika para pemimpin bangsa ini bersatu dalam satu napas kebersamaan
tanpa saling menjauhi dan saling membentangkan sayap perbedaan, RI menjadi
bangsa yang besar, maju, dan kuat. Bangsa yang besar, maju, dan kuat hanya bisa
terwujud manakala para tokoh dan pemimpinnya hadir sebagai anutan, kemudian
sikap-sikap kenegarawanan, rendah hati, saling menyapa, dan mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara.
Peristiwa langka
dari Merdeka Utara telah memberikan pesan politik yang dahsyat kepada
masyarakat Indonesia bahwa sosok Presiden Jokowi, SBY, dan Megawati telah
menciptakan sejarah besar betapa pentingnya keteladanan melalui sikap rendah
hati dan kenegarawanan mereka. Bila mengatakan sejujurnya, negeri ini
sesungguhnya kehilangan banyak sosok negarawan yang mampu menjadi pemersatu dan
perekat. Sebab, sosok negarawan bisa menjadi sandaran masyarakat manakala dinamika
politik kian panas dan situasi bangsa mengalami keguncangan.
Dalam buku SBY,
Selalu Ada Pilihan: Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia
Mendatang (2014), SBY dalam sebuah bagian buku itu mengatakan, pascapemilu
selalulah berpikir untuk melakukan rekonsiliasi. Masa yang tidak mudah dihadapi
seorang yang baru saja berkompetisi dalam sebuah pemilu adalah masa-masa awal
dia (pemimpin) memulai tugasnya. Masa awal setelah terjadinya pergantian
kepemimpinan politik dan pemerintahan. Artinya, ketika pemilu baru saja selesai
dilaksanakan. ‘Dalam situasi seperti ini saya menganjurkan presiden yang baru
saja dipilih dan memulai tugasnya segera berpikir tentang rekonsiliasi.
Perlunya rekonsiliasi. Meskipun, terus terang hal ini tidak selalu mudah. Tetapi,
saya berpendapat, bagaimanapun secara moral pihak yang menang harus mengambil
inisiatif melakukan rekonsiliasi itu’ (hlm 504).
Langkah Jokowi
menyatukan Habibie, Megawati, SBY, Try Sutrisno, Boediono, dan elite politik di
dalam ruang istana adalah bagian penting bagaimana kenegarawanan, saling
menghormati, dan rendah hati adalah pilihan sikap pemimpin yang selalu menaruh
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompok. Guru
bangsa Syafii Maarif pada 2009 pernah menulis artikel di salah satu majalah,
berjudul ‘Indonesia Memerlukan Negarawan’. Syafii Maarif dengan sapaan akrab
Buya menguraikan, negarawan yang dimaksud ialah sosok yang bersedia larut
membela kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan bangsa dan negara secara
keseluruhan.
Menganyam
keteladanan
Semakin langka
sosok negarawan di negeri ini memunculkan aneka gesekan di tengah masyarakat
sebab tidak adanya tokoh anutan yang bisa menjadi rujukan bahkan cermin bagi
masyarakat. Negarawan sejati melepaskan seluruh kepentingan pribadi dan
kelompok demi bangsa dan negara. Ia juga berpikir melampaui apa yang tidak
dipikirkan masyarakat umum dan semakin jauh dari cara berpikir transaksi
pragmatis. Sikap negarawan dan pesan keteladanan ini telah ditunjukkan Presiden
Jokowi, SBY, Megawati, BJ Habibie, Jusuf Kalla, di HUT ke-72 RI. Menganyam
keteladanan tak semudah membalikkan telapak tangan. Ia butuh mati raga. Namun,
rakyat harus berani mengatakan, sosok seperti Presiden Jokowi, SBY, Megawati,
Habibie, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tokoh nasional untuk melepaskan
bermacam kepentingan politik kelompok dan golongan demi kemajuan bangsa.
Tokoh-tokoh ini
harus menjadi teladan yang layak digugu dan ditiru serta jadi contoh bagi
masyarakat. Selain itu, para tokoh ini harus bisa mewariskan dan menularkan
virus nilai-nilai luhur para pendahulu bangsa. Harus juga menyadari dengan
sepenuh hati akan krisis negarawan yang dihadapi bangsa ini. Maka,
perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi penyumbang kerenggangan perlu
diakhiri demi persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa dan negara. Kata bahasa
Latin, concordia parvae res crescunt discordia maximae dilabuntur (persatuan
memperkuat yang kecil, pertikaian mencerai-beraikan yang besar) bisa juga
dijadikan pedoman bagi para pemimpin di level mana pun. Kini saatnya para tokoh
nasional terus-menerus menunjukkan sikap negarawan, menganyam keteladanan, dan
bersatu dalam satu kekuatan yang tulus. Keteladanan yang ditunjukkan dari
Istana Negara, Merdeka Utara, adalah awal yang baik bagi Ibu Pertiwi di masa
akan datang. Semoga.
Sumber: Media Indonesia, 23 Agustus 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!