Oleh Zulu Qodir
Sosiolog UMY & Peneliti Senior
Maarif Institute Jakarta
NEGARA Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang luas.
Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme
agama". Dan, hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan.
Tuhannya sendiri (Bung Karno, 1 Juni 1945).
Bulan Agustus 72
tahun lalu adalah momentum sangat penting bagi bangsa ini. Kemerdekaan terjadi
pada bulan Agustus (17 Agustus 1945) dan pengesahan dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia juga bulan Agustus (18 Agustus 1945). Kita sekarang tinggal
mengusahakan agar bangsa ini lebih baik, sejahtera, merdeka, mandiri, adil, dan
makmur.
Momentum
kemerdekaan kita jadikan sebagai momentum kebangkitan bersama seluruh elemen
bangsa ini. Kemerdekaan bukan sebagai momentum ataupun ajang balas dendam
politik oleh kaum politikus yang haus kekuasaan dan rakus akan segala
sumber-sumber ekonomi. Kemerdekaan, oleh sebab itu, sudah semestinya menjadi
momentum berbagi kesejahteraan, keadilan, dan kejujuran oleh setiap warga
negara Indonesia.
Ketuhanan yang
berkebudayaan adalah ketuhanan yang dinamis. Hanya masyarakat yang bahlul yang
tidak dinamis. Masyarakat yang memiliki kecerdasan jiwa dan nalar sehat akan
dinamis karena memperhatikan aspek-aspek manusiawi dalam kehidupannya.
Dengan demikian,
ketuhanan yang berkebudayaan merupakan dogma suci yang harus menjadi pedoman
manusia Indonesia, yakni manusia yang hendak mengelola sumber-sumber alam,
sumber ekonomi, politik, ataupun budaya yang ada di negeri ini. Manusia
Indonesia adalah manusia yang saling menghargai, menghormati, mencintai,
menolong, serta membantu satu sama lain karena adanya kesadaran bertuhan yang
berkebudayaan. Ketuhanan yang berkebudayaan tidak sama dengan menjadikan Tuhan
sebagai makhluk hidup.
Ketuhanan yang
berkebudayaan adalah menjadikan Tuhan dengan segala sifatnya itu teraktualkan
dalam kehidupan umat manusia sehari-hari. Inilah yang kita sebut dengan
ketuhanan yang dinamis, ketuhanan yang berkebudayaan, serta agama yang tidak
egoistis.
Egoisme, karena
itu, sebenarnya melawan kodrat Tuhan sendiri. Hal ini disebabkan yang berhak
egoistis itu hanya Tuhan atas segala sesuatu. Karena itu, jika nanti ada
makhluk Tuhan yang hendak dimasukkan surganya karena kehendak Tuhan tidak ada
yang bisa mencegah, sekalipun makhluk di sekelilingnya-termasuk malaikat dan
manusia-tidak setuju. Manusia tidak bisa mencontohnya.
Teladan nilai
demokrasi religius
Demokrasi Pancasila
jika kita sederhanakan sebenarnya sebagai bentuk nyata dari adanya demokrasi
religius, yakni demokrasinya orang yang ber-Tuhan. Oleh sebab itu, tidak benar
jika dikatakan demokrasi Pancasila adalah demokrasi kaum sekuler, kaum
kapitalis, apalagi kaum ateis, sebagaimana belakangan sering dituduhkan pada
negara ini.
Demokrasi religius,
karena itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai demokrasi yang merupakan
internalisasi serta aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang telah menjadi
ijtihad dan ijma ulama Indonesia ketika mendeklarasikan Indonesia merdeka.
Demokrasi religius ini berkarakter tidak menindas, tidak memberikan ruang gerak
pada kaum kapitalis serta kaum ateis menjadi penguasa di tanah merdeka bernama
Indonesia.
Kecerdasan serta
kejernihan pikiran, hati, dan pandangan visioner pada pendiri bangsa sangat
jelas terlihat di sana bagaimana menjadikan bangsa ini tidak tergelincir dalam
gagasan miopik dan absurd tentang masa depan yang tidak berada dalam lindungan
dan limpahan karunia Sang Pencipta. Jika para pendiri bangsa tidak memiliki
pikiran jernih, hati yang bening serta tidak menghendaki bangsa ini di dalam
karunia Tuhan, tidak usahlah repot-repot mencari bagaimana agar terdapat
nilai-nilai keagamaan, nilai ketuhanan dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu,
bagi para penentang NKRI yang telah berdasarkan pada Pancasila dengan nilai dasar
utama "Ketuhanan yang Maha Esa", sebenarnya tidak beralasan jika
mengatakan Indonesia adalah negara tidak bertuhan, komunis, sekuler ataupun
ateis. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan visi dan sikap politik para
pendiri bangsa yang telah berijtihad dan ber-ijma (sepakat) Indonesia adalah
sebuah negara yang mengakui Tuhan dalam praktik hidupnya.
Dengan demikian,
demokrasi Pancasila dalam negara Indonesia adalah wujud paling adil dan nyata
tentang pengakuan hadirnya Tuhan dalam ruang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila memang bukan agama. Pancasila pun tidak dimaksudkan untuk
menggantikan agama yang dianut, diyakini, diteladani, serta diamalkan oleh
warga negara Indonesia. Pancasila bahkan bertugas mengayomi, menyelamatkan,
menyejahterakan, serta melindungi mereka kaum beragama apa pun agamanya.
Inilah sebenarnya
demokrasi religius yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai perekat
seluruh sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat
pluralistik. Pancasila, karena itu, hendaklah dihadirkan dalam seluruh elemen
kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali oleh manusia Indonesia. Tidak
boleh ada lagi manusia Indonesia yang mengaku bangsa dan warga Indonesia
menihilkan nilai-nilai Pancasila dan mengatakan bahwa Pancasila adalah buatan
manusia yang bisa salah, dan karena itu perlu diganti.
Manusia model
seperti itu adalah manusia yang tidak memiliki rasa hormat dan terima kasih
kepada para pendiri bangsa yang atar belakang keagamaannya (religius) tak perlu
diragukan lagi. Mereka datang dari kalangan Muslim sebagai mayoritas serta
Kristen yang telah sama-sama memerdekakan bangsa ini dari kolonialis yang
mengisap kekayaan kebudayaan bangsa.
Kini kita tinggal
menjadi "saksi-saksi hidup" tentang negara Indonesia dengan membuat berbagai
kebajikan yang bisa dinikmati anak-cucu kita. Ada beberapa hal yang belum
sempurna dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian praktik
demokrasi religius, tetapi tugas kita adalah menyempurnakannya. Kita perlu
mengambil teladan para pendiri kemerdekaan dengan terus menggali dan
menggelorakannya bersama antar-anak bangsa.
Buang sikap kerdil
Saling menyalahkan,
membenci, bahkan menafikan peran pemerintah dalam hal kebajikan yang telah
diperbuat sebenarnya wujud nyata dari sifat-sifat orang yang angkuh, sombong,
dan tidak bersedia melihat kebajikan yang orang lain perbuat. Hal demikian
jelaslah bertentangan dengan ajaran agama yang diyakini oleh setiap warga
negara Indonesia.
Negara belum
sempurna dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila itu jelas. Namun, jika kita
hanya menyalahkan dan membenci karena berbeda aliran keagamaan, berbeda partai
politik, atau bahkan berbeda pilihan presidennya, adalah bentuk warga negara
yang kerdil, tetapi merasa besar dan hebat. Tentu kita tidak bersedia jika dikatakan
kerdil dan tidak bersedia menghargai orang lain bukan?
Mari kita jaga
warisan para pendiri bangsa yang telah meninggalkan kita semua. Mereka telah
berjuang mempersiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bertuhan.
Jangan kita nodai warisan para pendiri bangsa ini dengan kekerdilan sikap yang
antipati pada lawan politik karena kita gagal dalam bertarung, apalagi hanya
karena kalah dalam memenangkan calon presiden yang kita dukung.
Para teladan
kemerdekaan yang telah mempraktikkan demokrasi Pancasila sebagai warisan para
bangsa telah mengajarkan kepada kita semua untuk menjadi manusia religius yang
taat kepada Tuhan sekaligus menjadi manusia yang beragama (bertuhan) secara
berkebudayaan. Bukan justru menjadi manusia bertuhan yang egoistis dan individualistis.
Sumber: Kompas, 12 Agustus 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!