Headlines News :
Home » » Teladan Kemerdekaandan Demokrasi Religius

Teladan Kemerdekaandan Demokrasi Religius

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, August 13, 2017 | 10:05 PM

Oleh Zulu Qodir
Sosiolog UMY & Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta

NEGARA Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang luas.

Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme agama". Dan, hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Tuhannya sendiri (Bung Karno, 1 Juni 1945).

Bulan Agustus 72 tahun lalu adalah momentum sangat penting bagi bangsa ini. Kemerdekaan terjadi pada bulan Agustus (17 Agustus 1945) dan pengesahan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia juga bulan Agustus (18 Agustus 1945). Kita sekarang tinggal mengusahakan agar bangsa ini lebih baik, sejahtera, merdeka, mandiri, adil, dan makmur.

Momentum kemerdekaan kita jadikan sebagai momentum kebangkitan bersama seluruh elemen bangsa ini. Kemerdekaan bukan sebagai momentum ataupun ajang balas dendam politik oleh kaum politikus yang haus kekuasaan dan rakus akan segala sumber-sumber ekonomi. Kemerdekaan, oleh sebab itu, sudah semestinya menjadi momentum berbagi kesejahteraan, keadilan, dan kejujuran oleh setiap warga negara Indonesia.

Ketuhanan yang berkebudayaan adalah ketuhanan yang dinamis. Hanya masyarakat yang bahlul yang tidak dinamis. Masyarakat yang memiliki kecerdasan jiwa dan nalar sehat akan dinamis karena memperhatikan aspek-aspek manusiawi dalam kehidupannya.

Dengan demikian, ketuhanan yang berkebudayaan merupakan dogma suci yang harus menjadi pedoman manusia Indonesia, yakni manusia yang hendak mengelola sumber-sumber alam, sumber ekonomi, politik, ataupun budaya yang ada di negeri ini. Manusia Indonesia adalah manusia yang saling menghargai, menghormati, mencintai, menolong, serta membantu satu sama lain karena adanya kesadaran bertuhan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berkebudayaan tidak sama dengan menjadikan Tuhan sebagai makhluk hidup.

Ketuhanan yang berkebudayaan adalah menjadikan Tuhan dengan segala sifatnya itu teraktualkan dalam kehidupan umat manusia sehari-hari. Inilah yang kita sebut dengan ketuhanan yang dinamis, ketuhanan yang berkebudayaan, serta agama yang tidak egoistis.

Egoisme, karena itu, sebenarnya melawan kodrat Tuhan sendiri. Hal ini disebabkan yang berhak egoistis itu hanya Tuhan atas segala sesuatu. Karena itu, jika nanti ada makhluk Tuhan yang hendak dimasukkan surganya karena kehendak Tuhan tidak ada yang bisa mencegah, sekalipun makhluk di sekelilingnya-termasuk malaikat dan manusia-tidak setuju. Manusia tidak bisa mencontohnya.

Teladan nilai demokrasi religius

Demokrasi Pancasila jika kita sederhanakan sebenarnya sebagai bentuk nyata dari adanya demokrasi religius, yakni demokrasinya orang yang ber-Tuhan. Oleh sebab itu, tidak benar jika dikatakan demokrasi Pancasila adalah demokrasi kaum sekuler, kaum kapitalis, apalagi kaum ateis, sebagaimana belakangan sering dituduhkan pada negara ini.

Demokrasi religius, karena itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai demokrasi yang merupakan internalisasi serta aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang telah menjadi ijtihad dan ijma ulama Indonesia ketika mendeklarasikan Indonesia merdeka. Demokrasi religius ini berkarakter tidak menindas, tidak memberikan ruang gerak pada kaum kapitalis serta kaum ateis menjadi penguasa di tanah merdeka bernama Indonesia.

Kecerdasan serta kejernihan pikiran, hati, dan pandangan visioner pada pendiri bangsa sangat jelas terlihat di sana bagaimana menjadikan bangsa ini tidak tergelincir dalam gagasan miopik dan absurd tentang masa depan yang tidak berada dalam lindungan dan limpahan karunia Sang Pencipta. Jika para pendiri bangsa tidak memiliki pikiran jernih, hati yang bening serta tidak menghendaki bangsa ini di dalam karunia Tuhan, tidak usahlah repot-repot mencari bagaimana agar terdapat nilai-nilai keagamaan, nilai ketuhanan dalam berbangsa dan bernegara.

Oleh sebab itu, bagi para penentang NKRI yang telah berdasarkan pada Pancasila dengan nilai dasar utama "Ketuhanan yang Maha Esa", sebenarnya tidak beralasan jika mengatakan Indonesia adalah negara tidak bertuhan, komunis, sekuler ataupun ateis. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan visi dan sikap politik para pendiri bangsa yang telah berijtihad dan ber-ijma (sepakat) Indonesia adalah sebuah negara yang mengakui Tuhan dalam praktik hidupnya.

Dengan demikian, demokrasi Pancasila dalam negara Indonesia adalah wujud paling adil dan nyata tentang pengakuan hadirnya Tuhan dalam ruang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang bukan agama. Pancasila pun tidak dimaksudkan untuk menggantikan agama yang dianut, diyakini, diteladani, serta diamalkan oleh warga negara Indonesia. Pancasila bahkan bertugas mengayomi, menyelamatkan, menyejahterakan, serta melindungi mereka kaum beragama apa pun agamanya.

Inilah sebenarnya demokrasi religius yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai perekat seluruh sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat pluralistik. Pancasila, karena itu, hendaklah dihadirkan dalam seluruh elemen kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali oleh manusia Indonesia. Tidak boleh ada lagi manusia Indonesia yang mengaku bangsa dan warga Indonesia menihilkan nilai-nilai Pancasila dan mengatakan bahwa Pancasila adalah buatan manusia yang bisa salah, dan karena itu perlu diganti.

Manusia model seperti itu adalah manusia yang tidak memiliki rasa hormat dan terima kasih kepada para pendiri bangsa yang atar belakang keagamaannya (religius) tak perlu diragukan lagi. Mereka datang dari kalangan Muslim sebagai mayoritas serta Kristen yang telah sama-sama memerdekakan bangsa ini dari kolonialis yang mengisap kekayaan kebudayaan bangsa.

Kini kita tinggal menjadi "saksi-saksi hidup" tentang negara Indonesia dengan membuat berbagai kebajikan yang bisa dinikmati anak-cucu kita. Ada beberapa hal yang belum sempurna dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian praktik demokrasi religius, tetapi tugas kita adalah menyempurnakannya. Kita perlu mengambil teladan para pendiri kemerdekaan dengan terus menggali dan menggelorakannya bersama antar-anak bangsa.

Buang sikap kerdil

Saling menyalahkan, membenci, bahkan menafikan peran pemerintah dalam hal kebajikan yang telah diperbuat sebenarnya wujud nyata dari sifat-sifat orang yang angkuh, sombong, dan tidak bersedia melihat kebajikan yang orang lain perbuat. Hal demikian jelaslah bertentangan dengan ajaran agama yang diyakini oleh setiap warga negara Indonesia.

Negara belum sempurna dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila itu jelas. Namun, jika kita hanya menyalahkan dan membenci karena berbeda aliran keagamaan, berbeda partai politik, atau bahkan berbeda pilihan presidennya, adalah bentuk warga negara yang kerdil, tetapi merasa besar dan hebat. Tentu kita tidak bersedia jika dikatakan kerdil dan tidak bersedia menghargai orang lain bukan?

Mari kita jaga warisan para pendiri bangsa yang telah meninggalkan kita semua. Mereka telah berjuang mempersiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bertuhan. Jangan kita nodai warisan para pendiri bangsa ini dengan kekerdilan sikap yang antipati pada lawan politik karena kita gagal dalam bertarung, apalagi hanya karena kalah dalam memenangkan calon presiden yang kita dukung.

Para teladan kemerdekaan yang telah mempraktikkan demokrasi Pancasila sebagai warisan para bangsa telah mengajarkan kepada kita semua untuk menjadi manusia religius yang taat kepada Tuhan sekaligus menjadi manusia yang beragama (bertuhan) secara berkebudayaan. Bukan justru menjadi manusia bertuhan yang egoistis dan individualistis. 
Sumber: Kompas, 12 Agustus 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger