Oleh Ahmad M
Ali
Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi NasDem
RAKYAT Indonesia patut berbangga,
tanpa tekanan diplomasi hard power, melainkan perundingan diplomasi soft power,
pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi Widodo berhasil
'menjinakkan' Freeport McMoran lewat kesepakatan divestasi saham Freeport
Indonesia sebesar 51%. Peristiwa bersejarah ini amat penting karena divestasi
saham menjadi bagian dari tiga kesepakatan yang dicapai, dalam perundingan
antara pemerintah dan Freeport sejak Februari 2017. Selain rela melepas
kepemilikan saham 51%, Freeport Indonesia harus membangun smelter, pemurnian,
dan jaga penerimaan negara dalam konteks izin usaha pertambangan khusus (IUPK)
harus lebih baik dari masa kontrak karya (KK).
Usaha dan tekad
besar untuk mengembalikan tambang emas dan tembaga pada pangkuan Ibu Pertiwi
terbukti bukan pepesan kosong. Pemerintah tidak hanya menggertak dengan
dalil-dalil konstitusional sarat perspektif nasional, tetapi juga menghidupkan
kembali apa yang disebut dalam Pasal 33 UUD 1945, kekayaan alam yang dikelola
sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan kondisi seperti ini, peluang
RI meletakkan dasar-dasar industrialisasi nasional sebagai prasyarat membangun
kemandirian ekonomi nasional sangat terbuka lebar.
Akan tetapi, kita
tidak boleh 'tidur nyenyak' dalam selebrasi, apalagi euforia berlebihan. Sampai
saat ini, pemerintah belum memberikan keterangan jelas seperti apa proses
pembelian saham dilakukan. Apakah pemerintah juga mengikutkan kewajiban
perizinan, revenue, dll sebagai bagian pembelian saham? Jika itu terjadi, tentu
keadaan negara sekarang, termasuk asset BUMN tidak mungkin memenuhi hal itu.
Dalam konteks inilah sesungguhnya arti penting perundingan divestasi saham.
Pemerintah harus memastikan pencapaian ini membawa berkah bagi rakyat RI. Sebab
tantangan dan jebakan salah urus bisa jadi akan lahir sebagai momok yang
membuyarkan tujuan sejati divestasi saham Freeport Indonesia itu. Pada
akhirnya, saham divestasi jatuh ke tangan swasta, kembali listing di pasar
saham sehingga kembali jatuh ke pihak korporasi asing. Tentu saja ini tidak
kita inginkan.
Menakar nilai saham
Saham 51% memang
'ibarat berkah menanti pancing', bisa jadi jalan negara untuk memakmurkan
rakyat dan menjadi bencana bila jatuh pada permainan elite, terutama broker
saham. Integritas dan rasa nasionalisme memang bisa dimaknai dari beragam sudut
pandang, tetapi jumlah uang yang diperlukan untuk membayar seluruh total saham
tidak sedikit. Dalam konteks inilah, substansi perundingan saham Freeport itu
harusnya dibicarakan. Seiring dengan keberhasilan perundingan, banyak pihak
kini mendorong isu pembayaran saham ivestasi dalam konteks perhitungan pasar.
Asumsi itu dipatok lebih tinggi dari jumlah yang sanggup dibayarkan seluruh
BUMN yang digabungkan, yakni sebesar Rp 107 triliun.
Mereka berpendapat,
kalaupun seluruh aset mereka dijaminkan, tidak akan bisa memperoleh utang
sampai Rp107 triliun. Rujukan itu menggunakan aturan BI, utang tak boleh
melebihi nilai seluruh aset yang dimiliki. Dalam berbagai perhitungan nilai
dari 51% saham Freeport diperkirakan mencapai ratusan triliun apabila akan
dikonversi dalam metode pembayaran. Katakanlah, misalnya, perhitungan secara
fair market value, berdasarkan nilai cadangan dengan masa kontrak sampai 2041,
nilai 100% saham PT Freeport Indonesia adalah US$ 15,9 miliar atau sekitar Rp211
triliun. Dengan demikian, nilai 51% saham sekitar Rp 107 triliun, sedangkan
pemerintah menggunakan metode perhitungan replacement cost.
Jika pada metode
ini nilai 100% saham Freeport adalah US$ 5,9 miliar atau sekitar Rp78 triliun,
nilai 51% saham kurang lebih Rp 40 triliun. Metode replacement cost inilah yang
menjadi acuan pemerintah berani mematok divestasi saham 51% karena dengan
gambaran holding BUMN pertambangan dianggap memiliki kemampuan mengumpulkan
jumlah uang yang diperlukan. Holding BUMN pertambangan yang merupakan gabungan
PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk, dan PT
Inalum.
Dalam taksiran
kasar berdasarkan data yang tersedia, prediksi total nilai aset BUMN-BUMN bila
digabungkan mencapai Rp 58 triliun. Artinya, merujuk nilai itu, kita memiliki
kesanggupan membayar saham yang dilepaskan Freeport Indonesia.
Gotong royong
Jebakan tikus di
lumbang padi menjadi metafora tepat untuk menggambarkan tugas pascaperundingan
divestasi saham Freeport Indonesia. Bagaimanapun, potensi lirikan dan permainan
para 'pemburu saham' mengintip peluang mengambil keuntungan pribadi dari proses
yang sedang berlangsung. Bila salah urus, bukan tidak mungkin apa yang telah
dicapai justru menjadi arena baru perburuan saham, menunggangi nasionalisme
untuk mendapatkan konsesi. Pemerintah harus membangun roadmap dan blueprint
tata kelola divestasi Freeport yang berisi pembahasan mengenai siapa dan
bagaimana proses pembelian saham Freeport dilakukan. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 1/2017, penawaran saham diprioritaskan pada pemerintah pusat,
lalu pemda bila pusat tidak berminat, kemudian prioritas berikut ke BUMN, BUMD,
dan swasta nasional.
Bentuk penawaran
saat ini berjenjang dari pemerintah pusat, daerah, hingga pelibatan swasta.
Oleh karena itu, beberapa jalan berikut menjadi opsi yang penting dipertimbangkan.
Pertama, dalam pembayaran saham, pemerintah harus memastikan bahwa perizinan
dan aset konstan seperti land konsesi tidak menjadi bagian perhitungan Freeport
sehingga harga saham yang dimaksud tidak mencapai ratusan triliunan rupiah
seperti diwacanakan. Sebab jika nilainya katakanlah Rp 107 triliun, tidak
mungkin dengan aset BUMN yang ada sanggup membeli itu. Kedua, peran perbankan
harus didorong keluar dari kotak peraturan penyertaan modal bank yang tertuang
dalam Peraturan BI No 15/11/PBI/13 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam
Penyertaan Modal.
Aturan itu telah
diberlakukan sejak 22 November 2013 yang melarang BUMN perbankan berinvestasi
di luar core bisnisnya sehingga BUMN dapat memiliki akses penambahan modal
melalui jalur perbankan BUMN. Ketiga, peran intermediasi untuk membantu
penyertaan modal BUMN dalam divestasi Freeport harus dilakukan sebagai langkah
cepat mengumpulkan dana besar. Langkah ini tentu punya risiko keuangan yang
harus ditanggung sebagai efek perubahan kebijakan perbankan. Karena itu,
Presiden harus menerbitkan aturan khusus (lex specialist) terhadap agenda
pembelian saham Freeport dalam perspektif ketahanan nasional. Keempat,
pemerintah mesti memaksimalkan 'dana publik' nasional yang dikelola sebagai
opsi tambahan atau kasarnya cadangan yang dapat dimanfaatkan negara untuk
menutupi jumlah tagihan pembelian saham Freeport.
Dengan demikian,
jalan inilah diperlukan untuk mewujudkan mimpi bersama seperti makna
konstitusi. Negara dan rakyat sudah saatnya bergotong royong, mengabarkan pada
dunia bahwa kita mampu berdiri di atas kaki sendiri untuk mengusahakan dan
mengelola kekayaan alam pemberian Tuhan YME dengan tangan sendiri. Sebuah
rezeki yang selama berabad-abad tertanam di dalam tanah, dieksploitasi
korporasi asing, menciptakan kemakmuran di negeri mereka. Sudah saatnya rezeki
yang melimpah itu dirasakan, dinikmati oleh kita sebagai bangsa Indonesia,
khususnya putra-putri Papua.
Sumber: Media Indonesia, 2 September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!