Oleh Ahmad Erani Yustika
Dirjen Pembangunan & Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
DESA telah menjadi altar
baru dalam gempita pembangunan nasional. Seusai aneka percobaan pembangunan
dijalankan dengan hasil yang sebagian mengecewakan, muncul hasrat baru dengan
meletakkan desa sebagai sumbu pembangunan.
Namun, di sini
muncul pertanyaan kritis: jika desa ditunjuk sebagai titik tumpu pembangunan,
apakah desa menjadi sekadar lokus pembangunan ataukah filosofi dan kerangka
dasar pembangunan juga berubah? Pertanyaan ini bukan cuma penting, melainkan
sekaligus menjadi penanda ke mana arah pembangunan desa mesti digerakkan.
Warta bagusnya,
kita punya stok dasar negara yang amat kukuh meski selama ini nyaris tak
dijadikan sebagai kompas. Kini, saat Pancasila dirayakan di seluruh penjuru
negeri, kodratnya sebagai fondasi bernegara menggema kembali. Karena itu, misi
suci pembangunan desa seharusnya bertolak dari titik ini: menjadikannya satu
tarikan napas dalam merawat ruh dasar negara.
Gugusan baru
pembangunan
Pada 28 Agustus
1959 Soekarno menyampaikan Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta
Berencana kepada Depernas (Dewan Perantjang Nasional), yang "....tudjuan
dan maksud pembangunan semesta ialah membangun masjarakat jang adil dan makmur;
adil dan makmur jaitu menurut tindjauan adjaran Pantjasila....." (Departemen
Penerangan RI, 1959). Setelah hampir 71 tahun merdeka, amanat itu jadi agenda
pokok yang mesti dijawab: apakah pembangunan sudah bersendikan Pancasila?
Sulit menampik
pembangunan selama ini telah banyak memproduksi keberhasilan, baik yang dirasakan
khalayak domestik maupun publik negara lain. Namun, ukuran keberhasilan itu
lebih berdasarkan norma yang diterima umum sehingga parameter yang bersumber
dari dasar negara tak banyak mendapatkan ruang. Implikasinya, jarak antara
pencapaian dan ajaran Pancasila bisa berpunggungan.
Di sinilah noktah
terpenting untuk menjaga dan membela Pancasila dalam konteks pembangunan desa.
Afirmasi terhadap pembangunan mesti diletakkan sebagai usaha menegakkan
Pancasila sampai ke akarnya, yang kemudian tumbuh jadi batang dan ranting yang
kokoh pada tiap lini pembangunan nasional.
Desa menjadi
pangkal harapan karena dua pertimbangan. Pertama, pada saat perumusan Pancasila
kondisi sosio-ekonomi-politik nasional bisa merujuk pada situasi desa hari ini
meski tentu saja tak sama persis. Perikehidupan manusia dan alam pada masa
kemerdekaan adalah pantulan derap nadi desa masa kini. Dengan demikian,
menempatkan desa sebagai alas penegakan isi dasar negara merupakan
persinggungan yang layak digelar.
Kedua, persentuhan
desa dengan modernisasi (pembangunan) masih belum begitu jauh sehingga
eksperimen membentuk gugusan baru pembangunan dengan nilai dasar negara
tersebut masih mudah dijalankan.
Sila pertama
"Ketuhanan yang Maha Esa" akar tunjang pembangunan yang tidak
meletakkan materialitas sebagai usaha pencapaian puncak tujuan. Ini meyakini
sumber pembangunan adalah spiritualitas. Agama sebagai mata air spiritualitas
dan moralitas menjadi daya dorong manusia berpikir, berucap, dan bertindak.
Sungguh pun begitu, agama tak perlu jadi asas kenegaraan formal karena kondisi
sosio-politik nasional beraneka ragam, yang terangkum dalam frase
"Bhinneka Tunggal Ika".
Refleksi
pembangunan yang paling konkret selalu terkait manusia dan hubungan
antar-manusia. Dengan begitu, sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab" merupakan tangkai terpenting berhubungan dengan pembangunan. Moda
produksi sebagai mata rantai pembangunan (ekonomi) berurusan dengan modal,
tanah, dan tenaga kerja (manusia). Hanya pada faktor produksi tenaga kerja
tersebut memiliki dimensi sosial, budaya, politik, dan seterusnya. Maknanya,
hubungan antarmanusia dalam pembangunan tak boleh mereduksi kemanusiaan.
Di desa, hubungan
antarmanusia (dalam bingkai ekonomi sekalipun) selalu menganggap persaudaraan
sebagai penanda sikap. Persaudaraan merupakan inti kemanusiaan sehingga relasi
pembangunan tidak menjadi isolasi antarkelas dan menjadi basis pertarungan.
Oleh sebab itu, sila ini jadi pengingat bahwa pembangunan mesti menjadi
pengungkit nilai kemanusiaan dan bukan malah menggerusnya.
Hasil pembangunan
yang kerap dicemaskan adalah: pertumbuhan menghasilkan peminggiran. Pelaku
ekonomi yang satu tumbuh, lainnya mati. Pembangunan bukan merangkul, melainkan
memisahkan. Itulah deskripsi yang terjadi selama ini. Agenda persatuan menjadi
jauh panggang dari api. Persatuan tersebut masih terbungkus jejaknya pada saat
mengonstruksi kedaulatan rakyat dalam panggung politik dengan sila yang punya
bobot dahsyat: "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan".
Persatuan akan
solid apabila keputusan berporos pada permusyawaratan. Keputusan yang hanya
berlatar kuantitas suara kerap tak berpijak pada pengetahuan sehingga
memungkinkan terjadinya dikte mayoritas. Sebaliknya, permusyawaratan mesti
berbasis pengetahuan.
Itulah sebabnya
frase "hikmat kebijaksanaan" muncul sebagai muara dari pengetahuan.
Di desa, praktik semacam itu terus terjaga Musyawarah desa menjadi salah satu
perwujudan sila keempat dan langgeng hingga kini. Nilai dan kecerdasan lokal
yang bersumber dari agama, budaya, dan lain-lain menjadi dasar lahirnya hikmat
kebijaksanaan.
Perayaan Pancasila
Akumulasi dari
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan permusyawaratan bisa terpantul dari
hasil keseluruhan pembangunan. Terma "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia" adalah keagungan dari empat dasar tersebut. Keadilan sosial
punya makna amat mendalam, yakni kesejahteraan yang tak kehilangan
spiritualitas, manusia tak dianggap semata faktor produksi, penguatan relasi
dan distribusi sosial, serta pengejawantahan konsensus (kedaulatan).
Perasaan kehidupan
yang makin kering, meskipun kesejahteraan meningkat, tak menggambarkan adanya
spiritualitas, kemanusiaan, persatuan, dan permusyawaratan tersebut. Tentu saja
keadilan sosial jadi tak bisa digapai. Karena itu, puncak pembangunan yang
dimaknai sebagai adil dan makmur sebetulnya merupakan agregasi dari praktik
perikehidupan atas implementasi empat sila sebelumnya.
Bara api Pancasila
itu harus jadi penyala pembangunan dan pemberdayaan (warga) desa. Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang diberi mandat
memanggul misi ini meletakkan fondasi negara itu sebagai ajaran yang harus
berdiri tegak.
Tiga pilar/matra
pembangunan desa yang dikonseptualisasikan Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa, yaitu Lingkar Budaya Desa (Karya Desa), Jaring Komunitas
Wiradesa (Jamu Desa), dan Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa), diabdikan untuk
memberi jejak dasar negara itu. Budaya yang bersumber dari agama dan
spiritualitas menjadi dasar gerak pembangunan desa "Karya Desa").
Pengabaian terhadapnya membuat pembangunan kehilangan panggung dan upacara..
Pembangunan adalah kerja budaya itu sendiri, di mana keseluruhan nilai menjelma
menjadi tata cara dan pilihan program yang diambil warga.
"Jamu
Desa" adalah ikhtiar meningkatkan kapabilitas warga sebagai esensi
pembangunan. Prinsip ini dibangun berangkat dari kesadaran untuk memuliakan
manusia (kemanusiaan), penguatan komunitas (sebagai basis persatuan), dan
pendalaman konsensus (permusyawaratan). "Balai Rakyat" adalah agenda
yang didorong sebagai pembelajaran mandiri komunitas untuk menambah bobot stok
pengetahuan warga.
Demikian pula,
musyawarah desa jadi napas partisipasi warga sehingga kedaulatan rakyat
terjaga. Terakhir, "Bumi Desa" diturunkan sebagai upaya penguasaan
sumber daya (ekonomi) oleh desa dan warga desa sehingga keadilan sosial dapat
dimaklumatkan. Institusi koperasi dan BUMDes terus dipromosikan untuk
memastikan kegotongroyongan jadi sumbu ekonomi bagi pencapaian keadilan sosial.
Singkatnya, pembangunan desa adalah perayaan Pancasila.
Sumber: Kompas, 19 September
2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!