Oleh Saurip Kadi
Mayor Jenderal & Mantan Anggota ke-2
Tim Penyusun Reformasi
ABRI, 1998
MENGAMBIL hikmah dari kegaduhan politik nasional akhir-akhir ini,
sangat tepat jika di ulang tahunnya yang ke-72, segenap prajurit TNI-khususnya
perwira-melakukan kilas balik perjalanan TNI dalam mengawal NKRI.
Dengan memahami
kelebihan, kekurangan, dan bahkan kesalahan di masa lalu, niscaya ke depan TNI
bisa mengambil peran sesuai dengan tuntutan zaman dan harapan rakyatnya.
Melalui reformasi internal ABRI, kini TNI tidak lagi terlibat politik praktis
seperti di era Orde Baru. TNI bukan alat kekuasaan dan golongan mana pun.
"Bisnis inti" (core business) TNI di bidang pertahanan mewajibkan
dalam keadaan tertib sipil TNI tak boleh lagi terlibat atau mencampuri urusan
yang jadi tanggung jawab pemerintahan sipil.
Belajar dari
sejarah
Di negara mana pun
keterlibatan tentara dalam urusan kekuasaan dalam keadaan darurat adalah hal
yang lazim. Bahkan, untuk negara tertentu seperti Thailand, kudeta militer
bukanlah hal yang luar biasa. Sangat disayangkan makna kedaruratan yang membenarkan
tentara terlibat dalam urusan kekuasaan oleh Orde Baru kemudian dilanggengkan
dengan konsep Dwifungsi ABRI. Melalui Tap MPR dan perundang-undangan lainnya,
keterlibatan ABRI dalam politik praktis menjadi sah secara yuridis formal.
ABRI kemudian mengemban
tugas mengontrol rakyat yang tak sepaham, apalagi yang menentang Orde Baru.
ABRI dalam hal ini TNI lebih khusus lagi TNI AD juga difungsikan sebagai
lembaga skrining ideologi dan politik, layaknya peran lembaga Polit Biro Partai
Komunis di negara komunis.
ABRI juga duduk di
DPR/DPRD dan MPR. Dalam perumusan kebijakan nasional dan pengendalian
kekuasaan, ABRI diposisikan sebagai Jalur A (ABRI) dalam Golkar sebagai rezim,
bersama Jalur B (Birokrasi) dan Jalur G (Golkar). Dan, karena itu, dalam tubuh ABRI
dikenal adanya lembaga Dewan Sospol ABRI, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Nilai-nilai
kejuangan dan pengabdian kepada rakyat, keikhlasan berkorban demi bangsa dan
negara, TNI yang tidak ikut rebutan kekuasaan atau jabatan, TNI milik semua
golongan, TNI yang menjadi tulang punggung dan penjaga kebangsaan
(nasionalisme), serta TNI sebagai alat negara dan politik TNI adalah politik
negara, secara total berubah dan dalam beberapa kasus menjadi sebaliknya.
Dengan konsep
penugaskaryaan, ABRI juga mendominasi jabatan strategis, mulai dari RT, RW,
kepala desa/lurah, bupati/wali kota, gubernur, staf kementerian, duta besar dan
direksi/komisaris BUMN, serta lembaga negara dan lembaga tinggi negara lainnya.
Singkat cerita, TNI kemudian menjadi alat kekuasaan yang terlibat dalam politik
praktis, TNI ikut rebutan jabatan serta terlibat bisnis, dan TNI terlibat dalam
hampir semua urusan pemerintahan sipil. Dan masih banyak lagi praktik
penyimpangan jati diri lainnya.
Dengan gambaran
seperti tersebut, menjelang memuncaknya krisis kepercayaan publik terhadap Pak
Harto, pimpinan ABRI mengambil tindakan cepat melakukan reformasi internal ABRI
guna mengembalikan jati diri dan perannya sebagaimana yang ditanamkan Panglima
Besar Jenderal Sudirman bersama para pendiri TNI lain, dan juga para pendiri
Polri.
Jenderal Wiranto
selaku Panglima ABRI, melalui Surat Perintah Nomor Sprin/283/P/V/1998
tertanggal 10 Mei 1998, menugaskan 19 perwira yang dipimpin oleh Letjen Susilo
Bambang Yudhoyono (ditambah delapan perwira tinggi senior sebagai penasihat)
untuk merumuskan Pokok-pokok Pikiran ABRI tentang Reformasi. Tim ini
menghasilkan konsep reformasi dengan judul "Redefinisi dan Reaktualisasi
Peran Sospol ABRI".
Sesuai dengan
judulnya, konsep tersebut belum menampilkan kesadaran dan apalagi pengakuan
adanya penyimpangan jati diri, tata nilai dan peran ABRI yang dilakukan selama
Orde Baru. Yang pasti dalam konsep tersebut belum tampak keinginan apalagi niat
untuk melakukan reformasi di internal ABRI. Sebagai salah satu anggota tim, penulis
tahu persis bahwa konsep tersebut kemudian dijadikan arsip dan tidak pernah
dibahas lagi.
Sesaat setelah tim
tersebut merampungkan tugasnya, Panglima ABRI kemudian menerbitkan surat
perintah baru Sprint/964/P/VI/1998 tertanggal 9 Juni 1998 yang menugaskan 12
perwira (tiga di antaranya berpangkat brigjen sebagai penasihat) dipimpin oleh
Mayjen Agus Wirahadikusumah untuk melakukan tugastugas "counter
opini". Namun, sesungguhnya tim ini oleh Panglima ABRI ditugasi untuk
menyusun ulang konsep reformasi ABRI.
Sebagai wakil ketua
tim, penulis tahu persis konsep yang dihasilkan berjudul "Reformasi
Internal ABRI", dengan garis besar isinya meliputi: pengakuan jujur atas
penyimpangan jiwa, semangat, jati diri, peran serta nilai-nilai kejuangan TNI
dan Polri; hapus Dwifungsi ABRI; dan TNI kembali ke jati dirinya dengan bisnis
inti di bidang pertahanan, sedangkan polisi kembali ke jati diri sebagai polisi
negara. Dan tahap berikutnya, panglima ABRI kemudian menerbitkan Surat Perintah
Pembentukan Tim Sosialisasi Konsep Reformasi Internal ABRI bagi semua perwira
ABRI berpangkat mayor ke atas di seluruh Indonesia.
Program aksi TNI
Sebagaimana yang
diterapkan Orde Baru, TNI hingga saat ini masih melanjutkan paradigma
pertahanan tentara Hindia Belanda yang tugas pokoknya memang relatif sama
dengan tugas ABRI di era Orde Baru, yaitu mengawal pemerintahan serta menjaga
industri dan obyek strategis mereka. Karena itu, pasukan TNI terpusat di Jawa
dan sedikit di kota-kota besar luar Jawa.
Kini peluang emas
untuk kembali sebagai agen perubahan serta penyelamat bangsa dan negara untuk
keluar dari belenggu realitas ada di tangan TNI. Salah satunya adalah dengan
program redislokasi pasukan TNI yang selama ini menumpuk di Jawa ke seluruh
wilayah, khususnya di perbatasan dan pedalaman. Dengan redislokasi pasukan TNI,
otomatis akan terjadi pergeseran arus manusia dan barang dari semula terpusat
di Jawa menjadi tersebar di seluruh wilayah. Dengan demikian, TNI akan tampil
sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan pelopor pembuka kawasan ekonomi
baru.
Redislokasi pasukan
TNI juga akan memperkuat konsep otonomi daerah karena akan menangkal keinginan
wilayah tertentu untuk memisahkan diri dari NKRI, di samping akan mengokohkan
kebinekaan karena akan terjadi perkawinan silang antara keluarga dan prajurit
muda TNI dengan penduduk setempat. Dan tentu saja, biaya penjagaan wilayah
perbatasan yang setiap tahun mencapai belasan triliun rupiah juga bisa
dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Program redislokasi
TNI juga tidak perlu dengan biaya APBN karena bisa ditempuh dengan model
"tukar guling" dengan lahan eks markas kesatuan terkait yang umumnya
berada di kota-kota besar di Pulau Jawa.
Dengan prioritas
untuk penyebaran lembaga pendidikan dan pusat kecabangan/kesenjataan, program
redislokasi pasukan bisa dimulai kapan saja karena tidak memengaruhi strategi
dan konsep pertahanan yang ada.
Kelak setelah
melalui pengkajian yang matang, baru giliran bagi pasukan tempur di Jawa yang
realitanya selama ini banyak yang "idle", dengan prioritas untuk
wilayah perbatasan dan pedalaman.
Dengan meninggalkan
cara-cara konyol yang tidak lagi sesuai tuntutan zaman yang dampaknya hanya
menimbulkan kebisingan dan kegaduhan politik dan menggantikannya dengan kerja
cerdas, niscaya legitimasi publik terhadap TNI akan meningkat karena rakyat
langsung merasakan manfaat keberadaan dan kehadirannya.
Dirgahayu TNI dalam
HUT-nya ke-72, 5 Oktober 2017.
Sumber: Kompas, 4 Oktober 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!