Oleh Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden RI 2004-2014
KEPUTUSAN Presiden
Trump yang "menetapkan" Jerusalem sebagai ibu kota Israel membikin
heboh dunia. Kecaman dan penentangan datang dari berbagai belahan dunia.
Bukan hanya dari
kalangan dunia Islam, melainkan juga dari dunia Barat dan Asia, bahkan termasuk
sahabat-sahabat Amerika Serikat sendiri. Mereka khawatir kebijakan Trump itu
menimbulkan dampak buruk bagi upaya perdamaian dan penyelesaian konflik
Israel-Palestina secara permanen, yang telah puluhan tahun diupayakan.
Bahkan, keputusan
sepihak yang bertentangan dengan resolusi PBB tahun 1947 itu bisa menutup
peluang bagi "solusi dua negara", terwujudnya Israel dan Palestina
sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, serta hidup berdampingan secara
damai.
Sebagaimana yang
lazim terjadi, pandangan publik AS sendiri terbelah. Ada yang memuji dan
mendukung Trump sebagai pemimpin yang tegas dan berani, tetapi ada pula yang
mengatakan langkah Trump tersebut ceroboh dan berbahaya. Saat ini belum
didengar suara dari "Capitol Hill" yang kerap kritis dan juga berani.
Tanpa mengulangi
berbagai retorika dan reaksi spontan yang muncul dari masyarakat internasional
selama lima hari terakhir ini, ada pertanyaan kritis yang mesti kita jawab:
akankah keputusan Trump yang secara resmi mengakui Jerusalem sebagai ibu kota
Israel disertai kebijakan untuk memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke
Jerusalem sungguh akan dijalankan? Inilah yang barangkali perlu kita bicarakan.
Dua skenario
Kita bisa
menggunakan sejumlah skenario dan pendekatan. Pertama, atau skenario satu,
kebijakan Donald Trump yang mengubah sikap AS sejak 70 tahun yang lalu itu
sungguh akan direalisasikan. Artinya, kedutaan besar AS akan "segera"
dibangun dan beroperasi di Jerusalem, apa pun reaksi dan penolakan dari banyak
negara, terutama dari Palestina. Dalam skenario ini Trump benar-benar nekat dan
tak perlu menggubris pihak mana pun yang mengatakan "tidak". Biarkan
anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Adapun skenario
kedua, menyadari penolakan yang keras baik dari luar maupun dari dalam, dan
apabila kebijakan yang kontroversial itu sungguh dijalankan, dampaknya sungguh
buruk bagi AS sendiri, kebijakan Trump tersebut tidak akan dijalankan. Paling
tidak akan ditunda implementasinya.
Skenario mana yang
paling mungkin menjadi kenyataan? Mari kita lihat satu per satu.
Memahami
psiko-politik Trump, yang tidak hanya menggertak, tetapi sungguh dijalankan
kalau punya kehendak, pemindahan kedutaan besar AS ke Jerusalem tersebut
benar-benar akan diwujudkan. Ingat, kebijakan Trump yang oleh banyak pihak
diperkirakan tidak akan dilakukan, seperti keluarnya AS dari Paris Climate
Agreement, dari Trans-Pacific Partnership, dan dari Iran Nuclear Agreement,
ternyata benar-benar dilakukan.
Karakter pribadi
Trump yang tidak mau ditekan atau dihalang-halangi oleh siapa pun benar-benar
nyata adanya. Apalagi, jika gelombang penolakan dan perlawanan atas kebijakan
Jerusalem ini skalanya tidak seberapa besar dan akan berakhir dalam beberapa
hari atau minggu mendatang, tak ada halangan apa pun bagi AS untuk menjalankan
kehendak pemimpinnya itu. Kalau keadaan ini yang terjadi, skenario satu akan
menjadi kenyataan.
Satu-satunya
keadaan yang bisa membatalkan atau menunda implementasi dari kebijakan Trump
tentang Jerusalem ini adalah apabila situasi yang tidak baik ini berkembang
secara serius dan di luar prediksi Pemerintah AS.
Misalnya, situasi
keamanan di Israel ataupun di Palestina benar-benar memburuk, bahkan
mengguncangkan stabilitas kawasan Timur Tengah, sehingga tekanan terhadap Trump
justru akan muncul dari dalam negeri sendiri. Amerika Serikat adalah negara
adidaya, yang tak mudah digertak dan diancam negara mana pun, kecuali tekanan
itu datang dari rakyatnya sendiri.
Kita ingat
berakhirnya Perang Vietnam, yang ditandai dengan penarikan pasukan AS dari
Vietnam pada awal tahun 1970-an, bukan karena pasukan AS tak mampu menahan
perlawanan Vietnam Utara dan Vietkong, melainkan karena tekanan keras dan
meluas dari rakyat AS untuk mengakhiri perang itu. Tentu saat ini terlalu dini
untuk mengetahui apakah dampak keputusan Trump tentang Jerusalem ini sungguh
memperburuk situasi konflik Israel-Palestina bahkan akan mengancam perdamaian
dan keamanan internasional. Masih harus kita lihat dan ikuti perkembangannya di
hari-hari mendatang.
Menlu Tillerson
Adalah menarik apa
yang dikatakan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson dua hari setelah penetapan
Presiden Trump atas status Jerusalem, yang barangkali luput dari pengamatan
banyak pihak. Tillerson mengatakan bahwa Presiden Trump tidak menyebutkan
status final dari Jerusalem, tetapi pada saatnya akan ditentukan oleh Israel
dan Palestina sendiri dalam negosiasinya. Juga dikatakan oleh Tillerson bahwa
pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem tidak akan terjadi
dalam masa satu-dua tahun mendatang.
Pernyataan ini
menarik. Memang masih harus diikuti lebih lanjut apa dasar pernyataan Menlu AS
ini. Apakah untuk meredakan situasi yang mulai memanas di banyak negara, bahkan
menjadi tanda-tanda dapat saja dilakukan penundaan (pause) dari keputusan Trump
tersebut, atau hanya urusan teknis semata. Akan tetapi, mengingat dinamisnya
situasi politik dan keamanan dunia, termasuk dampak dari kebijakan tentang
Jerusalem ini, AS memang harus bersiap diri dengan kontingensi dan
langkah-langkah tertentu yang tidak membuat negara itu nantinya kehilangan
muka.
Sebagaimana saya
sampaikan dalam cuitan saya beberapa hari lalu, jika disadari Amerika berada di
sisi sejarah yang keliru, belumlah terlambat bagi Presiden Trump untuk mengubah
keputusannya. Saya tidak yakin bangsa Amerika yang besar itu mau disalahkan
oleh sejarah karena kebijakan dan tindakannya membikin keadaan dunia kita
menjadi buruk. Semoga jiwa besar itu muncul dari dalam diri pemimpin-pemimpin
Amerika Serikat.
Agar situasi di
Israel dan Palestina tidak makin memburuk, termasuk situasi di kawasan, saya
berpendapat solusi dua negaralah yang paling realistis. Ini pula yang harus
terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, dengan kepemimpinan dan
kepeloporannya selama ini, terwujudnya kemerdekaan penuh Palestina sebagai
bangsa yang berdaulat. Eksistensi Palestina yang mendapatkan pengakuan dan
dukungan resmi dari Israel dan juga bangsa-bangsa lain di dunia.
Berkaitan dengan
status kota Jerusalem, semua pihak, termasuk Amerika Serikat, mesti menghormati
resolusi PBB 181 tahun 1947 yang menetapkan Jerusalem sebagai kota di bawah
kewenangan internasional. Kota yang memungkinkan kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi
melakukan ibadah keagamaannya.
Status quo yang
memberikan ruang dan jalan bagi pencarian solusi konflik yang damai dan
permanen bagi masa depan Israel dan Palestina, termasuk status kota Jerusalem
kelak. Masa depan yang membuat rakyat Israel dan Palestina berada dalam keadaan
yang tenteram dan terbebas dari ketakutan. Masa depan yang jauh dari tragedi
dan penderitaan. Juga masa depan yang mereka semua bisa hidup adil dan
sejahtera. Semoga masa indah itu datang.
Sumber: Kompas, 11 Desember 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!