PRESIDEN Donald Trump sudah mengumumkan
pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem dan mengakuinya sebagai
ibu kota Israel, walau sejak awal ditentang oleh sejumlah pihak.
Dalam pidatonya di
Gedung Putih, Rabu (06/12), Presiden Trump mengatakan 'sudah saatnya untuk
mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel'.
"Hari ini Yerusalem
adalah kursi bagi pemerintah modern Israel, rumah bagi parlemen Israel,
Knesset, rumah bagi Mahkamah Agung," tuturnya.
Dia juga menambahkan
Israel memiliki hak untuk menentukan ibu kotanya dan penundaan penetapan
Yerusalem sebagai ibu kota Israel selama ini tidak membawa apapun dalam
mencapai perdamaian.
Menurut Trump,
Amerika Serikat tetap berkomitmen pada solusi dua negara dalam penyelesaian
konflik Israel-Palestina.
Pemerintah
Indonesia sebelum pengumuman di Gedung Putih ini sudah mengingatkan bahwa
keputusan pemindahan kedutaan besar itu akan memperburuk konflik
Palestina-Israel.
"Jelas posisi
Pemerintah Indonesia sependapat mendukung Palestina agar Amerika Serikat tak
memindahkan kantor kedutaannya (dari Tel Aviv) ke Jerusalem," kata Wakil
Presiden Jusuf Kalla di kantornya, Rabu (06/12).
Menurut Kalla,
rencana Trump itu akan memperumit konstelasi konflik di Timur Tengah.
"Karena sumber banyak keruwetan itu konflik Palestina-Israel. Akan lebih
memperburuk," kata Kalla.
Sebelumnya Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan hal yang sama. "Rencana tersebut
akan mengancam proses perdamaian Israel-Palestina," kata Retno.
Ketua Umum Pimpinan
Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menilai sikap Trump
mempertegas posisi Amerika dalam konflik Israel dan Palestina.
"Ini
menjelaskan kepada dunia bahwa Amerika tidak dalam posisi bisa menyelesaikan
konflik Israel Palestina karena dia adalah bagian dari konflik itu
sendiri," kata Dahnil.
Menurut Dahnil,
umat Islam dapat mengambil pelajaran berharga dari sikap Amerika tersebut.
"Mereka justru produsen dari konflik, sikap Trump mempertegas itu,"
ujarnya.
Dahnil mendorong
pemerintah Indonesia untuk terus menyuarakan penolakan terhadap rencana Trump
tersebut. Apalagi terkait posisi Indonesia dalam organisasi negara-negara Islam
OKI.
"Tindakan
Amerika itu mencederai prinsip perdamaian dunia ... Indonesia harus bersikap
tegas di forum-forum internasional, dan menggalang dukungan dari negara-negara
lain," kata Dahnil.
Yerusalem adalah
kota suci bagi tiga agama besar: Kristiani, Islam, dan Yahudi. Di kota ini
terdapat situs-situs suci bagi ketiga agama tersebut. Antara lain Tembok
Ratapan (Yahudi), Gereja Makam Kudus (Kristen), dan Masjid al-Aqsa (Islam).
Rencana Trump
mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS ke sana
dianggap tepat oleh rabbi Yahudi di Indonesia, Benjamin Meijer Verbrugge.
"Karena pusat
pemerintahan Kerajaan Daud di situ (Yerusalem). Bukti kerajaannya masih ada.
Memang sudah garisnya begitu. Tidak ada urusan mau ada Amerika atau tidak
ada," kata Rabbi Ben, panggilannya.
Menurut Rabbi Ben,
ada bukti sejarah keberadaan Kerajaan Daud, berupa reruntuhan dan kuburan Raja
Daud di Yerusalem. "Jadi wajar dari sisi kitab suci, jelas bahwa tanah
perjanjian itu adalah milik bani Israel," kata dia.
Ide untuk
memindahkan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, tambah Rabbi Ben,
sejatinya sudah sejak lama. Cuma selama ini belum sempat terealisasi.
"Mungkin ada
maksud administratif yang lebih memudahkan. Tidak tahu apa kepentingan Israel
dan Amerika memindahkannya. Mereka tahu yang lebih baik," ujar Rabbi Ben.
Sementara itu
Monique Rijkers dari Hadassah of Indonesia, organisasi yang bergerak di bidang
edukasi isu-isu Yahudi dan Israel, mengatakan sejatinya Yerusalem sebagai ibu
kota Israel sudah sesuai dengan sejarah. "Dulu ibu kota kerajaan sekarang
(seharusnya) jadi ibu kota negara," katanya.
Menurut Monique,
apa yang dilakukan Trump soal pemindahan kedutaannya hanyalah pengakuan
administratif.
"Selama ini
kami mengenal Yerusalem ibu kota Israel. Cuma negara-negara lain menempatkan
pemerintahannya di Tel Aviv," kata Monique.
Meski Yerusalem
menjadi ibu kota Israel, kata Rabbi Ben, itu tidak akan mengubah wajah Israel
yang demokratik. "Semua agama berdoa di situ. Parade gay di Yerusalem juga
tidak ada masalah," ujar Rabbi Ben.
Menurut Rabbi Ben,
tidak ada yang dilukai dengan dijadikannya Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Kehidupan
berjalan biasa. Setiap hari orang Palestina bebas beraktivitas meski harus
melewati beberapa check point (pos pemeriksaan)," pungkasnya.
Suara KWI
Ketua Presidium
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ignatius Suharyo mengatakan
pemindahan ibu kota merupakan hal politik. Tidak menyangkut dengan keimanan.
"Bagi umat apa
pun, Yerusalem tetap akan jadi kota suci karena sebagai lambang. Iman Katolik
tidak akan berubah siapa pun yang menguasai Yerusalem," kata Suharyo.
Umat Katolik,
lanjut Suharyo, akan tetap menjalankan ibadah maupun ziarah ke Yerusalem karena
kepercayaannya. Terutama banyak kisah-kisah dalam kitab suci yang terjadi di
sana.
"Dalam iman
Katolik, Yerusalem adalah lambang damai sejahtera yang bukan sekedar
(kepentingan) politik, tapi damai sejahtera sejati yang utuh," kata
Suharyo.
Sumber: www.bbc.com, 7 Desember 2017
Ket foto: Presiden AS Donald
Trump dan PM Israel Benjamin Netanyahu berjabat tangan dalam pertemuan di
Yerusalem, Selasa (23/5).

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!