Oleh Asep Salahudin
Staf Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila;
Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
SIAPA pun pasti sulit
membayangkan sebuah negara tanpa kehadiran rakyat. Kalau sebaliknya bisa saja
terjadi: rakyat tanpa negara. Rakyat ternyata menjadi subyek utama dalam relasi
dengan negara.
Sistem teokrasi,
aristokrasi, atau monarki sekalipun ditegakkan "nawaitu"-nya untuk
menciptakan rakyat yang sejahtera. Apalagi demokrasi khitahnya sangat terang
dari, oleh, dan untuk rakyat. Pancasila dengan tegas, lewat sila kelima,
diteguhkan kesejahteraan bagi rakyat, bahkan seluruhnya. "Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia".
Demikian pula
riwayat kehadiran partai politik. Kelahirannya bertemali erat dengan maksud
sebagai saluran aspirasi rakyat. Lagi-lagi dari sisi pelabelannya sudah sangat
jelas, Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah). Sekadar "perwakilan",
tuannya yang paling hakiki, ya, rakyat itu sendiri.
Bung Hatta
menyebutnya dengan daulat rakyat. Dalam bukunya, Demokrasi Kita (1960), dengan
jelas Hatta menulis ihwal beban-kewajiban dan toleransi sebagai prasyarat demokrasi,
"Demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab dan
toleransi pada pemimpin-pemimpin politik". Bahkan, Bung Karno menahbiskan
dirinya "Penyambung Lidah Rakyat" dan rakyat dimaknainya sebagai
"komunitas marhaen".
Edmund Chan dalam
The Predicament of Democratic Man sebagaimana dikutip Parakitri T Simbolon
(2014) menulis, "Selama dua abad kita (Amerika Serikat) mencanangkan bahwa
rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan negara, dan kedaulatan rakyat
adalah landasan kekuasaan pemerintah. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan
menaruhnya di tangan para pengemban, kita terus-menerus memperluas hak-hak
pemilih. Dengan khidmat kita tegaskan bahwa warga negara ialah pemangku
kedaulatan tertinggi, yang atas namanya dan atas kekuasaannya, semua pejabat
bertindak dan berkarya. Anggota parlemen, pejabat pemerintah, dan lain-lain
yang kita pilih dan kita awasi lewat pemungutan suara dianggap mewakili kita,
dan tak lain daripada kita; mereka bicara dan bertindak untuk kepentingan dan
atas nama kita."
Seorang yang sering
disebut-sebut pemikir Islam puritan, Ibnu Taimiyah, dalam kajian politiknya
ternyata sangat maju. Dia bikin buku as-Siyasah asy-Syariyyah fi Ishlahi ar-rai
wa ar-raiyyah. Politik itu trajektorinya membangun kemaslahatan rakyat dan baru
kemudian pimpinannya. Dan siapa pun yang bisa memastikan terdistribusikannya
kemaslahatan itu dia yang paling mungkin menjadi pimpinan, tanpa harus melihat
latar belakang identitas etnik, budaya, atau agamanya.
Ibnu Taimiyah
bahkan menyimpulkan pemimpin kafir yang adil lebih utama dan harus didahulukan
ketimbang Muslim tetapi zalim. Kualifikasi kepemimpinan ukurannya bukan politik
identitas, melainkan moralitas, integritas, dan kapabilitas. Pernyataan itu
bukan disampaikan oleh aktivis partai Islam abad ke-20, tetapi Ibnu Taimiyah
yang menelaah. Ulama terpelajar yang hidup ketika persoalan agama masih dominan
dipercakapkan di ruang publik.
Kalau hari ini
politik identitas masih digoreng untuk kepentingan politik praktis dengan
menafsirkan ayat (dan mayat) secara serampangan dan demo berjilid-jilid tak
karuan, sesungguhnya peradaban kita tidak lebih maju dari masa silam.
Tidak netral
Negara tentu saja
seharusnya netral. Ideologi yang menjadi rujukannya semestinya menjadi payung
yang melindungi semua komponen rakyatnya. Negara tidak boleh berpihak kecuali
kepada kebenaran, kejujuran, kedaulatan, dan kebaikan bersama (common good).
Seorang yang
terpilih menjadi presiden dalam sistem presidensial, dia bukan hanya dituntut
menjadi kepala pemerintahan yang harus terampil memastikan mesin birokrasinya
jalan dan melayani rakyat, melainkan juga sebagai kepala negara yang memberikan
jaminan bahwa negara aman dari setiap potensi, rongrongan, dan gangguan yang
dapat merobohkan negara dan menumbangkan ideologinya.
Dalam konteks ini
Perppu Keormasan No 2/2017 bukan hanya penting, melainkan suatu keniscayaan.
Tidak hanya yang nyata-nyata memberontak, bahkan ormas keagamaan atau ormas
nonkeagamaan yang terang-terangan menampik Pancasila dan menolak UUD 1945 harus
ditertibkan.
Dalam fikih Islam,
"bughat" itu diperangi sampai akar-akarnya. Bukan persoalan melanggar
hak berserikat yang menjadi bagian hak asasi manusia, tetapi ada alasan yang
lebih substansial dan asasi: menjaga keutuhan bangsa. Jangan menunggu api semakin
berkobar. Ketika api ideologis yang bertolak belakang dengan dasar negara sudah
membubung besar, bukan hanya ideologi resmi negara yang akan gosong, melainkan
juga eksistensi negara dan segenap rakyat dipertaruhkan. Rontoknya
negara-negara di Timur Tengah dalam peristiwa "musim semi Arab" salah
satu faktornya adalah negara tidak pernah tegas menindak ideologi yang
menyimpang dari konsensus rakyat.
Kalau dahulu Bung
Karno memberangus DI, PRRI, komunisme, dan sebagainya, tindakan ini bukan hanya
diamanatkan konstitusi, melainkan juga langkah antisipatif supaya ideologi yang
berseberangan dengan Pancasila tidak tumbuh. Bung Karno sebagai tokoh besar
revolusi yang telah makan manis dan pahitnya keindonesiaan sangat paham
bagaimana seharusnya melawan kaum dengan agenda berbeda dalam kehidupan
berbangsa. Saya melihat penumpasan pemberontakan itu bukan untuk menyelamatkan
kekuasaan, tetapi ada hal yang lebih besar: memastikan NKRI tetap
"ada".
Pancasila
sesungguhnya dilahirkan kaum pergerakan, napasnya adalah ideologi kerakyatan.
Menampung semua komponen masyarakat sekaligus kalau kita perhatikan
merefleksikan sebuah ideologi yang menyatukan paham-paham besar. Sebut saja
misalnya agama, nasionalisme, dan marxisme-sosialisme. Betul jika Bung Besar
itu menyebut bahwa Pancasila seandainya dipadatkan akan menjadi trisila sosio
demokrasi/kerakyatan, sosio kebangsaan/nasionalisme, dan ketuhanan yang
berkebudayaan. Kalau dipadatkan lagi, intinya ekasila, gotong royong.
Sukma Nusantara
Gotong royong
inilah sejatinya yang menjadi sukma rakyat Nusantara. Gotong royong merupakan
roh kebangsaan dan bagian tidak terpisahkan dari napas budaya masyarakat.
Sebagai hemoglobin yang bikin sel darah merah itu terus mengalir dan tubuh
keindonesiaan tetap sehat jiwa dan raganya.
Etik imperatif gotong
royong adalah tolong-menolong, lapang dada, toleran, mementingkan orang lain,
tidak merasa benar sendiri, selalu menyelesaikan persoalan lewat musyawarah dan
mufakat. Persoalan itu sangat berat dan tidak mungkin dipikul sendiri, tetapi
menjadi ringan ketika melibatkan banyak orang.
Dahulu, itulah yang
menjadi alasan utama mengapa rakyat menaruh harapan kepada HOS Tjokroaminoto
dengan Serikat Islam-nya sehingga dia disebut ratu adil dan Raja Jawa tanpa
mahkota. Salah satu jawabannya karena HOS Tjokroaminoto menawarkan konsep
gotong royong yang dirumuskannya dalam ideologi sosialisme (Islam), bahkan
serikat itu sendiri artinya adalah persekutuan, gotong royong atau paguyuban
dalam bahasa Sunda.
Hari ini,
"rakyat" sering tampil di panggung hiruk-pikuk kenegaraan sekadar
atas nama. Malah tragisnya ketua rakyatnya sendiri digelandang menjadi
tersangka dari kasus urusan kartu tanda penduduk rakyatnya sendiri! Gejala
populisme di mana massa dimobilisasi elite agama (fundamentalisme-puritanistik)
dan pemodal (kapitalisme konservatif) untuk semata memburu pragmatisme
kekuasaan semakin menjauhkan rakyat dari khitahnya.
Itulah persoalan
politik kita yang belum selesai. Kita punya utang ideologis dengan sila kelima
yang tak pernah sudah, "Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia".
Sumber: Kompas, 8 Desember 2017

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!