Oleh
Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan & Sastrawan;
Tinggal di Yogyakarta
PADA akhir 2017 ada
baiknya kita mengingat keperihan yang dirasakan bangsa ini: situasi menuju
kiamat kesetiaan, yakni semakin menguatnya keberakhiran kesetiaan atas ideologi
dan idealisme (pada level publik) serta konstitusi (pada level negara).
Ketika para
penyelenggara negara/pemerintah kian cepat berlari meninggalkan rakyat, kiamat
kesetiaan ideologis dan konstitusional kian terasa hadir. Mungkin kita masih
melihat/mendengar orkestrasi kebaikan yang tecermin dalam praktik demokrasi,
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, pembangunan infrastruktur, pengampunan
pajak, pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, angka kemiskinan yang menurun, dan
bla-bla lainnya.
Namun, kita pun
menghadapi kian sulitnya rakyat menemukan akses ekonomi dan pendidikan
tinggi/bermutu, juga kesehatan, seperti tersedianya vitamin B kompleks dan
parasetamol, antibiotik berkelas puskesmas. Sempitnya lapangan pekerjaan.
Sulitnya mencari penghasilan layak. Biaya hidup tinggi. Harga- harga kebutuhan
yang makin sulit dijangkau. Mendadak kita merasakan seluruh lini kehidupan
berjalan dengan langgam kapital. Ternyata demokrasi tidak selalu identik dengan
kesejahteraan!
Ketika negara luput
membangun ekonomi berbasis pemerataan, otomatis keadilan jadi persoalan. Hanya
kalangan elite sosial yang bisa hidup layak, bahkan mewah. Rakyat kebanyakan
hidup dalam ketidakpastian. Sebebas apa pun rakyat, idealisme mereka tetap
rontok dihantam tuntutan kebutuhan rutin.
Dalam hidup serba
sulit, pragmatisme sempit dan materialisme radikal pun semakin menguat karena
semua orang ingin bertahan dan, bahkan kalau bisa, menjadi hedonis. Sementara
di kalangan yang kuat beragama, radikalisme pun menjadi pilihan dalam menjawab
ketidakadilan.
Lahirlah masyarakat
mesin yang hanya memiliki dua tombol: kepentingan dan uang/materi. Setiap
kepentingan bisa dipoles dengan nilai-nilai luhur hasil eksploitasi budaya,
agama, hukum, politik, dan sosial. Namun, semuanya selalu berakhir di muara
bernama uang/materi. Uang telah menjadi rezim.
Bapak tragedi asal
Yunani, Sophocles (496-406 SM), berabad-abad lalu telah mengingatkan: uang
adalah hasil kebudayaan paling buruk. Tak ada satu hal pun di dunia ini yang
paling meruntuhkan moral, selain uang. Namun, rasa malu itu kini telah digantikan
rasa bangga dan percaya diri dalam penguasaan uang sehingga pada umumnya orang
tidak pernah merasa cukup atas kekayaan harta miliknya.
Personalisasi
negara
Kita boleh bangga
memiliki presiden dan beberapa gelintir penyelenggara negara yang baik: punya integritas,
komitmen, kapabilitas, ditambah passion dan dedikasi. Namun, kebaikan saja
tidak cukup. Kompleksitas persoalan bangsa ini menuntut transformasi dan
operasionalisasi nilai-nilai kebaikan dalam sistem politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya yang sesuai dengan ideologi negara dan konstitusi. Tanpa hal
itu, segala nilai kebaikan hanya menjadi aksesori di tengah praktik oligarki,
korupsi, nepotisme, kolusi, dan persekongkolan jahat.
Berulang kali
negara kelimpungan menghadapi koruptor-koruptor kelas berat yang digdaya dan
sulit disentuh. Para penyelenggara negara yang berhati baik kurang memiliki
naluri petarung tinggi. Negara bahkan tampak diremehkan kaum bedebah itu.
Eloknya, negara tidak terlalu tersinggung. Dosis kesabarannya terlalu tinggi.
Harus diakui,
negara telah mengalami personalisasi. Seolah- olah negara ini hanya milik
sekelompok elite politik dan ekonomi. Berlakulah budaya rikuh pekewuh (sungkan), tak enak hati, untuk menegur dan menindak
tegas sesama kelompok elite yang melakukan penyimpangan. Inilah salah satu
akibat buruk pengelolaan negara berbasis oligarki. Hukum jadi tumpul. Sistem
macet dan mandul karena banalitas politik kepentingan yang sangat dominan.
Mereka menganggap negeri ini tak lebih dari koloni kekayaan yang wajib untuk
diisap hingga tinggal sepah.
Selama ini mereka
menganggap politik kotor, maka mereka merasa sah berbuat kotor. Padahal, yang
kotor pikiran dan jiwa mereka. Politik itu sendiri, seperti dikatakan Mahatma
Gandhi, tidak kotor, tetapi memiliki kemuliaan sebagai wahana kebudayaan yang
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat manusia di dalam bernegara.
Politik merupakan
sistem yang mengatur agar kekuasaan tetap berjalan di dalam rel
kebudayaan/peradaban sehingga pelaku politik tak menjelma jadi semacam hewan
buas dan brutal. Maka, ketika ada politikus yang bilang bahwa politik merupakan
pertarungan kekuasaan semata, bisa jadi dia tak mendalami politik sebagai
pengetahuan, ilmu dan seni yang berbasis logika (kebenaran), etika (keadaban),
dan estetika (keindahan).
Pengetahuan
mendorong pelaku politik memiliki horizon ide. Ilmu menawarkan kemampuan
metodologi dan analisis untuk menemukan berbagai jawaban atas persoalan publik.
Adapun seni merupakan kemampuan akal budi untuk menjawab dan memaknai persoalan
dengan cara-cara berbudaya dan bermartabat. Ini semua terbingkai kebenaran dan
moralitas. Karena itu, politik tak bebas nilai, tetapi terikat nilai. Di
situlah integritas, komitmen, dan kapabilitas menemukan relevansinya.
Turunannya adalah terbentuk dan beroperasinya negara kesejahteraan yang
bermakna bagi publik.
Kiamat kesetiaan
atas ideologi, konstitusi, dan rakyat dapat ditunda jika para penyelenggara
kembali pada kesadaran sangkan paraning
dumadi (asal mula kejadian), baik secara religius maupun sosial. Secara
religius, ajaran moral itu bisa dimaknai bahwa semua jabatan dan kekuasaan
berasal dari Tuhan dan harus bisa dipertanggungjawabkan penggunaan dan
pemanfaatannya. Secara sosial, menjadi penyelenggara negara dan pemerintahan
merupakan pilihan politik-etis untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan dan
keterbelakangan. Rakyatlah pemangku kepentingan dan pemilik saham terbesar
karena kedaulatan adalah miliknya. Otomatis para penyelenggara
negara/pemerintahan hanya mengabdi kepada rakyat, bukan kaum pemodal raksasa.
Sumber: Kompas, 20 Desember 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!