Oleh Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
PARTAI Golkar baru saja melalui momentum sangat krusial
terkait dengan eksistensinya di tengah krisis yang datang bergelombang.
Musyawarah nasional luar biasa (munaslub) akhirnya mengukuhkan posisi Airlangga
Hartarto sebagai nakhoda Golkar menggantikan Setya Novanto yang terjerembap
akibat kasus hukum yang dialaminya. Untuk kesekian kalinya, solusi yang
dilakukan Golkar sesungguhnya terletak pada dominannya peran komunikasi politik
dalam mengatasi krisis organisasi.
Manajemen krisis
Krisis yang dialami
Golkar belakangan sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Ketua Umum Golkar
yang sekaligus Ketua DPR RI ditetapkan tersangka yang kemudian menjadi
terdakwa. Selain merusak citra dan reputasi partai yang telah ada sejak era
Orde Baru ini, krisis bisa memantik bangkitnya faksi-faksi di internal untuk
kembali berkontestasi pascakonflik hebat dua kubu, yakni Agung Laksono dan
Aburizal Bakrie.
Krisis yang dialami
Golkar terkait dengan Novanto sebenarnya bisa disebut sebagai smoldering
crisis. Yakni krisis serius yang sesungguhnya terjadi di institusi, tetapi sedari
awal potensi krisis sesungguhnya sudah teridentifikasi. Krisis jenis ini
biasanya muncul akibat konflik internal atau persoalan hukum yang mengemuka.
Dalam konteks
Golkar, nama Novanto sudah lama disebut dalam kasus hukum termasuk kasus KTP-E.
Meski demikian, Novanto justru yang melaju menjadi alternatif di tengah
kerasnya perang faksi ARB vs Agung Laksono. Sudah bisa ditebak, Golkar akhirnya
tersandera oleh persoalan hukum yang dialami ketua umumnya. Waktu berjalan, isu
pun menjalar menjadi krisis.
Sesungguhnya dalam
konteks komunikasi, yang dialami Golkar ini sudah lama bisa diprediksi menjadi
krisis. Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues
and Crisis Management (2000:48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari
isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas terlebih
mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak. Tahap berikutnya
yang harus dikelola saat krisis melanda adalah dormant, yakni membuat situasi
menjadi normal, tenang jika gagal tentunya akan memorak-porandakan Golkar.
Golkar harusnya
menjadikan kasus Setya Novanto sebagai pelajaran berharga. Jika organisasi
dipimpin orang atau sekelompok orang yang memiliki persoalan hukum, sebesar apa
pun organisasi tersebut pelan tapi pasti akan menuju ke titik nadir krisis.
Pola krisis seperti ini meminjam tipologi krisis Larry Smith dari Institute for
Crisis Management, bukan kategori bizzare crisis yakni jenis krisis yang tidak
bisa diperkirakan dari apa yang telah dilakukan. Juga bukan sudden crisis alias
krisis yang datang tiba-tiba tanpa gejala apa pun.
Hal yang dialami
Golkar bisa masuk kategori perceptual crisis, di saat internal tidak menyadari
akan terjadi hal buruk, tetapi publik sesungguhnya telah memersepsikan terjadi
sesuatu yang salah, terutama dengan terpilihnya Novanto menjadi solusi krisis hubungan
antagonistis antarfaksi. Namun, penulis lebih pas menggambarkan krisis Golkar
ini sebenarnya ialah smoldering crisis, yakni tahu dan mengidentifikasi ada
masalah, hanya membiarkan masalah tersebut hingga akhirnya meledak menjadi
krisis.
Yang menyelamatkan
Golkar saat ini ialah posisinya dalam habitus kekuasaan. Setelah memutar haluan
politik dari pendukung dan pengusung Prabowo di Koalisi Merah Putih, Golkar
lantas menjadi bagian kekuasaan dengan memasukkan Airlangga Hartarto menjadi
representasi dukungan Golkar di Kabinet Kerja. Dukungan pada Jokowi di Pemilu
2019 menjadi peneguh posisi Golkar di habitus kekuasaan saat ini.
Saat krisis meledak
di penghujung masa kejayaan Novanto, Airlangga Hartarto menjadi sosok yang bisa
merekatkan semua faksi yang bertarung. Posisi strategis Airlangga menjembatani
Golkar dengan pemerintahan Jokowi sekaligus menjadi skema the best alternative
to negotiated agreement (BATNA) paling realistis Golkar saat ini. Itulah
mengapa saat nama Airlangga melambung, hampir semua faksi yang ada menahan diri
dan tak menghadirkan ‘huru-hara’ berarti di gelanggang munaslub.
Pascamunaslub
Golkar di bawah
Airlangga wajib melakukan kerja cepat, strategis, dan berorientasi penyelesaian
krisis secara sistemis pascamunaslub. Ada empat langkah strategis yang
sebaiknya menjadi prioritas. Pertama, strategi perubahan adaptif terkait dengan
konsolidasi internal. Golkar harus terbuka dengan perubahan serta punya
kesadaran hal ini tak bisa dihindari. Struktur partai harus diisi orang-orang
yang selain kompeten juga tidak bermasalah! Perombakan di jajaran pengurus
pusat Golkar dibutuhkan dalam konteks manajemen reputasi organisasi. Golkar
beruntung surplus dengan politisi berpengalaman. Hanya, ‘pemain bintang’ saja
tak cukup, butuh team work yang solid dan tidak egosentris.
Golkar butuh
dikelola dalam kebersamaan, bukan dijalankan seperti perusahaan, terlebih jika
bergantung pada oligarki elite yang korup. Akankah Airlangga menempuh perubahan
adaptif atau kembali ke pola lama, yakni membiarkan solusi ‘setengah hati’?
Kedua, manajemen reputasi politik yang dimulai dengan pengisian jabatan Ketua
DPR yang berasal dari Golkar secepatnya. Airlangga harus tegas dan berani
memilih orang yang relatif tidak bermasalah untuk mengisi jabatan Ketua DPR
karena akan menjadi perwajahan Golkar di muka publik. Pada posisi ini, Golkar
tak lagi bisa bermain-main dengan kepercayaan publik jika tak ingin terus
terpuruk. Saat Ketua DPR dipegang dan dikendalikan Novanto, banyak pemberitaan
negatif yang tak hanya merugikan DPR tetapi juga merugikan Golkar.
Ketiga, fokus pada
pengelolaan kontestasi elektoral di pilkada serentak 2018 dan Pileg serta
Pilpres 2019. Ada 171 daerah yang berpilkada dan di antara mereka terdapat
daerah-daerah kunci pertarungan (battleground) nasional seperti Jabar, Jateng,
dan Jatim. Hal yang penting dilakukan Partai Golkar ialah terukur dan konsisten
dalam setiap keputusan yang telah diambil. Misalnya dalam proses kandidasi,
jangan sampai hari ini memutuskan memberi rekomendasi, di lain hari dengan
mudah dicabut dan digantikan dengan rekomendasi kepada orang lain.
Dalam jangka
panjang, ini tak menguntungkan bagi Golkar karena akan muncul ketidakpercayaan
atas keputusan-keputusan dan sikap yang diambil partai. Contoh terdekat,
seperti dialami di Jabar di saat Golkar tak konsisten. Awalnya memberi
rekomendasi resmi ke Ridwan Kamil, tetapi berujung pada pencabutan dukungan
setelah pergantian nakhoda baru. Sebelum keputusan organisasi diambil, Golkar
harus mempertimbangkan banyak hal. Akan tetapi, setelah keputusan dikeluarkan,
konsistensi atas pilihan itulah yang harusnya dilakukan sebagai bentuk etika
dan keadaban berpolitik.
Keempat, bekerja di
publik. Golkar sebagai partai kekaryaan sudah cukup lama berkurang jauh
kiprahnya dalam hal-hal yang dirasakan kehadiran di publik. Banyak isu dan
tuntutan menyangkut kepentingan publik yang perlu diagregasi dan diperjuangkan
Golkar. Misalnya, Golkar bisa mulai dengan menghentikan manuver politisi mereka
di DPR yang berpotensi melemahkan KPK. Saatnya Golkar berbenah. Jika tidak,
perlahan akan punah!
Sumber: Media Indonesia, 21 Desember 2017

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!