Oleh Zuhairi Misrawi
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo;
Ketua Moderate Muslim Society (MMS)
TRAGEDI berdarah di Masjid Al-Raudhah, Bir
al-Abd, Sinai Utara, mendapat sorotan dunia. Peristiwa ini menjadi peringatan
penting bagi kita bahwa komplotan ekstremis sewaktu-waktu dapat melakukan aksi
brutal, termasuk di tempat suci, masjid sekalipun.
Bayangkan, puluhan
teroris mengepung sebuah masjid yang hendak melaksanakan shalat Jumat. Saat
khotbah Jumat berlangsung, para teroris memberondong jemaah dengan peluru
sehingga menewaskan 305 orang, termasuk 27 anak, dan ratusan lainnya luka-luka.
Grand Syaikh
Al-Azhar, Syaikh Ahmed Tayyeb, mengecam keras tragedi tersebut dengan menyebut
serangan para teroris sebagai bentuk pengkhianatan dan kejahatan. Aksi
terorisme merupakan tindakan hina yang tak mencerminkan nilai agama dan akhlak.
Bahkan, aksi tersebut dapat dikategorikan penyimpangan dari esensi agama,
kemerosotan moral, dan frustrasi akut.
Presiden Mesir
Abdel Fatah el-Sisi beberapa saat setelah kejadian langsung mengeluarkan
perintah kepada aparat keamanan untuk melakukan penangkapan dan perlawanan
besar terhadap para teroris. El-Sisi juga memberi peringatan kepada semua warga
Mesir agar waspada karena tiap saat para teroris dapat melakukan aksi tak
terduga.
Presiden El-Sisi
juga meminta kepada Donald Trump untuk serius melakukan upaya penumpasan para
teroris. Tidak lama setelah itu, Trump merespons dalam akun Twitter-nya dan
berjanji akan menumpas para teroris secara militer. Dunia diminta bersatu-padu
dan bahu-membahu untuk memberangus para teroris.
Teologi ekstremisme
Sudah bisa
dipastikan, setelah tragedi Masjid Al-Raudhah, Mesir melakukan langkah-langkah
besar dalam mencegah dan melawan teroris. Mesir mendapatkan momentum untuk
meningkatkan solidaritas di antara sesama bahwa para teroris merupakan musuh
bersama, yang setiap saat bisa menebarkan kejahatan dan kekerasan kepada siapa
pun.
Jika melihat
sasaran dan target aksi terorisme di Mesir dalam beberapa tahun terakhir,
terlihat betapa akar persoalannya adalah pemahaman yang salah, yang kemudian
melahirkan paham yang salah. Fathi Mahmud (2017) menyebut bahwa masalah
terbesar yang dihadapi Mesir di balik maraknya aksi terorisme adalah produksi
pikiran-pikiran ekstremis (shina'at al-tatharruf) yang masih terus berlangsung
melalui mimbar-mimbar keagamaan.
Salah satu yang
mencolok adalah menguatnya teologi ekstremisme, ditandai dengan pengafiran
terhadap pihak lain (al-takfir) dan disertai pembunuhan. Teologi ini rupanya
terus tumbuh dan tersebar tanpa dilakukan dekonstruksi secara serius.
Akibatnya, seseorang atau kelompok dengan mudah mengafirkan siapa pun yang
berbeda pandangan, baik seagama maupun tidak.
Kaum ekstremis di
wilayah Sinai dalam setahun terakhir sangat aktif menyebarluaskan paham
pengafiran. Mereka menggunakan media daring, al-Naba', yang secara khusus
mengafirkan komunitas sufi. Mereka juga mengancam menyerang tarekat
Al-Jaririyyah yang berada di Bir al-Abd.
Kelompok yang
dikenal dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Wilayah Sinai ini secara
terang-terangan menyatakan tarekat sufi Al-Jaririyyah dan mursyid tarekat,
Syaikh 'Id Abu Jarir, sebagai thoghut dan syirk. Para pengikutnya disebut
kafir. Tak hanya berhenti di situ, menurut NIIS Wilayah Sinai, para pengikut
tarekat Sufi Al-Jaririyyah wajib dibunuh.
Teologi ekstremisme
ini sangat mengerikan karena punya tujuan menebarkan kejahatan. Mereka ingin
menghabisi nyawa orang-orang yang divonis kafir. Padahal, di seantero dunia
Islam, kaum sufi dikenal sebagai orang-orang yang taat beribadah dan memilih
jalan spiritualitas dalam beragama.
Jika mencermati
maklumat yang dikeluarkan oleh NIIS Wilayah Sinai, serangan ke Masjid
Al-Raudhah bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi secara spontan. Kaum
ekstremis sudah punya rencana sangat matang untuk menyerang para pengikut
tarekat Al-Jaririyyah.
Mereka menebarkan
ancaman dan ujaran kebencian secara terbuka dan masif terhadap tarekat
Al-Jaririyyah. Karena itu, ujaran kebencian merupakan persoalan serius yang
tidak bisa dianggap sepele. Ujaran kebencian merupakan instrumen yang biasa
digunakan kaum ekstremis untuk memersekusi dan mendiskriminasi kelompok yang
dianggap berseberangan dengan mereka.
Sayangnya,
komunitas sufi dan kaum badui tidak mempunyai kesadaran penuh terhadap ancaman
kaum ekstremis NIIS Wilayah Sinai. Akibatnya, mereka tidak bisa mengantisipasi
serangan mematikan yang direncanakan oleh kaum ekstremis.
Padahal, menurut
The Tahrir Institute for Middle East Policy, dalam setahun terakhir ada 130
serangan yang dilancarkan oleh NIIS Wilayah Sinai di kawasan Sinai Utara. Sejak
2013 hingga 2017 ada 1.000 tentara yang tewas. Sekitar 200 tentara tewas pada
2017.
Teologi ekstremisme
telah terbukti tidak hanya membidik komunitas sufi, tetapi juga aparat
keamanan. Mereka punya tujuan yang tidak bisa dianggap enteng, karena mereka
sebenarnya ingin menguasai sebuah wilayah, sebagaimana telah dilakukan di Irak,
Suriah, dan Libya. Intinya, mereka ingin menjadikan Sinai Utara sebagai basis
gerakan.
Belajar dari Mesir
Masifnya serangan
kaum ekstremis ini menunjukkan teologi ekstremisme tak bisa dianggap sebelah
mata. Jika tidak diantisipasi dengan baik, akan berakibat fatal. Teologi
ekstremisme berhasil menumpulkan hati nurani dan cita rasa kemanusiaan, yang
akhirnya dapat membunuh orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah sekalipun.
Apalagi teologi
ekstremisme kian mendapatkan momentum karena tumbuh subur di wilayah Sinai
bagian utara yang terkenal terbelakang dan miskin. Abainya Pemerintah Mesir
terhadap nasib mereka menyebabkan sebagian dari warganya memilih menjadi bagian
dari komunitas ekstremis yang mematikan, seperti Al Qaeda dan NIIS.
Oleh karena itu,
kita dapat belajar dari peristiwa yang mematikan di Mesir ini. Pertama, kita
tak boleh menganggap remeh munculnya teologi ekstremisme dan ujaran kebencian
yang telah menjadi salah satu sumber akutnya masalah ekstremisme. Terorisme tak
akan pernah sirna jika teologi ekstremisme masih terus tumbuh dan diproduksi
melalui mimbar keagamaan dan media sosial.
Kelompok-kelompok
moderat harus bekerja keras melakukan deradikalisasi. Teologi ekstremisme harus
dikritisi secara serius dan digantikan dengan teologi cinta dan keramahtamahan.
Kita harus mencegah setiap upaya kaum ekstremis yang hendak melakukan
pembajakan terhadap esensi agama yang mengajarkan kasih sayang, toleransi, dan
harmoni.
Kedua, kita tidak
boleh mengabaikan hak-hak ekonomi, politik, dan sosial warga negara.
Kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan pengangguran merupakan kondisi obyektif
yang memungkinkan ekstremisme tumbuh subur. Mereka dengan mudah dimangsa oleh
kaum ekstremis.
Pemahaman yang
dangkal terhadap agama dan kondisi obyektif kemiskinan menjadi masalah serius
yang dihadapi oleh Mesir saat ini. Kondisi serupa dihadapi oleh negara-negara
Timur Tengah lainnya, seperti Libya, Suriah, Yaman, dan Tunisia. Negara-negara tersebut sedang menghadapi
masalah serius karena kelompok-kelompok ekstremis dapat menggunakan momentum
instabilitas politik dan ekonomi sebagai ladang subur bagi mereka untuk menanam
benih-benih teologi ekstremisme.
Kita di Indonesia
lebih beruntung dari negara-negara tersebut, tetapi kita juga tidak boleh
lengah sedikit pun. Teologi ekstremisme harus diamputasi dengan memberikan
pemahaman yang benar tentang nilai-nilai luhur dalam agama.
Sejatinya agama
dijadikan instrumen untuk saling menghormati dan saling menghargai di antara
sesama umat dan warga negara. Seperti kata Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945,
kita hendaknya membumikan ketuhanan yang berkebudayaan, yang saling menghormati
dan menghargai di antara sesama pemeluk agama, tidak fanatik, dan tidak egois.
Di samping itu,
pemerintah hendaknya terus bekerja untuk mewujudkan kedaulatan politik,
kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan. Langkah konkret
pemerintah dalam mengakselerasi program-program kerakyatan yang sangat masif
guna mengatasi kemiskinan adalah cara ampuh mengamputasi ekstremisme dari
akar-akarnya.
Sumber: Kompas, 5 Desember 2017

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!