Headlines News :
Home » » Pesan dari Cut Mutiah

Pesan dari Cut Mutiah

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, September 08, 2018 | 9:13 AM

Oleh Ansel Deri
Umat Paroki St Antonius Padua Bidaracina; 
Bekerja di DPR RI Senayan, Jakarta

TIGA jam sebelum menunaikan Ibadah Sholat Jumat, Presiden Joko Widodo menyambangi kantor Konferensi Waligereja Indonesia, Jumat (24/8) pagi. Tiba sekitar pukul 09.00 WIB di depan Kantor KWI, Jalan Cut Mutiah, Menteng, Jakarta Pusat, Kepala Negara disambut langsung Ketua KWI sekaligus Uskup TNI-Polri Mgr Ignatius Suharyo Pr, Sekjen KWI Mgr Antonius Subianto Bunyamin OSC, dan sejumlah uskup seperti uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM, uskup Atambua Mgr Domi Saku Pr, dan lain-lain.

Dalam silahturahmi penuh kekeluargaan, Jokowi didampingi Mensesneg Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Setelah melewati prosesi singkat penyambutan di halaman kantor KWI, rombongan presiden disambut langsung uskup Suharyo beserta para uskup, kemudian melakukan pertemuan tertutup.

Setelah melewati prosesi di depan KWI, yang berjarak sepelemparan batu dengan Masjid Cut Mutiah, rombongan menuju ruang pertemuan di lantai 2 KWI. Presiden menyampaikan sejumlah hal seputar kehidupan berbangsa dan negara. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan Pancasila dan keragaman perbedaan agama, suku dan budaya serta isu-isu kedaerahan.

Menarik

Sepintas, dari sudut pandang komunikasi politik, silahturahmi Cut Mutiah menarik dilihat dari sejumlah aspek. Tapi paling kurang ada tiga yang dapat dicatat. Pertama, Jokowi adalah presiden yang mendapat legitimasi rakyat selama memimpin negeri ini. Ia membangun Indonesia sepenuh hati, meski di sana sini masih perlu waktu membenahinya. Hasil-hasil pembangunan sungguh dirasakan masyarakat Indonesia, termasuk umat Katolik.

Karena itu, melalui KWI Jokowi hendak mengapresiasi sekaligus menitipkan pesan politik bahwa berbagai kemajuan yang dicapai presiden dan jajaran pemerintah mulai dari pusat hingga daerah, hal itu juga berkat dukungan masyarakat Indonesia, termasuk umat Katolik. Dengan demikian, pada pilpres 2019, masyarakat tentu ambil bagian mendukung dan memilih siapapun calon presiden yang sudah teruji dan memiliki rekam jejak (track record) terukur untuk memimpin bangsa dan negara lebih sejahtera, adil, makmur, bermartabat, dan berkeadaban. Negeri ini rasanya terlalu capai untuk dibangun para pemimpin sekadar retorika dan bicara meledak-ledak namun abai pada komitmen dan hati yang tulus.

Kedua, Jokowi bersilahturahim ke KWI sebaga institusi keagamaan yang tak hanya terdapat banyak orang pekerja keras dan tetapi tulus bersama pemerintah dan seluruh elemen masyarakat ikut membangun negeri ini. Namun, lebih dari itu Jokowi juga memastikan bahwa institusi keagamaan seperti KWI atau Muhammadiyah, NU, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, melalui para pengurus dan umatnya memiliki andil besar dalam ikut memajukan bangsa dan negara lewat karya nyata, pikiran dan gagasan maupun keterlibatan bersama pemerintah menyukseskan berbagai agenda pembangunan. Hal yang sudah dibuktikan sejak perjuangan merebut kemerdekaan.

Ketiga, silahturahmi ini juga bisa jadi memutus disinformasi di hadapan publik, termasuk Gereja atas berbagai kebijakan pemerintah selama ini. Contoh teranyar yaitu Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, saat menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI, Kamis, (16/9) lalu di Gedung DPR/MPR RI Senayan, yang dihadiri langsung Presiden Jokowi. Zulkifli yang juga Ketua Umum PAN mengeritik sejumlah hal, termasuk soal utang negara. Pidato itu disampaikan langsung di hadapan Jokowi.

Di era Jokowi, demikian Zulkifli, jumlah beban utang pemerintah yang mencapai tidak kurang dari Rp 400 triliun pada 2018. Jumlah ini setara dengan tujuh kali dana yang diberikan ke desa-desa atau enam kali dari anggaran kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Ini sudah di luar kewajaran dan kemampuan negara untuk membayar. Namun, bagi Presiden Jokowi informasi Ketua MPR RI itu melenceng. Dalam forum Sidang Tahunan MPR yang sama, dalam pidatonya Jokowi malah menyodorkan pencapaian pemerintah.

Misalnya, Indonesia berhasil merebut Freeport hingga Blok Rokan dari asing. Apa kata Jokowi selanjutnya? Setelah beberapa dekade berada di tangan pihak lain, Blok Migas Mahakam, Blok Migas Sanga-Sanga, Blok Migas Rokan, dan mayoritas saham Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi yang sebesar-besarnya digunakan bagi kemakmuran rakyat. Begitu pula ekonomi Indonesia yang bisa tumbuh di kisaran 5% dalam ketidakpastian ekonomi di dunia yang sedang berlangsung. Inilah cara efektif Jokowi menjegal disinformasi yang menyesatkan.

Mengapa komunikasi yang abai akurasi data itu kontroversial sehingga Jokowi perlu melakukan klarifikasi dengan data akurat? Jawabannya, terletak pada (pola) komunikasi (politik) yang efektif. Pola komunikasi yang efektif –meminjam Richard L Hughes (1996)– ditandai kemampuan mengirim dan menerima pesan dengan probabilitas bahwa pesan yang dimaksud benar-benar bisa diterima dan dipahami.

Pesan penting

Namun, lepas dari itu kunjungan Jokowi ke Cut Mutiah sekaligus meninggalkan pesan bagaimana Gereja menegaskan diri serta keberadaannya sebagai sakramen (tanda keselamatan Allah) di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut bagaimana Gereja menyadari spiritualitas politik dalam dirinya dan tetap semangat ikut membangun bangsa dan negara agar makin damai, adil, dan bermartabat.

Dalam Gereja Itu Politis (2012), Peter Aman OFM menguraikan posisi Gereja di tengah dunia. Gereja menegaskan dirinya serta keberadaannya sebagai sakramen –tanda dan sarana keselamatan serta persekutuan Allah dengan seluruh umat manusia di dunia. Hal ini menjelaskan satu hal pokok yaitu bahwa Gereja ada di dunia bukan untuk dirinya sendiri. Ia (Gereja) hadir untuk kepentingan seluruh umat manusia.

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes (GS) menjelaskan relasi yang erat antara Gereja dan dunia. Gereja hadir sebagai tanda dan sarana keselamatan. Di dalam keselamatan Allah itu hadir serta dialami: diamini secara eksplisit, diwartakan secara profetis, dan dirayakan secara liturgis. Karena itu, dari kehadiran dan tugas perutusannya Gereja mempersembahkan kepada dunia kekayaan spiritualnya dengan mewartakan Injil, pelayanan sakramen serta keterlibatan pastoral dalam bidang sosial, politik, dan kebudayaan.

Menurut Dr Paulinus Yan Olla MSF dalam Spiritualitas Politik, (2014), sejak lama Gereja Katolik yakin bahwa imannya mempunyai relevansi sosial. Allah yang diimani ditanggapi dalam situasi dan sosial-politik yang konkret. Gereja tidak ingin mencampuri urusan politik praktis untuk merebut kekuasaan. Namun, dalam statusnya sebagai pewaris nilai-nilai kerohanian, moral, dan saksi kebenaran, Gereja terus melayani manusia untuk berkembang dalam keutuhannya, termasuk dalam dimensi sosial-politisnya.

Dalam keterlibatannya dengan masalah sosial-politik, Gereja dalam spiritualitasnya menyumbang bagi dihormatinya martabat manusia dan pembangunan kesejahteraan umum. Nah, kunjungan Jokowi di Cut Mutiah menegaskan kembali peran Gereja sebagai umat Allah di dalam kehidupan sosial-politik. 
Sumber: Pos Kupang, 8 September 2018
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger