Headlines News :
Home » » Membaca Politisi Sontoloyo

Membaca Politisi Sontoloyo

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, October 31, 2018 | 1:57 PM


Oleh Ansel Deri
Alumni Undana Kupang 

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) kesal dan mengeluarkan term "sontoloyo" saat berlangsung pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (23/10/2018). Pasalnya, tatkala pemerintah menggelontorkan program dana kelurahan sebesar Rp 3 triliun, reaksi sejumlah politisi berupa kritik berseliweran. Padahal, dana dimaksud penting untuk membangun berbagai infrastruktur dan fasilitas di tiap kelurahan.

Bahkan boleh jadi Jokowi juga kesal karena dalam pengamatannya selama ini banyak politisi yang menggunakan cara-cara tidak sehat seperti politik adu domba, politik pecah belah, dan politik kebencian. Karena itu, Presiden Jokowi mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dengan kritik politisi. Jokowi, calon presiden petahana, rupanya geram. Apa katanya? "Hati-hati. Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo."

Sontak, sematan "politikus sontoloyo" tak sekadar membuat kuping segelintir politisi merah bahkan menjadi bahan pergunjingan dan diskusi elite politik di tingkat nasional namun juga menyasar elite politik lokal. Politisi Partai Gerindra Fadli Son menilai penggunaan kata "sontoloyo" itu tak pantas dilontarkan seorang Kepala Negara. Fadli menilai, "Saya kira itu kan istilah yang agak kasar." Begitu reaksi Fadli, yang saat ini menjabat Wakil Ketua DPR RI, di kantornya, DPR RI Senayan tak lama berselang.

Politisi lainnya, Hinca Pandjaitan, meminta Presiden Jokowi tidak antikritik. Kata Hinca, Sekjen Partai Demokrat, kritik adalah hal yang diperlukan dan lumrah dalam demokrasi. Kritik para politisi masih sesuatu yang normal. Hinca menilai, gaya komunikasi Jokowi agak berbeda dengan sebelumnya. Ia mengatakan, dinamika politik selama 5-6 bulan ke depan akan semakin dinamis dan hal itu akan membuat setiap politisi memperlihatkan karakter aslinya.

Kian menjauh

Mengapa Presiden Jokowi yang juga kader PDI Perjuangan geram kemudian "melabrak" perilaku segelintir politisi yang gemar memainkan irama politik adu domba, pecah belah, dan penuh dendam kesumat dengan sebutan "politikus sontoloyo"? Mengapa pula frasa itu seperti duri menusuk ulu hati? Lalu mengapa sebagian besar politisi kita begitu reaktif bahkan gusar dengan frasa "politikus sontoloyo"?

Hemat saya, paling kurang ada dua alasan mengapa Presiden Jokowi geram kemudian keluar sebutan "politisi sontoloyo?" Pertama, politik yang santun, etis, dan beradab kian menjauh dari hati dan sanubari segelintir elite politik kita dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka lupa hakekat hadirnya partai politik atau parpol menyediakan ‘rahim”-nya, tempat mereka (politisi) tumbuh kembang dan menempah diri menjadi calon pemimpin.

Padahal, kita tahu parpol lahir guna memenuhi syarat mutlak sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Ihwal berdirinya parpol juga tak lain untuk menyalurkan aspirasi rakyat melalui para kader yang duduk, misalnya, di lembaga legislatif. Namun, perilaku segelintir elite parpol dalam mengawal dan mengawasi kekuasaan kerap melenceng dan cenderung mengutamakan kepentingan kelompok maupun pribadi segelintir politisi ketimbang kepentingan umum.

Politik tak diarahkan menggapai kebaikan bersama (bonum commune), namun sengaja dibelokkan guna meraih kepentingan dan kebutuhan insidentil kelompok, golongan bahkan pribadi segelintir politisi. Arah politik politisi yang demikian boleh jadi oleh Jokowi dilabeli dengan sebutan "sontoloyo", yang merujuk pada makna leksikal: konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian).

Kedua, menjelang pilpres dan pileg 2019, suhu politik diprediksi kian memanas. Presiden Jokowi berkewajiban mengingatkan seluruh elemen masyarakat dan para elite politik untuk tidak saja berpolitik dengan santun tetapi juga berpijak pada etika dan moral untuk memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat. Ajakan demikian perlu karena bukan tidak mungkin, gaya berpolitik yang konyol, tidak beres, berpotensi digunakan sebagai senjata guna meraih simpati dan dukungan masyarakat terutama dalam menghadapi kontestasi mendatang.

Etika politik

Menjelang pilpres maupun pileg, politik yang santun dan beretika menjadi keutamaan. Nilai-humanitas dan keadaban yang merupakan fondasi atau pilar arsitektur politik, termasuk kejujuran dan tanggung jawab, perlu terus dimaksimalkan agar berfungsi dengan efektif demi kemajuan bersama. Ruang politik mestinya menjadi tempat membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sejahtera dan berkeadilan.

Dalam Kerasulan Politik (2013) Surip Stanislaus menyebut, belakangan ini nampaknya orang tidak enggan lagi berbicara tentang politik. Bisa jadi karena hiruk pikuk politisi bermasalah yang diekspose terang-terangan oleh mass media. Banyak orang pun makin melek dan asyik berpolitik. Namun, bagi orang yang beranggapan politik itu kotor, berbagai kasus moral yang sedang membelit para politisi seolah mengesahkan kebenaran anggapannya. Benarkan politik itu kotor?

Intinya, politik adalah proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat masyarakat dengan melibatkan sejumlah ketentuan politik untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Karena itu, rasanya tidak dengan sendirinya bahwa politik itu kotor. Bisa jadi karena para politisinya tidak berpolitik etis (seperti mengutamakan kepentngan partainya dan mencari keuntungan pribadi), maka praktek politik seperti itu menjadi kotor.

Frumen Gions (2012) berpandangan, sayang sekali kalau kita masih memahami politik melulu dengan perspektif serba negatif dan dengan begitu menumpulkan simpati untuk membangun masyarakat yang layak dihuni. Kenyataan-kenyataan buruk bisa muncul dalam kehidupan bersama lantaran kita sendiri tak lagi punya sensivitas untuk kehidupan sosial. Inilah sebabnya sekarang ini berbicara tentang politik sebagai partisipasi untuk kesejahteraan bersama pertama-tama berarti berbicara tentang pembalikan cara berpikir.

Politik bukanlah wilayah yang demikian kotor sehingga kita mesti mencuci tangan dan menyingkirkan diri dari tugas untuk berkecimpung di dalamnya. Kenyataan bahwa politik itu penuh dengan hasrat dan tindakan yang mengorbankan kesejahteraan umum seharusnya menggugah kita untuk lebih terlibat lagi sesuai dengan tugas panggilan kita masing-masing.

Pada simpul ini dibutuhkan juga politisi sungguh menjadikan rakyat, bangsa, dan negara kiblat utama pengabdian. Politisi yang tak berpolitik dengan cara-cara tidak sehat seperti politik adu domba, memecah belah, dan penuh kebencian. Kenyataan menunjukkan, masih ada saja segelintir elite politik yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat.

Bahkan tak jarang pula menyerang lawan politik dengan cara-cara yang kurang patut, tak beretika, dan abai tata krama. Menyerang lawan politik dengan cara-cara yang kurang elok seperti itu, bisa jadi serta merta membenarkan apa yang disebut Jokowi sebagai politisi "sontoloyo". Inilah tantangan politik kita ke depan. Tapi, satu hal pasti adalah bagaimana memanfaatkan kesadaran kolektif masyarakat untuk setia membangun dan merawat sifat-sifat keutamaan politik guna meraih kebaikan bersama seluruh anak bangsa. 
Sumber: Pos Kupang, 31 Oktober 2018
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger