Headlines News :
Home » » Catatan ke Gedung Peten Ina

Catatan ke Gedung Peten Ina

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, November 16, 2018 | 12:38 PM

Oleh Ansel Deri
Warga asal Boto, Nagawutun, Lembata 

AROMA dugaan korupsi pengadaan peralatan sound system tahun 2017 untuk aktivitas persidangan para anggota DPRD Lembata, mulai terkuak. Dalam proses pelaksanaan proyek di gedung Peten Ina (baca: DPRD) bernilai Rp. 1,2 miliar tersebut ada indikasi harga barang digelembungkan. Hasil audit BPK NTT menyebutkan, ada dugaan negara dirugikan lebih dari Rp 200 juta.

Nama Burhan Kia, petinggi Sekretariat DPRD Lembata juga terseret dalam dugaan korupsi tersebut. Burhan, sekretaris dewan, menyatakan siap diperiksa penyidik tipikor Polres Lembata. Selama ini, ia mengaku selalu kooperatif saat polisi memeriksa kasus ini. Tapi pemeriksaan Burhan sempat terhenti dan baru dilanjutkan. “Saya pasti tetap pada sikap yang sama yakni siap memberi keterangan kepada polisi." (PosKupang.com, 8/11 2018).

Kasus mark up tersebut melahirkan beberapa catatan. Paling kurang ada dua. Pertama, korupsi dan perilaku busuk masih akrab mengisi ruang di mana para wakil rakyat menunaikan tugasnya selaku pengemban mandat rakyat. Sinyalemen busuk seperti itu diperkuat survei Tranparency Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan DPR sebagai salah satu institusi terkorup di Indonesia (Bdk. Jangan Bunuh KPK ; 2009 hal. 45).

Kedua, dugaan korupsi tersebut di atas merupakan tamparan bagi para wakil terutama dalam memahami dan menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu legislasi, budgeting, dan pengawasan. Apalagi, masalah itu terjadi dalam ruang Peten Ina. Karena itu, para wakil rakyat juga perlu serius membantu aparat kepolisian mengungkap skandal tersebut guna membersihkan wajah DPRD di hadapan publik. Upaya membersihkan lembaga terhormat itu merupakan bagian dari tugas dan tanggungjawab wakil rakyat.

Korupsi

Kasus sound system di atas menunjukkan betapa korupsi tak sekadar terjadi di berbagai institusi di tingkat nasional namun juga di tingkat lokal dan sudah masuk fase mengkhawatirkan. Meski demikian, komitmen memberantas korupsi sudah terlihat sejak pemerintahan Presiden Yudhoyono dan diteruskan di era Presiden Jokowi. Yudhoyono dalam pidato akhir masa jabatannya di gedung DPR RI, Senayan, Jumat (15/8 2014) menegaskan, korupsi telah kita perlakukan sebagai kejahatan luar biasa yang penanganannya harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula.

Korupsi adalah sumber segala bencana dan kejahatan, the root of all evils. Koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang triliunan rupiah yang dijarah koruptor, misalnya, adalah biaya hidup-mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itu, koruptor adalah the real terorist. Adalah mimpi di siang bolong untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan serta mutu pendidikan, dan lain-lain bila korupsi masih dibiarkan menari-nari di depan mata.

Hasil riset Indah Harlina dkk, dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (2013) menyebutkan, korupsi merupakan permasalahan yang dihadapi semua pemerintah di dunia yang berlangsung baik di lembaga negara, lembaga privat maupun kehidupan sehari-hari karena terjadi abuse of power. World Bank mendefinisikan korupsi sebagai the misuse or abuse of public power to privat gain, yaitu penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Ada dua prinsip utama menentang korupsi. Pertama, korupsi merupakan sebuah kejahatan sosial yang harus diberantas melalui proses peradilan tindak pidana kejahatan. Kedua, peraturan-peraturan harus dibuat baik secara domestik agar proses peradilan tindak kejahatan menjadi efektif.

Dalam Negeri Para Mafioso karya Denny Indrayana (2008), Ahmad Syafii Maarif, menguraikan soal korupsi dan akibat yang menyertainya. Dalam kajian politik, korupsi –mengikuti dalil Lord Acton– dianggap sebagai produk kekuasaan, melalui pernyataannya power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely.

Dari sudut pandang ini, korupsi di Indonesia dapat dipahami sebagai produk atau warisan kekuasaan masa pemerintah sebelumnya dan diyakini telah direproduksi tanpa malu pada masa kini. Korupsi menyebabkan terjadinya pembusukan politik (political decay) sehingga perpolitikan negeri ini semakin terpuruk.

Korupsi –demikian Shanti Dwi Kartika (2013)– berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi seperti fenomena gunung es. Ia (korupsi) begitu mudah dijumpai dalam ruang pemerintahan baik pusat maupun daerah, kekuasaan politik dan birokrasi serta relasi sosial kemasyarakatan terkait pelayanan publik (public service).

Wakil rakyat

Potensi dan praktik korupsi seperti dugaan mark up peralatan sound system di DPRD Lembata tahun 2017 yang berimbas pada potensi kerugian negara, selalu hadir dalam setiap berganti rezim. Guna mengantisipasi potensi dan praktek korupsi, pemerintah juga tetap berkomitmen mengeliminasi praktek tersebut melalui berbagai regulasi guna mencegahnya.

Di lain sisi, korupsi tetap menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai dari pusat hingga daerah. Pada saat bersamaan, selain eksekutif dan yudikatif, lembaga legislastif dituntut untuk memainkan tugas dan fungsinya untuk mencegah terjadinya praktek korupsi. Kita tahu korupsi bisa terjadi di mana saja dan dilakukan oleh orang maupun kelompok.

Dalam konteks Lembata, hal itu menuntut kepekaan para wakil rakyat memaksimalkan tugas dan fungsinya untuk bersama-sama pemerintah memajukan lewotana, leu awuq yang pada 2018 merayakan ulang tahun ke-20 otonomi.

Para wakil rakyat di Peten Ina perlu menyadari tugas dan fungsinya. Pertama, fungsi legislasi. Fungsi ini berkaitan dengan kewenangan penyusunan peraturan daerah, yaitu menginisiasi lahirnya Ranperda dan juga membahas dan menyetujui/menolak Ranperda yang diusulkan eksekutif.

Kedua, fungsi budgeting yaitu menyusun dan menetapkan APBD. Ketiga, fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap implementasi perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah (baca: Pos Kupang, 31/8 2009).

Jika tugas dan fungsi tersebut ditunaikan dengan penuh tanggungjawab maka bukan tidak mungkin potensi korupsi dapat dicegah. Bila pencegahan korupsi dilakukan sejak awal maka upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), tercapai. Ini yang tentu juga menjadi kerinduan kolektif masyarakat terhadap anggota DPRD selaku pengemban dan penyambung lidah rakyat. 
Sumber: Pos Kupang, 16 November 2018
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger