Oleh
Ansel Deri
Warga asal Boto, Nagawutun,
Lembata
AROMA dugaan korupsi pengadaan peralatan sound system tahun 2017 untuk aktivitas persidangan para anggota
DPRD Lembata, mulai terkuak. Dalam proses pelaksanaan proyek di gedung Peten
Ina (baca: DPRD) bernilai Rp. 1,2 miliar tersebut ada indikasi harga barang
digelembungkan. Hasil audit BPK NTT menyebutkan, ada dugaan negara dirugikan
lebih dari Rp 200 juta.
Nama Burhan Kia, petinggi
Sekretariat DPRD Lembata juga terseret dalam dugaan korupsi tersebut. Burhan, sekretaris
dewan, menyatakan siap diperiksa penyidik tipikor Polres Lembata. Selama ini,
ia mengaku selalu kooperatif saat polisi memeriksa kasus ini. Tapi pemeriksaan
Burhan sempat terhenti dan baru dilanjutkan. “Saya pasti tetap pada sikap yang
sama yakni siap memberi keterangan kepada polisi." (PosKupang.com, 8/11 2018).
Kasus mark up tersebut melahirkan beberapa
catatan. Paling kurang ada dua. Pertama, korupsi dan perilaku busuk masih akrab
mengisi ruang di mana para wakil rakyat menunaikan tugasnya selaku pengemban
mandat rakyat. Sinyalemen busuk seperti itu diperkuat survei Tranparency
Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan DPR sebagai salah satu institusi
terkorup di Indonesia (Bdk. Jangan Bunuh
KPK ; 2009 hal. 45).
Kedua, dugaan
korupsi tersebut di atas merupakan tamparan bagi para wakil terutama dalam
memahami dan menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu legislasi, budgeting, dan pengawasan. Apalagi,
masalah itu terjadi dalam ruang Peten Ina. Karena itu, para wakil rakyat juga
perlu serius membantu aparat kepolisian mengungkap skandal tersebut guna
membersihkan wajah DPRD di hadapan publik. Upaya membersihkan lembaga terhormat
itu merupakan bagian dari tugas dan tanggungjawab wakil rakyat.
Korupsi
Kasus sound system di atas menunjukkan betapa
korupsi tak sekadar terjadi di berbagai institusi di tingkat nasional namun
juga di tingkat lokal dan sudah masuk fase mengkhawatirkan. Meski demikian,
komitmen memberantas korupsi sudah terlihat sejak pemerintahan Presiden Yudhoyono
dan diteruskan di era Presiden Jokowi. Yudhoyono dalam pidato akhir masa
jabatannya di gedung DPR RI, Senayan, Jumat (15/8 2014) menegaskan, korupsi
telah kita perlakukan sebagai kejahatan luar biasa yang penanganannya harus
dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula.
Korupsi adalah
sumber segala bencana dan kejahatan, the
root of all evils. Koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan
teroris. Uang triliunan rupiah yang dijarah koruptor, misalnya, adalah biaya
hidup-mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itu, koruptor
adalah the real terorist. Adalah
mimpi di siang bolong untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pelayanan
kesehatan serta mutu pendidikan, dan lain-lain bila korupsi masih dibiarkan
menari-nari di depan mata.
Hasil riset Indah
Harlina dkk, dalam Pencegahan Tindak
Pidana Korupsi (2013) menyebutkan, korupsi merupakan permasalahan yang
dihadapi semua pemerintah di dunia yang berlangsung baik di lembaga negara,
lembaga privat maupun kehidupan sehari-hari karena terjadi abuse of power. World Bank mendefinisikan korupsi sebagai the misuse or abuse of public power to
privat gain, yaitu penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi
atau golongan.
Ada dua prinsip
utama menentang korupsi. Pertama, korupsi merupakan sebuah kejahatan sosial
yang harus diberantas melalui proses peradilan tindak pidana kejahatan. Kedua,
peraturan-peraturan harus dibuat baik secara domestik agar proses peradilan
tindak kejahatan menjadi efektif.
Dalam Negeri Para Mafioso karya Denny
Indrayana (2008), Ahmad Syafii Maarif, menguraikan soal korupsi dan akibat yang
menyertainya. Dalam kajian politik, korupsi –mengikuti dalil Lord Acton–
dianggap sebagai produk kekuasaan, melalui pernyataannya power tends to corrupt, absolut
power corrupts absolutely.
Dari sudut pandang
ini, korupsi di Indonesia dapat dipahami sebagai produk atau warisan kekuasaan
masa pemerintah sebelumnya dan diyakini telah direproduksi tanpa malu pada masa
kini. Korupsi menyebabkan terjadinya pembusukan politik (political decay) sehingga perpolitikan negeri ini semakin terpuruk.
Korupsi –demikian
Shanti Dwi Kartika (2013)– berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Korupsi seperti fenomena gunung es. Ia (korupsi) begitu mudah
dijumpai dalam ruang pemerintahan baik pusat maupun daerah, kekuasaan politik
dan birokrasi serta relasi sosial kemasyarakatan terkait pelayanan publik (public service).
Wakil rakyat
Potensi dan praktik
korupsi seperti dugaan mark up
peralatan sound system di DPRD Lembata
tahun 2017 yang berimbas pada potensi kerugian negara, selalu hadir dalam
setiap berganti rezim. Guna mengantisipasi potensi dan praktek korupsi, pemerintah
juga tetap berkomitmen mengeliminasi praktek tersebut melalui berbagai regulasi
guna mencegahnya.
Di lain sisi, korupsi
tetap menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara mulai dari pusat hingga daerah. Pada saat bersamaan, selain eksekutif
dan yudikatif, lembaga legislastif dituntut untuk memainkan tugas dan fungsinya
untuk mencegah terjadinya praktek korupsi. Kita tahu korupsi bisa terjadi di
mana saja dan dilakukan oleh orang maupun kelompok.
Dalam konteks
Lembata, hal itu menuntut kepekaan para wakil rakyat memaksimalkan tugas dan
fungsinya untuk bersama-sama pemerintah memajukan lewotana, leu awuq yang
pada 2018 merayakan ulang tahun ke-20 otonomi.
Para wakil rakyat
di Peten Ina perlu menyadari tugas dan fungsinya. Pertama, fungsi legislasi. Fungsi ini
berkaitan dengan kewenangan
penyusunan peraturan daerah, yaitu menginisiasi lahirnya Ranperda dan juga
membahas dan menyetujui/menolak Ranperda yang diusulkan eksekutif.
Kedua, fungsi budgeting yaitu menyusun dan menetapkan APBD.
Ketiga, fungsi pengawasan yaitu
melakukan pengawasan terhadap implementasi perda dan peraturan lainnya,
pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah
dalam pelaksanaan pembangunan daerah (baca: Pos Kupang, 31/8 2009).
Jika tugas dan
fungsi tersebut ditunaikan dengan penuh tanggungjawab maka bukan tidak mungkin
potensi korupsi dapat dicegah. Bila pencegahan korupsi dilakukan sejak awal maka
upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), tercapai. Ini yang tentu juga menjadi
kerinduan kolektif masyarakat terhadap anggota DPRD selaku pengemban dan
penyambung lidah rakyat.
Sumber: Pos Kupang, 16 November 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!