Oleh
S Sahala Tua Saragih
Dosen LB Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
APA pun yang
terlalu atau berlebihan pastilah tidak/kurang baik. Mengerjakan apa pun,
terlebih-lebih yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak, niscaya
dibutuhkan kecerdasan, kedewasaan, kearifan, dan kebijakan. Inilah yang tidak
dimiliki banyak pekerja media massa (media), terutama wartawan, dalam kasus
pelacuran dalam jaringan (daring) yang melibatkan dua gadis, VA (artis) dan
temannya, AS, di Surabaya, Jawa Timur, baru-baru ini.
Tidak hanya para
pekerja media itu yang tak memiliki keempat sikap pokok tersebut, tetapi juga
banyak aktivis berbagai media sosial (medsos). Atas nama kemerdekaan berekspresi,
mereka bertindak seenaknya terhadap orang-orang yang masih berstatus tersangka.
Egoisme telah mematikan daya empati dan simpati mereka terhadap orang yang
sedang menderita.
Dalam siaran
persnya, Senin (7/1), Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyayangkan ekspos
yang berlebihan tentang perempuan (korban) pelacuran daring sehingga besarnya
pemberitaan melebihi proses pengungkapan kasus yang baru saja berjalan.
Pemberitaan banyak media sering kali mengeksploitasi korban, membuka akses
informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya
membuat masyarakat berpikir, korban (tersangka) memang ‘pantas’ menjadi korban
kekerasan, dan pantas untuk dihakimi.
Komnas Perempuan
dibanjiri pengaduan warga masyarakat tentang perilaku buruk para pekerja media
tersebut (tanpa menyebut satu-satu nama medianya). Protes warga masyarakat itu
menyatakan, pemberitaan yang terjadi sangat sewenang-wenang dan tidak
mempertimbangkan pihak perempuan yang terduga sebagai korban beserta
keluarganya. Selain nama, wajah tersangka juga ditampakkan sangat jelas, bahkan
keluarganya pun disebut-sebut.
Dalam siaran pers
yang ditandatangani Mariana Amiruddin, Budi Wahyuni, dan Indri Suparno, itu
diungkapkan, Komnas Perempuan telah melakukan sejumlah pemantauan dan
pendokumentasian berbagai konteks kekerasan terhadap perempuan yang berhubungan
dengan industri pelacuran atau perempuan yang dilacurkan. Mereka ialah
perempuan korban perdagangan orang, perempuan dalam kemiskinan, korban
eksploitasi orang-orang dekat, serta perempuan dalam jeratan muncikari, bahkan
bagian dari gratifikasi seksual. Sekalipun dalam level artis, kerentanan itu
kerap terjadi.
Makin kompleks
Komnas itu
mengkhawatirkan pelacuran daring sebagai bentuk perpindahan dan perluasan lokus
dari pelacuran daring. Ini menyangkut soal kriminalitas maya yang berbasis
kekerasan terhadap perempuan, terutama kasus revenge porn (balas dendam berbau pornografi), yang dapat berupa
distribusi citra atau percakapan tanpa seizin yang bersangkutan. Dalam catatan
tahunan Komnas Perempuan 2018, pengaduan langsung menyangkut revenge porn ini
semakin kompleks.
Komnas Perempuan
telah melakukan analisis berita sejumlah media yang telah melanggar kode etik
jurnalisme dan pemuatan berita yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara
seksual, terutama korban. Masih banyak media yang saat memberitakan kasus
kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, tidak berpihak
pada korban. Lembaga itu berkesimpulan, pelacuran ialah kekerasan terhadap
perempuan, tetapi pihaknya menentang kriminalisasi oleh siapa pun yang menyasar
pada perempuan yang dilacurkan.
Komnas Perempuan
mendesak penegak hukum (Polri) berhenti mengekspos secara publik penyelidikan
pelacuran daring di Surabaya itu. Pekerja media juga diminta untuk tidak
mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk VA yang diduga terlibat
dalam pelacuran daring, dan agar media segera menghentikan pemberitaan yang
berbau misoginis, serta cenderung menyalahkan perempuan.
Komnas Perempuan
juga meminta masyarakat untuk tidak menghakimi secara membabi buta perempuan
korban eksploitasi industri hiburan, terutama di berbagai medsos. Semua pihak
juga diminta untuk bersikap kritis dan mencari akar persoalan. Kasus pelacuran
daring hendaknya dilihat sebagai jeratan kekerasan seksual, yakni banyak
perempuan ditipu dan diperjualbelikan. Masalahnya tidak sesederhana pandangan
masyarakat bahwa pelacuran ialah kehendak bebas perempuan yang menjadi ‘pekerja
seks’ sehingga mereka rentan dipidana/dikriminalisasi.
Yang memprotes
perilaku buruk para pekerja media itu juga datang dari Ketua Dewan Pers Yosep
Adi Parasetyo (Stanley), Selasa (8/1). Dia menyatakan, pemberitaan kasus
tersangka VA dan AS sudah berlebihan (keterlaluan), bahkan cenderung menjurus
pada trial by press (penghakiman oleh
media). Pers telah bertubi-tubi ‘menghakimi’ secara massal seseorang tanpa
mengetahui latar belakangnya.
“Bagaimanapun, asas
praduga tak bersalah mesti diterapkan. VA dan AS adalah korban dari jaringan
prostitusi. Mereka tidak sendirian karena di sana ada muncikari, pengawal,
penjemput, dan sebagainya,” ucap Stanley (Kompas,
9/1). Ia menegaskan, sebelum keputusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum
tetap, nama-nama terduga pelaku kasus pelacuran semestinya disamarkan, cukup
disebut inisialnya, dan wajahnya diblur saat ditampilkan di media. Akan tetapi,
nyatanya media justru ‘berlomba-lomba’ menguak seputar kehidupan pribadi VA dengan
membeberkan mulai masa kecilnya, orangtuanya, hingga pacarnya yang jelas tak
ada kaitannya sama sekali.
Pemberitaan yang
telah keterlaluan itu, kata Stanley, juga berpotensi mengancam keselamatan VA
dan AS karena identitas mereka telah terkuak di ruang publik sebelum memberikan
keterangan lebih rinci kepada penyidik. Mereka bisa terancam dibungkam oleh
pihak-pihak lain yang terkait dalam sindikat itu. Karena itulah, ia
beranggapan, VA dan AS merupakan pelaku sekaligus korban.
“Mereka bisa
menjadi saksi kunci. Janganlah mereka dipermalukan, dibuat putus asa, apalagi
diseret-seret keluarganya. Beberapa media tampak ingin membuat drama dalam
menyampaikan pemberitaan,” katanya.
Egoisme media
Memang betul, dalam
dunia jurnalisme dari dahulu peristiwa atau fenomena seksual dalam arti sempit
atau erotika, memiliki nilai berita tinggi, apalagi melibatkan pesohor atau
orang-orang besar. Oleh karena itu, pemberitaan erotika selalu menjadi komoditas
media yang tergolong laris manis. Betul, pengusaha media berhak mencari uang
(laba) sebesar-besarnya dari perdagangan berita erotik. Akan tetapi, apakah
demi kepentingan diri sendiri (egoisme) boleh melanggar norma-norma hukum,
sosial, agama, dan etika profesinya sendiri? Bukankah media berfungsi membuat
dan menyiarkan berita-berita yang benar, baik, dan berfaedah bagi khalayaknya?
Bukankah media
wajib mendidik khalayak agar menjadi warga yang terpelajar dan menyajikan
hiburan sehat yang benar-benar dibutuhkan khalayak? Bila demi uang media
mengabaikan norma-norma yang berlaku dan etika profesinya, lalu apa bedanya
mereka dengan pelacur?
Sebagai warga
khalayak media, penulis sangat mengharapkan agar segenap pekerja media apa pun
memberitakan seks tidak dalam arti sangat sempit dan dangkal (erotika). Siapa
pun, termasuk anak-anak, kini bebas menyimak isi media apa pun. Oleh karena
itu, pekerja media perlu menyimak dan merenungkan kutipan buku FX Rudy Gunawan
dan Seno Joko Suyono yang berjudul Wild
Reality, Refleksi Kelamin & Sejarah Pornografi (2003).
“Akibat langsung
pengeksploitasian seks sebagai sebuah komoditas adalah pereduksian pengertian
orang terhadap seksualitas menjadi sekadar genitalitas dan organ sekunder
lainnya. Seks dianggap sebagai sesuatu yang biologis-fisik semata sehingga
maknanya hanya terfokus pada persetubuhan, sedangkan dimensi lain seks, seperti
dimensi perilaku, klinis, psiko-sosial, dan sosiokultural, menjadi terabaikan.
Seks akhirnya dipandang sebagai barang konsumsi belaka. Bila kita telah
memandang seks dengan cara ini, konsumsi itu bisa menjadi tak terkendalikan
lagi karena konsumtivisme memang dunia tanpa batas dan arah.”
Pekerja media,
terutama wartawan, mestilah dewasa dan kaya secara intelektual, emosional,
rohaniah, dan sosial, sehingga karya-karya mereka benar-benar berfaedah bagi
khalayak.
Sumber: Media Indonesia, 12 Januari 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!