Oleh Ali Usman
Dosen UIN Sunan Kalijaga dan
Sekolah
Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Yogyakarta
MINAL aidin wal
faizin, mohon maaf lahir dan batin ialah sebuah ungkapan lazim, populer di
kalangan masyarakat setiap memperingati Hari Raya Idul Fitri. Ungkapan itu
sebenarnya kurang bisa dipahami jika tidak mengetahui lafaznya yang lengkap, yaitu
ja'alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin (semoga Allah berkenan
mengembalikan diri kita kepada fitrah kesucian sehingga menjadi orang-orang
yang menang).
Itulah sebabnya
istilah Idul Fitri dengan jelas menunjukkan makna kembali kepada fitrah atau
kesucian. Mengapa disebut kembali? Karena di sana ada logika bahwa kita telah
bergerak dari suatu tempat/keadaan ke tempat lain, yang mengacu pada aktivitas
di dalam waktu.
Artinya, ketika
Allah meniupkan roh ke jasad manusia, hidup ini telah dimulai. Meminjam istilah
sastrawan Eropa, dante –sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat (2001)– hidup
manusia dimulai di alam paradiso (Arab: firdaus), yakni alam kebahagiaan karena
pada saat itu fitrah atau kejadian asal manusia masih suci dan bersih.
Sampai tiba masanya
manusia bersentuhan secara fisik maupun mental (kesadaran) dengan alam materi
yang membuatnya tidak lagi bersih dan suci. Semakin lama ia tenggelam dalam
kemeriahan alam materi, semakin kotor pula alam rohanianya, terjatuhlah manusia
itu ke alam inferno, alam kesengsaraan.
Dalam keadaan
demikian, untuk bisa kembali ke alam paradise, manusia harus melalui proses
perbersihan diri di alam purgatorio. Bagi umat Islam, alam purgatorio tersebut
tidak lain ialah bulan Ramadan, bulan istimewa yang didatangkan Allah SWT
sebagai rahmat, ampunan (magfirah) dan sekaligus sebagai pencegah agar manusia
tidak jatuh ke alam inferno.
Allah SWT
memberikan kesempatan kepada umat Islam, terutama di bulan Ramadan untuk
membersihkan diri dari materi alias dosa sehingga dapat masuk kembali ke alam
paradise yang membawa kebahagiaan, dilambangkan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Menuju rekonsiliasi
Islam melalui
nas-nasnya maupun institusi ibadahnya memberikan concern terhadap
maaf-memaafkan. Suatu dimensi sosial kehidupan yang menurut Alquran sangat
sentral untuk ditegakkan. Dari sinilah kehidupan kemasyarakatan yang sehat bisa
dimulai. Tidak baik memendam permusuhan.
Jika suatu
masyarakat telah tumbuh saling curiga dan semangat balas dendam, sebuah
pertanda bahwa masyarakat tersebut sedang sakit. Proses penyembuhannya tidak
lain kecuali melalui cara-cara damai, antara lain melalui konsep islah
(rekonsiliasi). Dengan konsep islah, manusia bisa saling mengenali secara baik
kultur kehidupan tiap-tiap individu untuk kemudian dicarikan penyelesaian
terbaik.
Prinsip saling
memaafkan ialah nilai-nilai moral agama yang cinta pada kedamaian dan
keharmonisan hidup. Bahkan, dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW sering
digambarkan bahwa betapa pun sering diperlakukan secara zalim, beliau toh tetap
memaafkan kezaliman para pelakunya.
Di antara sikap
Nabi yang mengesankan banyak orientalis ialah ketika terjadi Fathul Mekah
(pembebasan kota Mekah) dan Nabi memperoleh kemenangan. Di sanalah beliau
menunjukkan puncak akhlak kaum muslimin dengan memaafkan kezaliman kaum Quraish
Mekah yang selama bertahun-tahun hidup di Mekah, diboikot dan pengikutnya
dianiaya, bahkan ada yang dibunuh. Namun, Nabi sama sekali tidak menyimpan
dendam dan mengembangkan permusuhan.
Perilaku Nabi
tersebut sangatlah mengesankan sebab ketika kemenangan ada di tangannya, justru
kesempatan itu tidaklah digunakannya untuk menghukum musuhnya, apalagi sebagai
ajang balas dendam. Jika membalas kezaliman musuh, menurut Nabi, berarti kaum
muslimin sama derajat dan sifatnya dengan kaum kafir Quraish yang suka membuat
keonaran. Maka dari itu, Nabi lebih memperlihatkan sikap seorang penegak
kebaikan dan kebenaran daripada watak seorang penakluk dan pembunuh.
Alquran menyebut
kata 'dendam' yang terkait dengan gejala kemanusiaan setidaknya hanya dua kali,
yaitu dalam QS Al Hijr ayat 45-50 dan QS Al A'raf ayat 43. Redaksi kedua
ayatnya pun mirip, yaitu "Dan kami lenyapkan segala macam dendam yang
berada di dalam dada mereka."
Keduanya
dirangkaikan dengan keterangan mengenai keadaan surga. Jika dalam QS Al A'raf
pernyataan itu didahului dengan keterangan mengenai orang-orang yang beriman
dan beramal saleh. Sementara itu, dalam surat Al Hijr penjelasan di ayat itu
ditutup dengan keterangan bahwa Allah Maha Pengampun.
Kesimpulan ringkas
yang diisyaratkan dalam keterangan-keterangan Alquran di atas ialah bahwa sifat
dendam bukanlah sifat orang beriman sebab Allah sendiri Maha Pemaaf (QS As
Syura ayat 30). Allah juga mencirikan orang-orang yang beriman sebagai orang
yang apabila marah mau memberi maaf (QS As Syura ayat 36-37). Semoga.
Sumber:
Media Indonesia, 4 Juni 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!