Mudik lebaran itu tak sekadar berlibur ke kampung
halaman. Mudik itu pulang dalam makna yang dalam. Ada banyak keajaiban bisa
datang darinya. Bagaimana bisa?
MUDIK lebaran itu
pulang. Tidak sekadar pulang ke kampung halaman, meski itu lokasi yang dituju.
Ada memori dari
masa lalu. Ada nilai dari tempat asal. Ada pula cerita bersama sekelompok orang
yang mengenal diri kita sejak sama-sama belum disesaki embel-embel.
Seorang kawan dalam
salah satu perjalanan mudik beberapa tahun silam, menyebut, "Mudik adalah
menziarahi perjalanan diri sendiri hingga sampai ke titik pencapaian saat
ini."
Berat ya?
Dipikir-pikir, bisa
jadi memang begitu. Bukankah mudik itu misterius kalau dicermati?
Sudah tiket mahal
kalau naik transportasi umum, berjejalan, banyak pengeluaran untuk oleh-oleh atau
berbagi rezeki dengan kerabat di kampung, macet juga bagi yang mengendarai
kendaraan pribadi. Capek, sudah tentu.
JEO ini akan
mengorek ringkas asal-muasal tradisi mudik yang lekat dengan Idul Fitri di
Indonesia. Namun, mudik juga tak cuma soal sejarah, kerepotan, dan hal-hal
material.
Bahkan, mudik tahun
ini bisa jadi punya posisi strategis. Setelah sekian waktu anak bangsa tampak
"terbelah" oleh kontestasi politik praktis, mudik adalah momentum
untuk menguji bersama arti kita bersaudara di Bumi Indonesia.
Lalu, karena lekat
pula dengan Idul Fitri, mudik juga punya dimensi bernama "kata maaf".
Seperti apakah kekuatannya bila bukan semata ucapan hapalan di bibir? Ada
keajaiban menanti dari kekuatan maaf.
Riwayat
Dosen sejarah di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno
mengatakan, tradisi mudik lebaran ditengarai sudah ada sejak zaman Kerajaan
Majapahit dan Mataram Islam.
"Awalnya,
mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit
dan Mataram Islam," kata Silverio, saat diwawancara Kompas.com pada 6 Mei
2018.
Kala itu, kekuasaan
kerajaan Majapahit sudah sampai ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Oleh
karena itu, pihak kerajaan Majapahit menempatkan pejabatnya ke berbagai wilayah
untuk menjadi pemimpin setempat.
Para pejabat itu
pun akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan melihat kampungnya.
Hal itulah yang sering dikaitkan dengan mudik di Nusantara.
Silverio
menambahkan, selain Majapahit, mudik juga dilakukan dari Mataram Islam yang
berada di daerah kekuasaan.
"Mudik juga
dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan.
Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata Silverio.
Namun, istilah
mudik baru tren pada 1970-an. Tradisi itu dilakukan oleh perantau di berbagai
daerah untuk kembali ke kampung halamannya. Terutama, mereka yang bekerja di
Ibu Kota.
"Mudik menurut
orang Jawa itu kan dari frasa mulih dhisik yang bisa diartikan pulang dulu.
Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang
(merantau)," ujar Silverio.
Selain itu, mudik
juga kerap dikaitkan dengan kata dalam bahasa Betawi, yakni "udik"
yang berarti desa atau kampung. Sejarawan JJ Rizal, mengatakan, secara bahasa,
mudik memang asalnya dari kata "menuju ke udik" atau kembali ke desa.
Kata mudik menjadi
lekat dengan bahasa Betawi tak bisa dilepaskan dari arus urbanisasi
besar-besaran ke Jakarta.
Kebijakan ekonomi
pemerintah sejak awal Orde Baru yang membuat ekonomi berputar lebih cepat
dengan perputaran uang berpusat di kota ini, menjadi penjelasannya.
Mengecapi Memori
Dosen komunikasi
politik Universitas Paramadina, Eka Wenats Wuryanta, menyebut mudik sebagai
tradisi balik ke sumber.
"Mengembalikan
kapital sosial, bentuk dari rekonsiliasi sosial secara tidak langsung melalui
adat dan budaya," ujar Eka lewat percakapan telepon, Senin (3/6/2019).
Dikaitkan dengan
agama, Eka pun berkeyakinan mudik bisa menjadi salah satu sarana pereda polarisasi
akibat kontestasi politik.
"Kesalehan
sosial yang didengungkan selama Ramadhan dan bersimpul pada perayaan lebaran,
seharusnya bisa efektif memulihkan relasi sosial masyarakat," sebut dia.
Ibarat kata, mudik
bersama seluruh rangkaian ritualnya adalah oase untuk mengembalikan rajutan
keluarga dan sosial.
"Ini oase yang
sebenar-benarnya oase. Diingatkan dari tahun ke tahun," kata Eka.
Dalam oase bernama
tradisi mudik ini, lanjut Eka, nuansa permaafan juga kental, membawa setiap
insan ke kondisi asali dan polos.
"(Termasuk
untuk) membuka kemungkinan-kemungkinan tentang kebenaran, kejujuran, keadilan
(atas relasi-relasi sosial di kenyataan). Ini yang harus terus diperjuangkan ke
depan," ungkap Eka.
Tantangannya, sebut
Eka, tradisi ini jangan sampai hanya berhenti pada kerepotan cara pulang
kampung dan atau basa-basi permintaan maaf yang menyertai ucapan selamat
merayakan hari raya.
"indonesia
kalau dilihat benar-benar, selalu ada yang mengejutkan. Bahkan seusai dihantam
beragam persoalan karena kontestasi politik, ada sarana atau medium seperti
mudik bersama ritual-ritualnya yang berpeluang mengembalikan kedamaian,"
papar Eka.
Karenanya, Eka
berpendapat, mudik lebaran —terutama pada tahun ini— semestinya tak cuma kental
muatan sentimental sosial.
"Bisa lebih
bermakna untuk mengembalikan rekonsiliasi sosial. Dengan segala
ketidakpercayaan kemarin-kemarin, ayo balik lagi. Jangan hanya berpikir
kepentingan pendek, tapi pikirkan (kita semua sebagai) keluarga. Pulang."
Bahkan, Eka
menganalogikan situasi polarisasi Indonesia seperti situasi rumah tangga yang
sedang berhadapan dengan krisis. Pada saat seperti itu, salah satu upaya yang
jamak dilakukan untuk menenangkan pikiran dan menentukan langkah ke depan
adalah pulang.
"Pulang untuk
membangkitkan memori. Ini juga sama. Memori kerukunan, kejujuran, kepercayaan.
Pulang itu mengecapi, merasakan kembali, makna-makna yang baik dalam relasi
sosial," papar Eka.
Modal Sosial Khas Indonesia
Setali tiga uang,
pengajar komunikasi politik Universitas Diponegoro, Wijayanto, menyebut mudik
adalah ritual tahunan yang sekaligus adalah modal sosial khas Indonesia.
Sejauh
pengalamannya menempuh pendidikan master dan doktoral di luar negeri, Wijayanto
mengatakan, tradisi mudik dan bermaaf-maafan untuk merayakan Idul Fitri tak dia
jumpai bahkan dari koleganya dari negara-negara berpenduduk Muslim.
"Mudik itu
sangat berbau antropologis, bercampur budaya kita. Ada sungkem ke orangtua dan
saudara. Lalu ada tradisi ujung-ujung, sowan atau bersilaturahim ke tetangga.
Itu khas sekali," ungkap Wijayanto, dalam perbincangan melalui telepon,
Senin (3/6/2019).
Selain antropologis
dan spiritual, lanjut dia, mudik juga kental nuansa sosiologis bahkan
komunikasi politik.
"Lebaran dan
mudik itu momentum yang menyentuh sampai ke alam bawah sadar individu,
melampaui momentum politik lima tahunan. Saya yakin ada dampaknya untuk meredam
pembelahan politik yang kemarin-kemarin terjadi," kata Wijayanto.
Terlebih lagi,
tutur Wijayanto, polarisasi yang mencuat selama kontestasi politik nasional
juga merengkuh ruang-ruang relasi sosial. Ini, kata dia, terkait pula dengan
karakter pemilu di Indonesia yang cenderung berbeda dengan negara lain sesama
pengikut sistem demokrasi.
Di negara lain,
ujar Wijayanto, pelaku aktif kampanye adalah partai politik. Adapun di
Indonesia, peran itu dijalankan oleh tim sukses. Cara yang ditempuh tim sukses ini,
sebut dia, adalah menggarap relasi sosial mulai dari arisan, grup percakapan.
"Semua saluran
untuk berinteraksi atau berelasi sosial cenderung terpolitisasi selama masa
pemilu. Silaturahim pada momentum mudik ini menjadi ajang yang pas untuk saling
memaafkan kembali," harap dia.
Setidaknya,
Wijayanto berharap momentum mudik dan berlebaran akan menjadi cara untuk
meredakan ketegangan di akar rumput. Akan lebih bagus lagi bila kalangan elite
politik nasional juga melakukan rekonsiliasi menggunakan momentum ini.
Bagi Wijayanto,
Indonesia juga patut mensyukuri Pemilu 2019 berdekatan waktu dengan Ramadhan
dan Idul Fitri. Momentum religius ini dia yakini cukup mengurangi risiko tensi
politik yang lebih besar dari pemilu yang baru saja lewat.
Meski tidak serta
merta menyelesaikan semua imbas kontestasi politik, Wijayanto berpendapat bahwa
mudik memang memenuhi teorema terkait modal sosial.
"Ini secara
teoritik. Modal sosial itu mencakup antara lain kohesivitas, kepercayaan,
keterbukaan," ujar Wijayanto.
Teori modal sosial
dicetuskan Robert David Putnam pada 1941. Saat itu dia menelisik mengapa
kawasan utara Italia lebih maju daripada kawasan selatan Italia. Hasilnya, dia
menyebut modal sosial di kawasan utara Italia merupakan jawaban yang
menjelaskan perbedaan kondisi tersebut.
"Di kita,
halal bihalal itu salah satu modal sosial yang kita punya. Sarana membangun
lagi kepercayaan, komunikasi, silaturahim," ujar Wijayanto.
Sebagaimana hadist
nabi pula, silaturahim disebut sebagai salah satu cara yang bisa membuat awet
muda, panjang umur, dan bahkan banyak rezeki.
Rasionalisasinya,
jalinan modal sosial berupa interaksi akan membuka pula peluang-peluang lain
termasuk ekonomi. Di sini, teori modal sosial Putnam mendapatkan tempat.
"Bangsa dengan
modal sosial yang baik akan lebih tahan menghadapi krisis dan tantangan,
termasuk soal persatuan bangsa. Ini karena ada mekanisme norma institusi sosial
itu tadi," tutur Wijayanto.
Kekuatan Maaf
Kata maaf mungkin
memiliki dampak yang berbeda-beda bagi orang per orang, dengan intensitas
memberikan maaf yang berbeda-beda pula. Meski begitu, yakinlah ada kekuatan
dari kata maaf ini. Bahkan, keajaiban.
Untuk mendapatkan
keajaiban itu, syaratnya tidak susah. Selama orang masih punya stok maaf dalam
dirinya, baik untuk meminta maupun memberikan maaf, keajaiban itu bisa muncul
lagi dan lagi.
Dalam sebuah
pelatihan yang penulis ikuti, para peserta diminta memejamkan mata. Hening.
Semua orang diminta
melakukan perjalanan virtual ke masa lalu. Mencari residu sakit hati, dendam
kesumat, ataupun kejadian traumatis terkait hubungannya dengan sesama manusia
di masa lalu.
Setelah residu sakit
hati itu ketemu, setiap orang diminta
memaafkan mereka yang telah menyakiti itu. Sebesar apa pun kesalahan yang telah
diperbuat orang tersebut, diminta untuk
rela dimaafkan.
Ibarat gim atau
permainan, target perburuan perjalanan virtual itu adalah mencari luka-luka
batin akibat hubungan buruk yang belum termaafkan.
Cari induknya, dan
untuk menghancurkan residu itu maka tembakkanlah seratus maaf. Jika kurang,
seribu, selaksa, bahkan sejuta maaf yang
kita miliki.
Terasa berat dan
sakit. Namun, saat residu itu rontok,
jiwa seolah ringan, terbang melayang, seolah lahir menjadi manusia tanpa
beban, kembali ke fitrah manusia yang memang penuh maaf.
Usai prosesi
tersebut, instruktur memberi aba-aba
agar peserta mengakhiri perjalanan virtualnya. Peserta lalu diminta membuka
mata kembali.
Tiba-tiba…. ”bruk...”,
terdengar teman di sebelah saya terjatuh dari duduknya. Tubuhnya lunglai,
lemas, dan air mata tampak meleleh. Dia jatuh pingsan. Instruktur pun segera
membangunkannya.
Beberapa saat
kemudian, teman tersebut bangun. Sesenggukan dan linangan air mata seolah
mengatakan semua yang terjadi. Semua peserta lain diam, tak ada yang berani
bertanya apa yang sedang terjadi.
“Sakit…,” kata dia
seusai meminum segelas air yang diberikan instruktur. “Kesalahan dia sebenarnya
sudah saya lupakan. Tapi belum pernah benar-benar saya maafkan. Sekarang saya
sudah memaafkannya. Proses memaafkannya itu yang sakit, tapi setelah itu
rasanya lega,” lanjut dia beberapa saat kemudian.
Untuk alasan kasus
seperti inilah, instruktur tak membolehkan peserta mencoba cara itu sendirian
di rumah. Harus ada pendamping. Kedengarannya sepele, tapi dendam kesumat dan
luka batin adalah “racun” atau energi negatif yang bisa menggerogoti jiwa
seseorang.
Jika seseorang
telah mampu memaafkan kesalahan orang lain yang dianggap sebagai kesalahan
terbesar yang pernah dilakukan pada diri kita, maka kesalahan-kesalahan kecil
lainnya sudah tentu mudah untuk dimaafkan.
Orang-orang yang
telah memaafkan masa lalunya, mampu berdamai dengan keadaan masa lalu, lebih
ringan menghadapi masa depan sesulit apa pun itu. Orang-orang yang ringan
memaafkan, jiwanya lebih sehat, mudah lepas dari rongrongan sakit hati.
Kata-kata maaf, entah
meminta maaf atau memberikan maaf, ternyata berkhasiat seperi terapi pada diri
kita sendiri. Istilahnya, auto-healing, yang bisa menyembuhkan diri sendiri.
Luka batin masa
lalu, entah karena disakiti “mantan”, disakiti musuh, dikhianati orang
kepercayaan, difitnah rekan kerja atau orang terkasih, atau karena cekcok
dengan keluarga, tak semestinya dibawa lari sepanjang hidup.
Luka itu harus
dibasuh, dibalut, hingga akhirnya kering dan sembuh. Obat apa yang bisa
membasuh dan menyembuhkan luka seperti itu? Tak ada obat kedokteran dan tak ada
ahli kedokteran yang mampu menanganinya. Hanya kekuatan maaf pada diri kita
masing-masing yang bisa melakukannya.
Saatnya memaafkan
“The power of maaf” ini memang tiada tara. Orang-orang pemaaf cenderung
memiliki kesehatan jiwa yang powerfull.
Bayangkan bila
seluruh anak bangsa yang selama berbulan-bulan saling mencaci di media sosial
menjalankan ini semua.
Buat apa? Untuk
bersama-sama melangkah dan membangun negeri yang tak bisa disanggah sedang
tertinggal dibanding "teman-teman sebaya" yang merdeka semasa seperti
Korea Selatan bahkan Malaysia dan Singapura.
Mudik lebaran dan
Idul Fitri, untuk kesekian kali, dapat menjadi pilihan momentumnya. Sekalipun,
permaafaan tak harus menunggu lebaran, sejatinya.
Mudik itu pulang.
Pulang menemui keluarga tercinta, pulang merawat cinta yang tak
terkata-katakan, menjalin tali persaudaraan, menjumpai masa lalu, berdamai
dengan keadaan, pulang membasuh luka batin, serta pulang untuk meminta maaf dan
memaafkan mereka yang telah menyakiti kita.
Pada akhirnya, jika
kita berlapang dada untuk meminta maaf atau memaafkan, inilah momentum pulang
menjemput energi berlimpah dari kekuatan maaf. Bukan untuk siapa-siapa, tapi
untuk diri kita sendiri dan ujung-ujungnya adalah kita sebagai bangsa sekaligus
umat manusia.
Biar tidak terlalu
berat apalagi rumit, lagu lawas ini semoga bisa bikin senyum-senyum sendiri
sembari mudik lebaran dan merawat kekuatan maaf.
Sumber: Kompas.com, 3 Juni
2019
Ket foto: Mudik lebaran
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!