Oleh Alexander Aur
Dosen Filsafat Fakultas
Liberal Arts
Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten
PEMILIHAN umum
(pemilu) legislatif dan presiden-wakil presiden berlangsung dalam suasana
tegang. Suasana itu terpantul dari beberapa gejala berikut. Pertama, serangan
hoaks atau informasi palsu dan bohong. Pihak-pihak tertentu memproduksi
sedemikian rupa hoaks tentang para calon legislator, calon presiden-wakil
presiden, dan partai politik-partai politik peserta pemilihan umum. Hoaks
tentang hal-hal tersebut memenuhi ruang publik media sosial.
Aneka hoaks mengaduk-aduk emosi warga negara. Sikap saling curiga dan saling menuduh antarwarga negara pun terjadi. Segala informasi politik, baik informasi palsu maupun informasi benar direspons secara emotif.
Kedua, rasa takut berkelindan dalam benak warga negara. Pemilu rusuh, mendapat hambatan saat pencoblosan surat suara, ada pembukaan dapur umum sebagai modus intimidasi, merupakan beberapa contoh ungkapan rasa takut.
Rasa takut tersebut melahirkan paranoia politik dan menjelma dalam diri warga negara. Paranoia politik ialah gangguan mental yang bersifat politis yang disebabkan berbagai disinformasi politik. Berbagai disinformasi politik diselami warga negara sebagai hal yang benar dan mengancam kohesi sosial, serta menggerus semangat kebangsaan-kenegaraan Indonesia.
Ketiga, menguatnya politik identitas berbasis agama. Selama masa kampanye, sentimen politik identitas berbasis agama dipompa terus-menerus ke ruang publik media sosial oleh pihak-pihak tertentu. Hal tersebut melahirkan sikap kecurigaan terhadap adanya agenda politik tertentu yang anti Pancasila.
Situasi menegangkan yang ditandai dengan gejala-gejala tersebut berlanjut setelah pemilu. Pihak-pihak yang tidak mau menerima kekalahan merespons hasil pemilu dengan menggelar demonstrasi ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Demontrasi berujung pada kerusuhan. Beberapa warga negara meninggal dunia akibat kerusuhan tersebut.
Pendidikan politik
Idealnya, pemilu merupakan salah satu bukti dan momen pendidikan politik. Sebagai bukti keberhasilan pendidikan politik, pemilu merupakan tindakan epistemik dan etis warga negara. Warga negara memahami bahwa pemilu merupakan salah satu wujud demokrasi prosedural.
Meskipun demokrasi prosedural merupakan demokrasi minimal, warga negara tetap mengungkapkan tanggung jawab etisnya terhadap demokrasi itu sendiri dan terhadap negara, dengan cara memilih wakil rakyat dan presiden-wakil presiden. Tindakan epistemik dan etis tersebut merupakan buah dari pendidikan politik yang berlangsung sebelum pemilu.
Sementara itu, pemilu sebagai momen pendidikan politik dapat dilihat setelah penetapan secara hukum dan pelantikan para wakil rakyat dan presiden-wakil presiden. Pascapemilu warga
negara mengonsolidasi dan mengorganisasi diri sebagai masyarakat sipil (civil
society) untuk mengawal secara kritis solutif para wakil rakyat dan
presiden-wakil presiden dalam menjalankan mandat publik (rakyat).
Dengan kata lain,
pemilu merupakan momen politis yang membuka kesadaran warga negara akan dimensi
epistemik dan etis politik dalam dirinya. Kesadaran itu mendorong warga negara
untuk menggerakkan dimensi tersebut dalam dirinya, melalui partisipasi kritis
dengan para wakil rakyat dan presiden-wakil presiden mewujudkan kebaikan dan
kebahagiaan umum.
Demokrasi
substansial terwujud manakala warga negara memiliki dan mewujudkan dimensi
epistemik dan etis politik dalam dirinya setelah pemilu. Itu berarti,
warga-negara bertanggung jawab terhadap perwujudan kebaikan dan kebahagiaan
umum.
Kualitas kerja publik
yang baik dan benar menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan umum. Hasil itu
dijamin partisipasi publik warga negara. Jadi, kebaikan dan kebahagiaan umum
terletak pada partisipasi publik warga negara dan terwujudnya hasil kerja
publik.
Pertanyaan selanjutnya;
apakah Pemilu 2019 merupakan bukti keberhasilan dan momen pendidikan politik
bagi warga negara? Mengacu pada tiga gejala yang disebut penulis pada awal
tulisan ini, sesungguhnya Pemilu 2019 belum cukup memadai sebagai bukti
keberhasilan dan momen pendidikan politik.
Dimensi politik
Pemilu tahun ini
yang berlangsung dalam suasana tegang dan disusul dengan tindakan rusuh para
pihak yang tidak menerima hasil pemilu tanpa alasan memadai, mencerminkan
praktik pendidikan politik belum cukup baik. Meski demikian, Pemilu 2019 tetap
menjadi inspirasi bagi kita untuk menggerakkan pendidikan politik
kewarga-negaraan selama lima tahun ke depan.
Ada dua inspirasi
yang dapat dicerap dari Pemilu 2019 untuk pendidikan politik. Pertama,
penyebaran hoaks politik selama masa-masa kampanye politik yang lalu, justru
menjadi daya dorong untuk menguatkan dimensi epistemik dan etis politik dalam
diri setiap warga negara.
Melalui penguatan
dua dimensi itu warga-negara mampu membangun dan mengembangkan sikap--meminjam
istilah filosof Rene Descartes, clara et distincta (jernih dan terpilah-pilah),
manakala merespons berbagai informasi dan disinformasi politik. Kecenderungan
warga negara memercayai dan menyebar hoaks politik, mengindikasikan kurang
memiliki sikap clara et distincta. Penguatan dua dimensi itu akan melahirkan
juga keutamaan kehati-hatian (prudence) dalam berpolitik.
Kedua, mendorong
warga negara untuk memetamorfosiskan paranoia politik. Warga negara harus bebas
dari gangguan mental politis yang disebabkan hoaks politik. Cara membebaskan
diri dari gangguan mental politis ialah mengaktifkan dua dimensi politik yang
terkandung dalam diri warga negara tersebut.
Cara agar aktivasi
dimensi epistemik dan etis politik warga negara tersebut sungguh-sunguh menjadi
sebuah strategi pendidikan politik kewarganegaraan jangka panjang, diperlukan
pula landasan pijak yang kukuh. Pancasila ialah landasan pijak yang kukuh untuk
strategi pendidikan politik kewarganegaraan.
Mengapa Pancasila?
Hanya Pancasila yang dapat menjadi arche (prinsip pertama dan utama) Indonesia.
Warga negara Indonesia--yang menganut dan menghayati budaya dan agama yang
berbeda-beda dapat mengaktualisasikan dimensi epistemik dan etis
kewarganegaraannya, apabila negara ini mempunyai arche. Pancasila sebagai arche
Indonesia tidak menghapus keragamaan demi kesatuan, tetapi merawat keragaman
untuk mengembangkan kerja bersama secara aktif demi kebaikan dan kebahagian
umum.
Sumber: Media Indonesia, 18 Juni
2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!