WAKIL Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN)
Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani, mengkritik pernyataan ketua tim hukum
Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto, yang meminta institusi negara ikut membuktikan
kecurangan yang terjadi dalam Pemilihan Presiden 2019.
Arsul mengatakan,
pernyataan Bambang itu menjadi bahan tertawaan para advokat di seluruh dunia.
"Statement BW
bahwa negara atau pengadilan MK harus membuktikan dalil-dalil yang ia kemukakan
dalam permohonannya menjadi bahan tertawaan dunia advokat, tidak saja di
Indonesia, tapi juga di kalangan advokat negara-negara lain," ujar Arsul
ketika dihubungi, Selasa (25/6/2019).
Menurut Arsul,
advokat-advokat yang membaca pernyataan itu akan menganggapnya sebagai argumen
pengacara yang kalah saja.
Sebab, permintaan
Bambang ini bertentangan dengan asas hukum "barangsiapa mendalilkan, maka
dia harus membuktikan".
Anggota Komisi III
dari Fraksi PPP Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu
(29/5/2019). Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Anggota DPR yang
sebelumnya berprofesi sebagai pengacara ini mengatakan setidaknya ada dua
alasan untuk menolak pernyataan BW.
"Pertama,
sarjana hukum mana pun yang ambil mata kuliah beban pembuktian pasti tidak akan
menemukan sandaran doktrinal, yurisprudensi, maupun hukum positifnya untuk
statement BW. Yang diajarkan adalah asas hukum 'barangsiapa mendalilkan, maka
ia harus membuktikan'," ujar Arsul.
Alasan kedua adalah
tidak pernah ada lembaga peradilan yang dibenarkan untuk kehilangan
independensinya.
Bergabung dengan
salah satu pihak yang berperkara dan ikut membuktikan dalil gugatannya akan
membuat lembaga peradilan tersebut menjadi parsial.
"Tugas lembaga
peradilan adalah menilai alat bukti, bukan membuktikan dalil salah satu pihak.
Kalaupun pengadilan ingin mencari alat bukti, maka itu untuk menambah keyakinan
hakim, bukan untuk mendukung atau memperkuat dalil salah satu pihak," ujar
Arsul.
Sebelumnya, Bambang
Widjojanto mengakui pihaknya sebagai pemohon sengketa pilpres di Mahkamah
Konstitusi tidak mungkin membuktikan kecurangan yang terjadi di Pemilihan
Presiden 2019. Menurut Bambang, yang bisa membuktikan kecurangan adalah
institusi negara.
“Siapa yang bisa
buktikan (kecurangan) ini? Pemohon? Tidak mungkin. Hanya institusi negara yang
bisa. Karena ini canggih,” kata Bambang di Media Center Prabowo-Sandiaga,
Jakarta, Senin (24/6/2019).
Bambang menyebut,
dalam sengketa Pilpres 2019 selalu yang dijadikan perbandingan adalah form C1
untuk membuktikan perbedaan selisih suara.
Padahal, menurut
Bambang, pembuktian kecurangan saat ini tak bisa lagi menggunakan cara-cara
lama seperti membandingkan formulir C1.
Dia pun
membandingkan MK yang bertransformasi ke arah modern dengan permohonan perkara
daring dan peradilan yang cepat. Maka, pembuktiannya pun diharapkan dapat
menjadi modern pula. "Katanya speedy trial. Kalau speedy trial enggak bisa
pakai old fashioned,” ujar dia.
Sumber: kompas.com, 25 Juni 2019
Ket foto: Bambang
Widjojanto
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!