APAKAH setelah beliau dipanggil Tuhan, Kamis (25/7/2019)
pukul 20.27 di RS Saint Carolus, Jakarta Pusat, sudah menemukan pewaris buku
bukunya yang tak ternilai harganya bagi sejarah Jakarta tersebut, atau belum.
Kami bisa berjam-jam
tenggelam di ruang kerjanya, berbincang tentang sejarah Jakarta sambil
membongkar bongkar buku koleksinya dari minimal empat bahasa, serta sejumlah
dokumen lainnya yang sebagian ia simpan di komputer. Dalam bincang bincang itu
saya lebih sering menampung kemarahan, kegelisahan, dan kekecewaannya.
Berulangkali Pater
Heuken menyayangkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah
pusat yang sering abai membongkar bangunan bersejarah, bahkan mengubah
infrastruktur lama yang menurut Pater Heuken sudah sempurna.
Karena rumah,
sekaligus perpustakaan pribadi, dan kantornya ada di kawasan Menteng, Pater
Heuken tahu benar bagaimana perkembangan perubahan taman kota pertama di
Batavia (Jakarta) tersebut.
Sebagian
orang-orang kaya di Menteng sekarang tidak mau peduli terhadap arsitektur rumah
dan lingkungannya. Yang penting duit dan gengsi. Lupa bahwa rumahnya,
lingkungannya, mencerminkan tingkat keterpelajaran penghuninya," tuturnya
satu saat di tahun 2011.
Ia kemudian membuka
sejumlah buku sejarah dari bermacam bahasa di atas meja kerjanya. Tenggelamlah
kami ke masa lalu Batavia.
Hal seperti itu
sering terjadi. Dengan lancar ia bercerita tentang bermacam tempat ibadah,
gedung gedung megah, infrastruktur jalan dan pengairan di Jakarta, seperti yang
sudah ia tulis dalam sejumlah bukunya, sembari mengoreksi buku buku serupa yang
ia nilai, belum layak menjadi buku penuntun.
"Buku-buku
tersebut sering mengutip ucapan orang tanpa landasan catatan sejarah yang
relatif obyektif," keluh Pater Heuken.
Kenangan terindah
Hadiah berharga
dari Pater Heuken kepada penulis adalah ketika ia menyatakan bahwa naskah,
"Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi", yang saya tulis, layak terbit.
Hati saya berbunga-bunga. Betapa tidak, beliau sangat teliti memeriksa naskah
buku saya. Sekitar tiga bulan naskah ada di tangan beliau.
Benar saja, saat
naskah saya serahkan ke penerbit, sepekan setelah diperiksa penyunting, tak
satupun kata, dikoreksi. Editor hanya meminta penulis memerkaya naskah dengan
bermacam kuliner Betawi.
Keras
Meski relatif dekat
dengan penulis, beliau dikenal berdisiplin keras. Pernah satu hari saya
mengingatkan kawan wartawan agar tepat waktu datang ke rumah beliau.
Kawan tersebut abai.
Dia terlambat tiga menit dari janji wawancara. Pater Heuken tidak mau menemui
dan minta sekretarisnya menjumpai kawan saya, dan membuat janji baru lagi untuk
wawancara. Dari situ kawan saya belajar banyak tentang arti disiplin waktu.
"Kalau saya
ngga pernah ketemu pastor galak itu, saya ngga akan jadi seperti sekarang.
Cuman telat tiga menit Bang. Tiga menit doang. Gila bener disiplinnya tu pastor
. Ampuuun Bang," kata Danny Putra, yang sekarang menjadi produser salah
satu stasiun swasta nasional.
Pengamatan penulis,
yang "ilmu" nya sudah sekelas Pater Heuken adalah Prof Otto,
gurubesar arkeologi UI. Watak, sikap, pandangan, dan wawasannya, sama. Sama
kerasnya, sama dinginnya, samasama mudah meletup saat penjelasannya dikomentari
atau dibantah lawan bicara yang ilmu, wawasan, dan riset risetnya masih minim.
Penulis termasuk
salah seorang yang pernah kena "semprot" Pater Heuken dan Prof Otto
di awal perkenalan dengan mereka.
Sedikit sedikit
mereka membongkar beberapa buku dari rak buku, membukanya di meja, lalu berkata:
"Ada tidak keterangan Anda di buku ini? Mana buku yang keterangannya Anda
kutip?"
Kepergian Pater
Heuken membuat Jakarta kehilangan lagi "sebutir mutiara"-nya.
Sejatinya ia bukan pakar sejarah Jakarta, melainkan pemerhati dan penulis buku
buku populer tentang sejarah Jakarta. Meski demikian, pengetahuan dan wawasan
telah melampaui para pakar sejarah Jakarta karena ketekunan, kegigihan, dan
ketelitiannya mengungkap sejarah.
Pater Heuken seolah
memberi pesan, siapapun bisa menguasai bidang yang ia tekuni asal tekun,
cermat, dan gigih. Seperti halnya sebagian petani yang lebih piawai memahami
cuaca setelah puluhan tahun berkubang di sawah, ketimbang seorang guru besar
bidang pertanian memahami perubahan cuaca. Selamat jalan Pater Heuken.
Oleh Windoro
Adi
mantan wartawan Kompas
Sumber: Kompas, 26 Juli 2019
Ket foto: Adolf J
Heuken SJ
Sumber foto: www.law-justice.co
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!