Wartawan Kompas 1988-2018
HARI
masih pagi. Geneva, Minggu pagi itu, seakan masih tergolek di tempat tidur,
malas bangun. Meski Matahari sudah bersinar. Satu dua mobil melintas di jalan.
Kususuri Pont de la Rue Voltaire, sekeluar dari hotel dan berjalan mengarah ke
gereja seperti ditunjukkan di peta.
Menurut keterangan di Google Maps, jarak antara hotel dan
gereja bisa ditempuh dalam waktu 15 menit dengan jalan kaki. Tentu, jalan kaki
agak cepat, bukan "alon-alon waton kelakon".
Setelah berjalan 15 menit, di sebuah lampu merah, saya
bertanya kepada seorang perempuan yang kebetulan sama-sama akan menyeberang
jalan. "Anda tahu, di mana ada gereja Katolik di sekitar sini? Menurut
peta, ada di daerah ini." Dengan cepat perempuan itu menjawab, "Tidak
ada gereja di sekitar sini. Saya tinggal di daerah sini."
Sekitar 100 meter dari lampu, saya bersua perempuan lain.
Dan, saya ajukan pertanyaan yang sama. Jawabannya sama: tidak tahu. Begitu
perempuan itu berlalu, melintas seorang perempuan kira-kira berusia 70 tahun,
yang tengah lari pagi. "Maaf Madam…." Belum selesai kalimat itu
kuucapkan, perempuan itu sudah berhenti. Dan, saya pun segera mengajukan
pertanyaan persis seperti yang saya tanyakan kepada dua perempuan sebelumnya.
"Oh, gereja Katolik? Itu…" katanya sambil menunjuk
sebuah bangunan di seberang jalan, yang kira-kira hanya berjarak 20 meter dari
tempat kami berdua berdiri. "Terima kasih…" Ia tersenyum, dan kembali
berlari.
Seperempat jam, duduk di depan gedung gereja, tetapi pintu
gereja tidak dibuka-buka. Padahal menurut jadwal, ibadat dimulai pukul 10.00
dan saat itu sudah pukul 10.00. Akhirnya kutinggalkan gereja itu. Berjalan lagi
menyusuri jalan, sambil mencari gereja lain.
Tak lama kemudian bersua seorang ibu muda dengan dua anak
yang masih kecil-kecil. Yang paling kecil duduk di stroller, kereta dorong
untuk bayi. Ketika saya tanya di mana letak gereja Katolik ini, sambil saya
tunjukkan selembar peta. Ia melihat peta itu. Tetapi, sesaat kemudian ibu muda
itu mengangkat bahu dan mengatakan, "Maaf, saya tidak tahu."
Ibu muda itu adalah perempuan keempat yang pagi itu kutanya
soal gereja. Begitu mendengar jawaban, "Maaf, saya tidak tahu," saya
buru-buru mengucapkan, "Terima kasih" dan kembali menyusuri jalan,
sampai ketemu ibu kelima, yang wajahnya ada garis-garis Asia. Ia berjalan
terburu-buru, tetapi ketika aku cegat dan saya tanyakan kepadanya sebuah
pertanyaan yang sama, ia menjawab, "Gereja Katolik? Oh, ada di dekat
stasiun kereta api." Setelah menjawab itu, ia langsung berjalan kembali.
Pergi.
"Terima kasih," kataku sambil membayangkan,
stasiun kereta api yang jauh letaknya dari tempat kami bertemu. Saya tahu letak
stasiun kereta api itu, karena sehari sebelumnya saya tiba di stasiun itu
setelah tiga jam lima menit menempuh perjalanan dari Paris ke Geneva.
Inikah Eropa, seperti cerita banyak orang, di mana agama
mulai disisihkan? Ah, rasanya terlalu gegabah membuat kesimpulan seperti itu.
"Jangan mudah menghakimi orang lain." Begitu petuah orang tua yang
saya ingat betul.
Meskipun kini sedang tren, orang sangat mudah menghakimi
orang lain (walau bukan hakim); mudah menuding orang lain salah (meski belum
tentu dirinya sendiri benar). Tetapi, sejarah Eropa mengisahkan negara-negara
di "Benua Biru" itu pernah menyisihkan agama.
Keputusan Eropa untuk benar-benar menepikan agama dari ruang
publik, dilatarbelakangi oleh pengalaman traumatis mereka di masa lalu. Mereka
mengalami dan merasakan akibat perselingkuhan antara negara dan agama telah
melahirkan sebuah kekuasaan yang lalim. Sungguh tak terduga bahwa reaksi
terhadap kekuasaan yang lalim itu telah memunculkan gerakan yang disebut
sekularisme, yang dapat dikatakan ganas.
Misalnya yang terjadi di Perancis. Di negeri itu pecah
revolusi, yang berakhir dengan tumbangnya Raja Louis XVI. Revolusi Perancis
ditandai dengan penyerangan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789 dan berakibat
tumbangnya Dinasti Bourbon dan Kerajaan Perancis.
Revolusi pecah karena rakyat melakukan gerakan untuk
menentang absolutisme kekuasaan raja, bangsawan, dan agamawan. Rakyat
menghendaki sebuah tatanan baru dalam pemerintahan. Selain itu, rakyat
menginginkan Perancis berubah menjadi negara yang demokratis dan menjunjung
kesetaraan.
Dominasi, penekanan, dan pemaksaan dari monarki, feodalisme,
aristokrasi, dan Gereja Katolik diruntuhkan dan digantikan oleh prinsip-prinsip
liberté, égalité, dan fraternité;
kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Rakyat Perancis, pada waktu itu, pada dasarnya tidak mau mengalami
kehidupan sebelum revolusi, yakni ketika agama menguasai kehidupan publik.
Agama juga dipandang sebagai bagian dari kelompok penekan. Menurut mereka,
agama, apa pun agamanya, adalah urusan privat, bukan publik.
Agama tidak bisa mencampuri urusan publik. Artinya, tiada
keterlibatan agama dalam masalah pemerintahan, juga tiada keterlibatan
pemerintah dalam urusan agama. Inilah prinsip laïcité, sekularitas; prinsip
sekularisasi, pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau
pemisahan antara urusan duniawi dan akhirat.
Dari sinilah, karena itu, ada yang menyamakan sekularisme
dengan sesuatu yang jahat, materialistis, bahkan serakah. Secara etimologis
terma sekularisasi berasal dari kata Latin saeculum yang artinya zaman. Kata
ini memiliki asal-usul historis dalam tradisi Gereja Katolik Roma. Dalam
tradisi gereja abad pertengahan, sekularisasi berarti proses seorang rahib
meninggalkan biara dan kembali ke tengah masyarakat (F. Budi Hardiman,
"Post-Sekularisme", Kompas,
7 Juni 2016, hal. 6).
Karena itu sekularisasi juga berarti "proses
penduniaan". Dalam perjalanannya, sejak Perjanjian Westphalia (1648) yang
menandai berakhirnya perang selama 30 tahun antara kelompok Protestan dan
Katolik Roma yang manghancurkan hampir seluruh Eropa, sekularisasi adalah
menunjuk pada proses pengambilalihan harta kekayaan dan institusi-institusi
milik Gereja yang kalah perang oleh negara dan penggunaannya untuk kepentingan
publik.
Dari sinilah kemudian, kaum agamawan, pada waktu itu,
memandang sekularisme ibarat lonceng kematian bagi agama-agama. Oleh karena,
sekularisme berusaha untuk meniadakan segala pengaruh Gereja atas kehidupan
masyarakat.
Dalam bahasa Max Weber (1864-1920) seorang sosiolog dari
Jerman, hasil akhir dari sekularisme ini adalah, "hilangnya pesona
dunia". Tetapi, filsuf-penyair juga asal Jerman, Friedrich Nietzsche,
meramalkan melalui tokohnya Zarathustra bahwa —setidaknya untuk Dunia Barat— Tuhan
telah mati.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, sekularisasi
lalu berkaitan dengan cara berpikir dan pandangan hidup. Sekularisasi
mengungkapkan proses raibnya pandangan dan sistem religius yang eskatologis dan
diganti dengan pandangan rasional yang berorientasi pada kekinian, penguasaan
alam, penataan sejarah, dan otonomi individu.
Yang menarik adalah bahwa dalam konteks tertentu, makna
sekularisme di Eropa berbeda dengan di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat,
sekularisme didefinisikan sebagai "kebebasan beragama" (freedom of religion), sedangkan di Eropa
istilah itu cenderung didefinisikan sebagai "kebebasan dari agama" (freedom from religion).
Ah, mana yang benar.
Yang saya cari pagi itu gereja, bukan soal definisi
sekularisme, sekularisasi, dan sekular. Dan, pertanyaan di mana ada gereja
Katolik, saya ajukan kepada seorang lelaki tua di sebuah taman. Lelaki itu
tengah membawa anjingnya di sebuah taman. Dengan tertawa, lelaki yang
belakangan mengaku bernama Roco itu, menunjukkan jalan yang mengarah ke gereja.
Tetapi, akhirnya Roco, tidak hanya menunjukkan jalan ke arah
gereja. "Mari saya antar, biar kamu tidak salah jalan. Karena, kalau lewat
jalan ini, meskipun lebih singkat tetapi berbelok-belok, kamu bisa
bingung," katanya sambil menarik tali yang mengikat leher anjingnya untuk
berjalan.
Sepuluh menit kemudian, kami sampai di depan sebuah bangunan
gereja. "Itu gerejanya. Masuklah," kata Roco. Benar, ketika saya
masuk dengan pelan-pelan mendorong pintu kayu yang sangat tebal, saya lihat
gereja itu penuh umat yang sedang beribadah. Fiedrich Nietzshe, salah. Lelaki
tua dan anjingnya itu yang benar.
Sumber: Kompas, 12
Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!