Headlines News :
Home » » Lelaki Tua dan Seekor Anjing

Lelaki Tua dan Seekor Anjing

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 12, 2019 | 6:03 PM

Oleh Trias Kuncahyono
Wartawan Kompas 1988-2018

HARI masih pagi. Geneva, Minggu pagi itu, seakan masih tergolek di tempat tidur, malas bangun. Meski Matahari sudah bersinar. Satu dua mobil melintas di jalan. Kususuri Pont de la Rue Voltaire, sekeluar dari hotel dan berjalan mengarah ke gereja seperti ditunjukkan di peta.

Menurut keterangan di Google Maps, jarak antara hotel dan gereja bisa ditempuh dalam waktu 15 menit dengan jalan kaki. Tentu, jalan kaki agak cepat, bukan "alon-alon waton kelakon".

Setelah berjalan 15 menit, di sebuah lampu merah, saya bertanya kepada seorang perempuan yang kebetulan sama-sama akan menyeberang jalan. "Anda tahu, di mana ada gereja Katolik di sekitar sini? Menurut peta, ada di daerah ini." Dengan cepat perempuan itu menjawab, "Tidak ada gereja di sekitar sini. Saya tinggal di daerah sini."

Sekitar 100 meter dari lampu, saya bersua perempuan lain. Dan, saya ajukan pertanyaan yang sama. Jawabannya sama: tidak tahu. Begitu perempuan itu berlalu, melintas seorang perempuan kira-kira berusia 70 tahun, yang tengah lari pagi. "Maaf Madam…." Belum selesai kalimat itu kuucapkan, perempuan itu sudah berhenti. Dan, saya pun segera mengajukan pertanyaan persis seperti yang saya tanyakan kepada dua perempuan sebelumnya.

"Oh, gereja Katolik? Itu…" katanya sambil menunjuk sebuah bangunan di seberang jalan, yang kira-kira hanya berjarak 20 meter dari tempat kami berdua berdiri. "Terima kasih…" Ia tersenyum, dan kembali berlari.

Seperempat jam, duduk di depan gedung gereja, tetapi pintu gereja tidak dibuka-buka. Padahal menurut jadwal, ibadat dimulai pukul 10.00 dan saat itu sudah pukul 10.00. Akhirnya kutinggalkan gereja itu. Berjalan lagi menyusuri jalan, sambil mencari gereja lain.

Tak lama kemudian bersua seorang ibu muda dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Yang paling kecil duduk di stroller, kereta dorong untuk bayi. Ketika saya tanya di mana letak gereja Katolik ini, sambil saya tunjukkan selembar peta. Ia melihat peta itu. Tetapi, sesaat kemudian ibu muda itu mengangkat bahu dan mengatakan, "Maaf, saya tidak tahu."

Ibu muda itu adalah perempuan keempat yang pagi itu kutanya soal gereja. Begitu mendengar jawaban, "Maaf, saya tidak tahu," saya buru-buru mengucapkan, "Terima kasih" dan kembali menyusuri jalan, sampai ketemu ibu kelima, yang wajahnya ada garis-garis Asia. Ia berjalan terburu-buru, tetapi ketika aku cegat dan saya tanyakan kepadanya sebuah pertanyaan yang sama, ia menjawab, "Gereja Katolik? Oh, ada di dekat stasiun kereta api." Setelah menjawab itu, ia langsung berjalan kembali. Pergi.

"Terima kasih," kataku sambil membayangkan, stasiun kereta api yang jauh letaknya dari tempat kami bertemu. Saya tahu letak stasiun kereta api itu, karena sehari sebelumnya saya tiba di stasiun itu setelah tiga jam lima menit menempuh perjalanan dari Paris ke Geneva.

Inikah Eropa, seperti cerita banyak orang, di mana agama mulai disisihkan? Ah, rasanya terlalu gegabah membuat kesimpulan seperti itu. "Jangan mudah menghakimi orang lain." Begitu petuah orang tua yang saya ingat betul.

Meskipun kini sedang tren, orang sangat mudah menghakimi orang lain (walau bukan hakim); mudah menuding orang lain salah (meski belum tentu dirinya sendiri benar). Tetapi, sejarah Eropa mengisahkan negara-negara di "Benua Biru" itu pernah menyisihkan agama.

Keputusan Eropa untuk benar-benar menepikan agama dari ruang publik, dilatarbelakangi oleh pengalaman traumatis mereka di masa lalu. Mereka mengalami dan merasakan akibat perselingkuhan antara negara dan agama telah melahirkan sebuah kekuasaan yang lalim. Sungguh tak terduga bahwa reaksi terhadap kekuasaan yang lalim itu telah memunculkan gerakan yang disebut sekularisme, yang dapat dikatakan ganas.

Misalnya yang terjadi di Perancis. Di negeri itu pecah revolusi, yang berakhir dengan tumbangnya Raja Louis XVI. Revolusi Perancis ditandai dengan penyerangan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789 dan berakibat tumbangnya Dinasti Bourbon dan Kerajaan Perancis.

Revolusi pecah karena rakyat melakukan gerakan untuk menentang absolutisme kekuasaan raja, bangsawan, dan agamawan. Rakyat menghendaki sebuah tatanan baru dalam pemerintahan. Selain itu, rakyat menginginkan Perancis berubah menjadi negara yang demokratis dan menjunjung kesetaraan.

Dominasi, penekanan, dan pemaksaan dari monarki, feodalisme, aristokrasi, dan Gereja Katolik diruntuhkan dan digantikan oleh prinsip-prinsip liberté, égalité, dan fraternité; kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Rakyat Perancis, pada waktu itu, pada dasarnya tidak mau mengalami kehidupan sebelum revolusi, yakni ketika agama menguasai kehidupan publik. Agama juga dipandang sebagai bagian dari kelompok penekan. Menurut mereka, agama, apa pun agamanya, adalah urusan privat, bukan publik.

Agama tidak bisa mencampuri urusan publik. Artinya, tiada keterlibatan agama dalam masalah pemerintahan, juga tiada keterlibatan pemerintah dalam urusan agama. Inilah prinsip laïcité, sekularitas; prinsip sekularisasi, pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan akhirat.

Dari sinilah, karena itu, ada yang menyamakan sekularisme dengan sesuatu yang jahat, materialistis, bahkan serakah. Secara etimologis terma sekularisasi berasal dari kata Latin saeculum yang artinya zaman. Kata ini memiliki asal-usul historis dalam tradisi Gereja Katolik Roma. Dalam tradisi gereja abad pertengahan, sekularisasi berarti proses seorang rahib meninggalkan biara dan kembali ke tengah masyarakat (F. Budi Hardiman, "Post-Sekularisme", Kompas, 7 Juni 2016, hal. 6).

Karena itu sekularisasi juga berarti "proses penduniaan". Dalam perjalanannya, sejak Perjanjian Westphalia (1648) yang menandai berakhirnya perang selama 30 tahun antara kelompok Protestan dan Katolik Roma yang manghancurkan hampir seluruh Eropa, sekularisasi adalah menunjuk pada proses pengambilalihan harta kekayaan dan institusi-institusi milik Gereja yang kalah perang oleh negara dan penggunaannya untuk kepentingan publik.

Dari sinilah kemudian, kaum agamawan, pada waktu itu, memandang sekularisme ibarat lonceng kematian bagi agama-agama. Oleh karena, sekularisme berusaha untuk meniadakan segala pengaruh Gereja atas kehidupan masyarakat.

Dalam bahasa Max Weber (1864-1920) seorang sosiolog dari Jerman, hasil akhir dari sekularisme ini adalah, "hilangnya pesona dunia". Tetapi, filsuf-penyair juga asal Jerman, Friedrich Nietzsche, meramalkan melalui tokohnya Zarathustra bahwa —setidaknya untuk Dunia Barat— Tuhan telah mati.

Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, sekularisasi lalu berkaitan dengan cara berpikir dan pandangan hidup. Sekularisasi mengungkapkan proses raibnya pandangan dan sistem religius yang eskatologis dan diganti dengan pandangan rasional yang berorientasi pada kekinian, penguasaan alam, penataan sejarah, dan otonomi individu.

Yang menarik adalah bahwa dalam konteks tertentu, makna sekularisme di Eropa berbeda dengan di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, sekularisme didefinisikan sebagai "kebebasan beragama" (freedom of religion), sedangkan di Eropa istilah itu cenderung didefinisikan sebagai "kebebasan dari agama" (freedom from religion).

Ah, mana yang benar.

Yang saya cari pagi itu gereja, bukan soal definisi sekularisme, sekularisasi, dan sekular. Dan, pertanyaan di mana ada gereja Katolik, saya ajukan kepada seorang lelaki tua di sebuah taman. Lelaki itu tengah membawa anjingnya di sebuah taman. Dengan tertawa, lelaki yang belakangan mengaku bernama Roco itu, menunjukkan jalan yang mengarah ke gereja.

Tetapi, akhirnya Roco, tidak hanya menunjukkan jalan ke arah gereja. "Mari saya antar, biar kamu tidak salah jalan. Karena, kalau lewat jalan ini, meskipun lebih singkat tetapi berbelok-belok, kamu bisa bingung," katanya sambil menarik tali yang mengikat leher anjingnya untuk berjalan.

Sepuluh menit kemudian, kami sampai di depan sebuah bangunan gereja. "Itu gerejanya. Masuklah," kata Roco. Benar, ketika saya masuk dengan pelan-pelan mendorong pintu kayu yang sangat tebal, saya lihat gereja itu penuh umat yang sedang beribadah. Fiedrich Nietzshe, salah. Lelaki tua dan anjingnya itu yang benar.  
Sumber: Kompas, 12 Juli 2019
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger