Oleh Ignas Kleden
Sosiolog & Chairman Komunitas Indonesia untuk
Demokrasi
SUDAH jadi pengetahuan umum bahwa seorang menteri dalam kabinet
ditugasi memimpin suatu kementerian teknis. Berarti, seorang menteri
perhubungan atau keuangan, diandaikan punya pengetahuan dan keahlian menyangkut
soal-soal teknis dalam kementerian bersangkutan.
Namun, kedudukan
tiap menteri adalah suatu posisi politis dan bukan sekadar posisi teknis.
Alasannya, posisi menteri bukanlah akibat peningkatan karier seseorang dalam
birokrasi. Seorang menteri adalah political appointee, dapat jabatan menteri
bukan melalui pemilihan atau jenjang karier, tetapi penunjukan dan pengangkatan
oleh presiden yang memberinya penugasan dan tanggung jawab politik.
Setelah Mahkamah
Konstitusi mengesahkan kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, berkembang diskusi
bagaimana sebaiknya komposisi menteri dalam kabinet Jokowi berikutnya. Apakah
sebaiknya sebagian besar menteri adalah para profesional dengan kompetensi
teknis mengenai bidang keahliannya masing-masing, ataukah perlu dipertimbangkan
partisipasi lebih banyak politisi yang ditawarkan parpol, khususnya parpol
pendukung Jokowi saat pilpres.
Diskusi semacam ini
seakan bertolak dari asumsi bahwa sifat teknopolitis dari kabinet dan
pemerintahan tergantung kombinasi para profesional atau bahkan teknokrat di
satu pihak dan politisi di pihak lain.
Kesadaran
teknopolitis
Yang lebih
menentukan keberhasilan kabinet dan pemerintahan bukanlah kombinasi orang,
tetapi kombinasi mentalitas dan perpaduan mindset yang membentuk kesadaran
teknopolitis dengan dua sisi yang sama penting, yaitu kesadaran bahwa tiap
kebijakan politik perlu diimplementasikan secara teknis agar kebijakan dapat
diberi wujud nyata dalam suatu tindakan, dan hasilnya dapat dinikmati
masyarakat luas.
Sisi kedua,
kesadaran bahwa setiap implementasi teknis perlu pertimbangan mengenai syarat
dan konsekuensi politis dari apa yang dilakukan secara teknis sehingga tindakan
itu dapat dibenarkan secara politik. Contoh ilustratif dapat diambil dari apa
yang dilakukan Jokowi pada periode pertama pemerintahannya.
Program penyatuan
harga kebutuhan pokok, misalnya, telah memperkecil perbedaan harga antara pusat
dan daerah. Di Merauke, kota paling Timur Indonesia, harga bensin premium kini
sama dengan di Jakarta, rata-rata Rp 6.000-an/liter. Hanya di pedalaman jadi
dua kali lipat. Sebelum penyatuan harga, harga premium di Merauke rata-rata Rp
25.000 dan dapat meningkat menjadi beberapa puluh ribu rupiah per liter.
Di pedalaman bahkan
beberapa kali lebih mahal. Sebelum penyatuan harga, semen di Jawa Rp 45.000, di
Papua Rp 1 juta-Rp 1,5 juta/sak. Setelah penyatuan harga, di Jawa Rp 58.000, di
Jayapura sekitar Rp 60.000 dan di pedalaman Rp 75.000. Ini juga berlaku untuk
kebutuhan pokok lain seperti beras dan bahan konsumsi lain.
Penyatuan harga
atau pemerataan harga kebutuhan pokok jelas merupakan kebijakan yang
memungkinkan pemerataan kesejahteraan, meskipun pemerataan mutlak dalam ekonomi
pasar merupakan hal yang mustahil tercapai. Masalahnya, apakah mungkin tak
meratanya kesejahteraan dapat diperkecil sejauh mungkin sehingga inequality ini
tak menciptakan ketidakadilan (injustice).
Asimetrinya
terlihat di sini: ketakmerataan tak selalu merupakan ketidakadilan karena
berbagai kondisi geografis, misalnya, membawa biaya tambahan berbeda-beda,
tetapi pemerataan (sejauh dilaksanakan tak melalui pemaksaan sebagaimana
terjadi dalam sistem non-demokratis, melainkan melalui cara yang dimungkinkan
secara teknis) dapat dipastikan perwujudan keadilan sosial, yang merupakan
perintah langsung Pancasila sebagai filsafat dasar negara kita.
Usaha pemerintahan
Jokowi memperkecil ketidakmerataan melalui penyatuan harga kebutuhan pokok
merupakan langkah konkret menciptakan pemerataan relatif dari kesejahteraan dan
dengan demikian melaksanakan apa yang diwajibkan dasar negara kita, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal sama dapat
dikatakan tentang program pembangunan infrastruktur: jalan raya
trans-Kalimantan, trans-Sumatera, dan trans-Papua yang direncanakan selesai
pada 2020; pembangunan bendungan di Timor, pembukaan lapangan terbang dan
pelabuhan baru di sejumlah tempat, dapat dikritik sebagai rencana pemerintah
yang terlalu ambisius yang dapat berakibat pada diabaikannya pengawasan teknis
dalam pelaksanaan karena terdorong kewajiban mengejar target penyelesaiannya.
Apalagi jika dikaitkan dengan besarnya biaya pembangunan infrastruktur dengan
keuangan negara.
Namun, dengan
mempertimbangkan sungguh-sungguh semua kritik itu, satu hal tetap dapat
dibenarkan dan dipertahankan: pembangunan infrastruktur yang memudahkan
terhubungnya berbagai tempat di berbagai daerah, yang tadinya sulit dicapai,
merupakan suatu keputusan politik untuk mewujudkan persatuan Indonesia.
Tak hanya lewat
slogan politik, tetapi dengan menciptakan sarana fisik dan sosial untuk
persatuan itu yang lebih baik. Persatuan Indonesia adalah perintah Pancasila.
Perintah itu dilaksanakan Jokowi lewat implementasi teknis pembangunan
infrastruktur yang memudahkan mobilitas dan hubungan antartempat di seluruh
Tanah Air.
Kebijakan Jokowi menenggelamkan
kapal-kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia pernah dikritik sebagai
tindakan tak ekonomis karena kapal-kapal itu bisa dijual kembali dengan harga
murah ke nelayan lokal. Kritik ini dapat ditolak karena tak mempertimbangkan
visi dan makna politik dari langkah itu. Makna politiknya: menegakkan
kedaulatan politik RI atas wilayah yang berada di bawah hak dan wewenangnya dan
ditetapkan berdasarkan hukum.
Kedaulatan atas
wilayah dengan batas-batas teritorial yang telah ditetapkan perlu dijaga oleh
negara karena teritori adalah suatu syarat bagi eksistensi sebuah negara untuk
dapat pengakuan dari negara lain. Wilayah itu seyogianya menjadi juga
Lebensraum atau ruang tempat penduduk negara itu mendapat penghidupan untuk
menghidupi diri dan keluarganya.
Penenggelaman kapal
asing adalah tindakan politik untuk menegakkan dan menunjukkan kedaulatan
teritorial RI yang harus dihormati negara lain, dan bukanlah cara untuk
mendapat kapal-kapal yang dapat dijual kembali dengan harga murah ke nelayan
yang butuh.
Tiga contoh itu
dapat memperlihatkan bahwa baik apresiasi maupun kritik terhadap pemerintahan,
pusat, provinsi, atau daerah, dapat dilihat dengan meninjau hubungan antara
kebijakan politik dan implementasinya secara teknis. Suatu pemerintahan dapat
memiliki visi dan kebijakan politik yang baik dan barangkali menarik, tetapi
dapat gagal melakukan implementasi teknis yang dapat diuji. Atau sebaliknya,
melakukan berbagai implementasi teknis, tetapi tanpa penjelasan memadai tentang
hubungan implementasi itu dengan kebijakan dan visi politik yang dikehendaki.
Dalam hubungan itu,
saya berpendapat, pemerintahan Jokowi melakukan banyak implementasi teknis yang
bermanfaat, tetapi perlu diperkuat dengan penjelasan tentang makna atau
signifikansi politik yang dilaksanakan dalam implementasi teknis yang
dijalankan, khususnya dalam hubungan dengan pertanyaan: apakah dan sejauh mana
kebijakan politik yang dijalankan Jokowi dan implementasi secara teknisnya,
dapat dipandang sebagai pelaksanaan perintah-perintah yang diberikan oleh
Pancasila sebagai dasar negara kita.
Kalau ini dapat
dilakukan dengan baik, inilah jalan efektif untuk menunjukkan bagaimana secara
praktis-politis Pancasila diaktualisasikan dalam program pembangunan dan
bagaimana hubungan itu dapat diperlihatkan kepada publik. Cara ini bermanfaat
dan efektif untuk mengakrabkan Pancasila dengan kehidupan publik serta membuat
filsafat dasar negara kita aktual kembali.
Secara tak
langsung, dengan cara ini, pemerintah memainkan peranan sangat instrumental
dalam sosialisasi Pancasila dengan menunjukkan relasi suatu kebijakan politik
dengan realisasinya secara teknis, sebagai suatu kiat revitalisasi Pancasila
secara tak doktriner, tetapi metodis, teknis, dan empiris.
Sebaliknya, atas
cara yang sama dapat dilakukan kritik politik dengan menunjukkan, apakah suatu
kebijakan politik dan implementasinya secara teknis, punya korelasi yang
membenarkan pelaksanaan Pancasila dalam praksis politik. Hal yang lebih sering
terjadi, khususnya dalam kontestasi politik: pertunjukan tentang visi dan
kebijakan politik yang hendak dijalankan, serta pameran rumusannya yang menarik
secara retoris, tetapi tak jelas dan belum ada desain implementasinya secara
teknis.
Kekurangan ini
dicoba diselamatkan dengan memberi auxiliary statements, pernyataan tambahan
yang dapat menolong menyelamatkan kebijakan politik itu secara logis, tetapi
tanpa implikasi teknis dalam pelaksanaannya. Bisa saja pernyataan menolak
reklamasi diganti dengan menghentikan reklamasi.
Secara logis
menghentikan berarti menolak dilanjutkan. Namun, reformulasi itu membawa dua
kesulitan baru. Pertama, menghentikan berarti reklamasi sudah pernah berjalan
sebelumnya dan itulah yang tak boleh dilanjutkan. Pertanyaannya, mau diapakan
reklamasi yang sudah terjadi? Salah satu kompromi: memanfaatkan bangunan yang
sudah ada di tempat yang sudah direklamasi, untuk sebesar-besar kepentingan
rakyat banyak dan untuk tujuan ini izin bangunan dapat diberikan.
Namun, kalau kompromi
ini yang dipilih, mengapa reklamasi tak diteruskan saja, asal saja ada regulasi
yang mengatur bahwa penggunaan segala bangunan dan fasilitas di atas wilayah
yang direklamasi harus untuk sebesar-besar manfaatnya bagi rakyat banyak dan
bukan hanya untuk pemupukan modal para pengusaha yang terlibat dalam reklamasi?
Kedua, ada masalah
etis muncul jika reklamasi dihentikan, sementara bangunan yang telanjur
dibangun boleh digunakan secara legal untuk sebesar-besar manfaat bagi rakyat
banyak. Ini akan jadi preseden bagi masalah hukum dan masalah moral. Jika suatu
tindakan dilarang secara hukum, tetapi tindakan terlarang itu sudah membawa
hasil yang bisa dimanfaatkan, misalnya hasil rampasan atau curian, apakah
hasil-hasil tindakan dapat dimanfaatkan secara legal untuk kepentingan orang
banyak?
Korupsi memang
dilarang secara hukum dan secara moral, tetapi apakah hasil korupsi dapat
diinvestasikan kembali sebagai modal perbaikan pertanian atau irigasi dan
bendungan baru? Dari segi hukum, apakah suatu tindakan diperbolehkan karena ada
legalitasnya, ataukah hasil tindakan itu, sekalipun secara ilegal, akan
menentukan legalitas tindakan itu?
Dari segi moral,
apakah tindakan seseorang harus disesuaikan dengan norma moral berlaku, atau
hasil perbuatan seseorang yang menentang moral, kemudian mendapat nilai
moralnya karena hasil perbuatannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan orang
banyak?
Dua contoh masalah
ini dikemukakan untuk menunjukkan bahwa pembenaran suatu kebijakan politik,
yang hanya dilakukan dengan mengubah rumusan kebijakan, tetapi tetap tak jelas
rencana implementasinya secara teknis, mungkin dapat menolong untuk memberi
pembenaran logis, tetapi sekaligus menimbulkan banyak kesulitan lebih besar.
Mentalitas
teknopolitis tak saja dibutuhkan kalangan eksekutif, tetapi juga politisi
partai dan legislatif, bahkan aktivis politik gerakan sosial, khususnya LSM.
Kalau ada usaha terpacu (concerted effort) dalam sinkronisasi terorganisasi
untuk menerapkan dan mengembangkan mentalitas teknopolitis ini, sangat mungkin
kita terhindar dari banyak masalah yang menghebohkan, tetapi tak menyentuh
perkara substansial, dan memusatkan perhatian dan tenaga pada soal yang
benar-benar menyentuh kepentingan vital dalam tahapan politik sekarang.
Platform partai
Hal yang jadi keprihatinan
komunitas politik kita: hampir semua parpol kita dewasa ini menghadapi
kesulitan merumuskan platform mereka secara spesifik, terfokus dan dapat
dikerjakan menjadi program masing-masing. Di pihak lain, Pancasila menawarkan
kelima asasnya yang dapat dijadikan platform politik parpol yang serius.
Mengapa belum ada
partai yang mengambil asas kemanusiaan yang adil dan beradab jadi platformnya
dan mengelaborasinya menjadi program politik yang dapat dilaksanakan? Dapatkah
partai menerjemahkan keberadaban dan keadilan atas cara yang lebih konkret
sebagai sifat perikemanusiaan yang kita anut? Demikian pun kebangsaan merupakan
asas penting yang layak diterjemahkan jadi program politik.
Sedikit imajinasi
dan daya cipta dalam mengelaborasi sila-sila Pancasila jadi program politik
akan membuat politik kita lebih punya vitalitas dan orientasi jelas dan membawa
daya tarik baru bagi kaum muda yang terpikat untuk turut serta dalam usaha
menjadi otentik dalam politik karena mengerjakan asas yang filosofis dalam
dasar negara kita menjadi pegangan yang eksistensial dalam melaksanakan politik
sebagai ikhtiar menggairahkan dan menggerakkan kekuatan sosial yang ada ke arah
yang membawa kesejahteraan umum, memuliakan manusia, dan menghayati suatu
patriotisme baru, atau constitutional patriotism menurut istilah filosof
Juergen Habermas, berupa kesetiaan pada negara dan tanah air dalam bentuk
kepatuhan pada konstitusi.
Mentalitas
teknopolitis adalah pegangan minimal yang memungkinkan kita menghayati politik
nasional sebagai real politik dalam menghadapi dan berjuang dengan
masalah-masalah zamannya, tetapi sekaligus memikul cita-cita ideal yang harus
diwujudkan oleh politik sebagai seni kemungkinan, sebagai the art of the
possible.
Sumber: Kompas, 16 Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!