Headlines News :
Home » , , » Omongan Orangtua: Sekolah Jadi Orang

Omongan Orangtua: Sekolah Jadi Orang

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, July 15, 2019 | 5:32 PM

TAHUN 1974, saya masuk Taman Kanak-kanak (TK) Boto, kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, NTT. Sekolahnya di Prasarana Boto. Prasarana ini gedung kantor Desa Labalimut di dusun Boto (dua dusun lainnya, Kluang dan Belabaja, Labalimut). Disebut Prasarana (saat ini jadi kantor Desa Labalimut).

Prasarana tak disebut gedung kantor desa. Ayah & ibu saya rupanya belum tahu istilah gedung (sekolah). Cuma disebut Prasarana, tempat ayah saya dan orangtua di kampung bayar bea (cukai) kintal (halaman) atau lahan warisan orangtuanya. Prasarana ini dipakai juga untuk kami sekolah.

Masuk sekolah kala itu tak ada pinsil atau kayer (buku tulis). Guru kami, Yustina Bulu de Ona, yang mengasuh kami kala itu. Ibu Yustina ini, sampai detik ini masih ngajar di TK Don Bosko Boto. Tak ada perhatian dari Pemkab Lembata. Sekadar tahu saja, kaka Wakil Bupati Thomas Ola Langoday. Beliau cuma dikasi terima kasih ala kadarnya dari komite sekolah.

Dari mana pinsil dan kayer sekadar kami latihan menulis huruf atau fonem selain menyanyi? Pinsil dan kayer disiapkan susteran SSpS Boto. Kampung kami, Boto, adalah pusat SSpS di selatan Lembata. Kayer? Jangan bayangkan kayer dengan sampul biru dengan 12 lembar.

Susteran SSpS menyiapkan gulungan kertas semacam tisu. Ibu Yustina tinggal sobek sedikit kemudian bagi masing-masing di antara kami kalau sudah selesai nyanyi. Kalau pinsil seingat saya dipotong bagi dua, diserut untuk dipake. Habis pake, dikembalikan ke asrama susteran agar besok dipake lagi.

Setiap pagi orangtua singgah di pinggir jalan nenuju Prasarana dan melepas kami jalan masuk ke halaman Prasarana, tanpa alas kaki. Cuma baju kaos dan celana karet. Mereka, orangtua, segera menghilang ke kebun. "Skola biar besok lusa jadi orang," kata ayah saya, sembari mengayun langkah; memikul bambu tuk iris tuak di kebun ditemani isterinya, ibu saya.

Lancar nyanyi dan rajin sekolah jadi syarat dan jaminan "lulus" TK kelak. Tambah satu lagi syarat: tangan kanan bisa memegang kuping kiri dengan tangan diletakkan di atas kepala. Paling kurang jari tengah tangan kanan menyentuh kuping kiri bagian atas.

Saya termasuk salah satu yang lulus TK. Saya masuk SD Katolik Boto. Semangat menggunung. Di SD pasti pake sepatu baru. Tapi, kandas. Saat itu sepatu jadi barang langka. Jadi sebatas baju biasa dan masih bertahan celana karet. Duduk bukan di kursi tetapi bangku (lihat seperti gambar ilustrasi ini). Kursi cuma satu-satunya untuk guru.

Sekolah kala itu mengasyikkan. Selain bisa bertemu banyak teman, juga mulai mengenal dunia luar. Juga belajar agama Katolik. Mulai mengenal pula sejarah perjuangan bangsa dan para pendirinya, para pahlawan.

Soekarno, Muhammad Hatta, Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien. Sekadar menyebut beberapa nama. Pun di tingkat lokal kami mulai dikenalkan desa-desa di luar kampung kami. "Kamu harus tahu ada banyak desa di luar kampung kita," kata guru saya kala itu. Jadilah kami disuruh mencatat nama semua desa dan mulai menghafal satu per satu.

Kala itu belajar bebas meski dibayang-bayangi guru yang berwatak keras. Nama-nama desa dan kepala desa, terutama di wilayah kecamatan harus di luar kepala. Dihafal lengkap namanya. Kami anak-anak harus mampu menghafal agar kalau ditanya guru tak kelabakan menjawab dengan tepat. Berikut pelajaran dari guru.

Saya ingat beberapa pertanyaan yang juga bikin saya bingung. "Apa rasa air laut". "Tuhan Yesus lahir di mana". "Itik termasuk bangsa apa". Saya dan beberapa teman termasuk terjebak dalam pertanyaan di atas. Resikonya jadi bahan tertawaan yang lain.

Seorang teman menjawab dengan enteng pertanyaan apa rasa air laut. Ia menjawab, "Air laut rasanya nyilu." Saya dengan sigap menjawab, "Itik termasuk bangsa Indonesia." Saya beralasan kita belajar di Indonesia.

Seorang teman langsung sambar, "Tuhan Yesus lahir di atas kursi". Meski keliru, tapi sudah berani menjawab. Toh, nanti juga diterangkan guru.

Namun, satu hal yang saya ingat terus dari ayah saya, "sekolah biar jadi orang". Bukan sekolah untuk dapat STTB? Maksudnya, Surat Tanda Tamat Belajar. Bukan. Saya selalu protes. Tapi ia bertahan. Ayah cuma bilang, sekolah jadi orang.

Selamat pagi ayah. Selamat pagi tuk anakku yang pigi sekolah PAUD. Semoga satu waktu engko, seperti kata kakekmu, "jadi orang." Sekali lagi, terima kasih ayah dan ibuku. Selamat pagi, bapa dan ibu guruku tempo doeloe. Kalian semua ajar kami untuk kelak jadi orang. Tuhan berkatimu selalu. 
Jakarta, 15 Juli 2019
Ansel Deri
Ket foto: Para siswa tempo doeloe duduk di bangku mendengar pelajaran guru. 
Sumber foto ilustrasi: beritabali.com.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger