TAHUN 1974, saya masuk Taman Kanak-kanak (TK) Boto, kecamatan
Nagawutun, Kabupaten Lembata, NTT. Sekolahnya di Prasarana Boto. Prasarana ini
gedung kantor Desa Labalimut di dusun Boto (dua dusun lainnya, Kluang dan
Belabaja, Labalimut). Disebut Prasarana (saat ini jadi kantor Desa Labalimut).
Prasarana tak
disebut gedung kantor desa. Ayah & ibu saya rupanya belum tahu istilah
gedung (sekolah). Cuma disebut Prasarana, tempat ayah saya dan orangtua di
kampung bayar bea (cukai) kintal (halaman) atau lahan warisan orangtuanya.
Prasarana ini dipakai juga untuk kami sekolah.
Masuk sekolah kala
itu tak ada pinsil atau kayer (buku tulis). Guru kami, Yustina Bulu de Ona,
yang mengasuh kami kala itu. Ibu Yustina ini, sampai detik ini masih ngajar di
TK Don Bosko Boto. Tak ada perhatian dari Pemkab Lembata. Sekadar tahu saja,
kaka Wakil Bupati Thomas Ola Langoday. Beliau cuma dikasi terima kasih ala
kadarnya dari komite sekolah.
Dari mana pinsil
dan kayer sekadar kami latihan menulis huruf atau fonem selain menyanyi? Pinsil
dan kayer disiapkan susteran SSpS Boto. Kampung kami, Boto, adalah pusat SSpS
di selatan Lembata. Kayer? Jangan bayangkan kayer dengan sampul biru dengan 12
lembar.
Susteran SSpS
menyiapkan gulungan kertas semacam tisu. Ibu Yustina tinggal sobek sedikit
kemudian bagi masing-masing di antara kami kalau sudah selesai nyanyi. Kalau
pinsil seingat saya dipotong bagi dua, diserut untuk dipake. Habis pake,
dikembalikan ke asrama susteran agar besok dipake lagi.
Setiap pagi
orangtua singgah di pinggir jalan nenuju Prasarana dan melepas kami jalan masuk
ke halaman Prasarana, tanpa alas kaki. Cuma baju kaos dan celana karet. Mereka,
orangtua, segera menghilang ke kebun. "Skola biar besok lusa jadi
orang," kata ayah saya, sembari mengayun langkah; memikul bambu tuk iris
tuak di kebun ditemani isterinya, ibu saya.
Lancar nyanyi dan
rajin sekolah jadi syarat dan jaminan "lulus" TK kelak. Tambah satu
lagi syarat: tangan kanan bisa memegang kuping kiri dengan tangan diletakkan di
atas kepala. Paling kurang jari tengah tangan kanan menyentuh kuping kiri
bagian atas.
Saya termasuk salah
satu yang lulus TK. Saya masuk SD Katolik Boto. Semangat menggunung. Di SD
pasti pake sepatu baru. Tapi, kandas. Saat itu sepatu jadi barang langka. Jadi
sebatas baju biasa dan masih bertahan celana karet. Duduk bukan di kursi tetapi
bangku (lihat seperti gambar ilustrasi ini). Kursi cuma satu-satunya untuk
guru.
Sekolah kala itu
mengasyikkan. Selain bisa bertemu banyak teman, juga mulai mengenal dunia luar.
Juga belajar agama Katolik. Mulai mengenal pula sejarah perjuangan bangsa dan
para pendirinya, para pahlawan.
Soekarno, Muhammad
Hatta, Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien. Sekadar menyebut beberapa nama. Pun
di tingkat lokal kami mulai dikenalkan desa-desa di luar kampung kami.
"Kamu harus tahu ada banyak desa di luar kampung kita," kata guru
saya kala itu. Jadilah kami disuruh mencatat nama semua desa dan mulai
menghafal satu per satu.
Kala itu belajar
bebas meski dibayang-bayangi guru yang berwatak keras. Nama-nama desa dan kepala
desa, terutama di wilayah kecamatan harus di luar kepala. Dihafal lengkap
namanya. Kami anak-anak harus mampu menghafal agar kalau ditanya guru tak
kelabakan menjawab dengan tepat. Berikut pelajaran dari guru.
Saya ingat beberapa
pertanyaan yang juga bikin saya bingung. "Apa rasa air laut".
"Tuhan Yesus lahir di mana". "Itik termasuk bangsa apa".
Saya dan beberapa teman termasuk terjebak dalam pertanyaan di atas. Resikonya
jadi bahan tertawaan yang lain.
Seorang teman
menjawab dengan enteng pertanyaan apa rasa air laut. Ia menjawab, "Air
laut rasanya nyilu." Saya dengan sigap menjawab, "Itik termasuk
bangsa Indonesia." Saya beralasan kita belajar di Indonesia.
Seorang teman
langsung sambar, "Tuhan Yesus lahir di atas kursi". Meski keliru,
tapi sudah berani menjawab. Toh, nanti juga diterangkan guru.
Namun, satu hal
yang saya ingat terus dari ayah saya, "sekolah biar jadi orang".
Bukan sekolah untuk dapat STTB? Maksudnya, Surat Tanda Tamat Belajar. Bukan.
Saya selalu protes. Tapi ia bertahan. Ayah cuma bilang, sekolah jadi orang.
Selamat pagi ayah.
Selamat pagi tuk anakku yang pigi sekolah PAUD. Semoga satu waktu engko,
seperti kata kakekmu, "jadi orang." Sekali lagi, terima kasih ayah
dan ibuku. Selamat pagi, bapa dan ibu guruku tempo doeloe. Kalian semua ajar
kami untuk kelak jadi orang. Tuhan berkatimu selalu.
Jakarta, 15 Juli 2019
Ansel Deri
Ket foto: Para siswa tempo
doeloe duduk di bangku mendengar pelajaran guru.
Sumber foto ilustrasi: beritabali.com.
Sumber foto ilustrasi: beritabali.com.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!